Part 1

1762 Words
Berpuluh tahun sebelum “Calliana, Bukan Istri Cadangan” tercipta. “Kau akan menikah dengan Arzu.” Ucapan itu terdengar bagaikan sambaran petir di telinga Ahmed Levent. Ia memandang ayahnya dengan tatapan tak percaya. Bagaimana bisa, dia menikah dengan seorang gadis yang sudah dia anggap seperti adiknya sendiri. Ahmed tidak memungkiri kalau Arzu Gorel adalah gadis yang cantik. Selain itu dia juga gadis yang berwawasan luas dan memiliki pemikiran dewasa dibandingkan anak-anak seusianya. Tapi tetap saja, bagi Ahmed, Arzu hanyalah gadis belia yang lebih cocok menjadi adiknya daripada istrinya. Selisih usia mereka cukup jauh. Ahmed tahun ini menginjak usia dua puluh lima tahun. Usia yang matang untuk menikah, memang. Sementara Arzu baru saja merayakan ulangtahunnya yang ke delapan belas. Tujuh tahun perbedaan usia mereka jelas merupakan angka yang memberatkan baginya. Ahmed memandang ayahnya dengan dahi berkerut dalam. Garis-garis keras yang ayahnya tunjukkan sudah memberitahukan Ahmed bahwa ucapannya itu tak bisa ditentang. Ini adalah titah, dan Ahmed tidak memiliki pilihan lain selain menerima keputusan sang ayah. Ahmed memilih untuk diam. Dia tidak akan berargumen. Namun mesipun demikian, tidak berarti dia tidak bisa mengambil keputusan atau mengambil langkah lain yang akan menguntungkannya di masa depan. Ya, diam bukan berarti dia setuju. Ia hanya memberi dirinya sendiri kesempatan untuk menghindari pertempuran. Ahmed kembali ke kamarnya dengan langkah ringan seolah tidak ada pikiran yang mengganggunya. Sebagai putra sulung dalam keluarganya, dia sudah dididik sejak kecil supaya tidak menunjukkan terlalu banyak ekspresi. Sebagai seorang yang dijanjikan akan menjadi pemimpin dinasti Levent selanjutnya, Ahmed sudah diajarkan untuk mempelajari banyak taktik. Levent yang berarti singa. Seorang pemburu, seperti itulah dirinya harus tumbuh. Dan seorang pemburu harus bersembunyi dari buruannya jika tak ingin buruannya lari. Sementara dirinya, harus menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya dari sang Ayah supaya tidak mendapatkan hukuman yang tak diinginkannya. Suara langkah kaki terdengar mendekati kamarnya. Ia yang saat itu sedang mengemasi barang-barangnya dengan segera menendang tas ranselnya ke kolong ranjangnya. Namun saat melihat siapa yang masuk ke dalam kamarnya tanpa mengetuk pintu, dia benar-benar ingin melempar adiknya dengan benda terdekat yang bisa digapainya. Sayangnya, yang ada di hadapannya saat ini adalah bantal, bukan benda keras yang bisa melukai sosok tinggi besar Basir. “Sialan kau!” bentaknya pada sang adik seraya melempatkan bantal yang langsung ditangkap dengan cekatan oleh Basir. “Kenapa denganmu, Kak. Kau seperti para gadis yang sedang PMS saja.” Ucap Basir seraya melangkah mendekati tempat tidur, melemparkan bantal dengan asal dan duduk di atas tepat tidur beranjang mahoni itu dengan santai. Ia bertumpang kaki, meletakkan sikunya di atas paha dan memandang kakaknya yang kembali mencoba mengeluarkan tas dari kolong tempat tidur. Ekspresi wajahnya sangat jelas sekali menunjukkan ejekan. “Aku yakin kau sudah mendengarnya.” Ucap Ahmed dengan gerutuannya. Ia berhasil mengeluarkan tas nya dan membukanya di depan adiknya. Basir melirik tas kakaknya dan kemudian mengedikkan bahu. Pria itu meletakkan dagu berbulunya di atas telapak tangannya dan kembali bicara. “Jadi, kau mau melarkan diri?” tanyanya dengan nada jahil. Matanya terus mengikuti pergerakan sang kakak. “Seperti anak gadis yang kabur setelah orangtuanya memutuskannya untuk menikah dengan pria pilihan mereka?” lanjutnya saat Ahmed memilih mengabaikan ocehan sang adik. “Bukankah seharusnya yang melakukan itu Arzu?” tanyanya lagi, tak terganggu meskipun Ahmed tak menanggapinya. “Arzu tidak mungkin melakukannya. Kita semua tahu seperti apa dia.” Ucap Ahmed tanpa menghentikkan pekerjaannya. Ya, mereka semua tahu seperti apa Arzu. Gadis yang tegas dan bertanggung jawab. Gadis itu tentu tidak akan mempermalukan keluarganya dengan lari dari apa yang sudah orangtuanya perintahkan. Karena itulah, Ahmed lebih dulu bergerak sebelum dirinya terjebak dalam masa depan yang tak ingin dibayangkannya. Entah bagaimana hidupnya nanti jika dia harus hidup bersama sosok Arzu yang serius. Apakah tempat tidurnya akan terasa hangat, atau akan terasa dingin seperti sikap gadis muda itu selama ini? entahlah, Ahmed juga tak memikirkan itu lebih jauh. Pikiran kotornya tidak sampai ke arah dimana dia membayangkan Arzu sebagai teman tidurnya. Tidak. ia bahkan tidak tega melakukannya. Ia terlalu menghormati Arzu dan ingin terus seperti itu. “Kau tahu kalau Baba akan marah besar jika tahu apa yang akan kau lakukan.” Adiknya kembali berkomentar. Kali ini posisi duduknya berubah. Kakinya masih saling bertumpang, tapi kedua tangannya kini sudah pria itu letakkan di belakang punggung. Menyangga bobot tubuhnya yang kekar karena terlalu banyak beraktifitas di luar. Ya, saat Ahmed sibuk dengan perusahaan, bekerja di balik meja. Adiknya itu lebih memilh untuk sibuk membantu di perkebunan Zaitun milik orangtua mereka. “Aku tahu. Tentu saja dia akan marah dan menuduhku telah mempermalukannya. Tapi aku yakin kalau kemarahan itu hanya akan berlangsung beberapa saat. Pada akhirnya nanti dia akan sadar bahwa untuk urusan istri, aku berhak mencarinya sendiri. Sudah cukup selama ini dia menentukan masa depanku. Menuntutku untuk melakukan apapun yang dia mau. Menjadikanku bonekanya. Tapi cukup sampai disini. Aku berhak hidup bahagia dengan orang yang kucintai. Bukan hidup terikat dengan seorang gadis yang lebih cocok jadi adikku sendiri.” ucap Ahmed panjang lebar. Hal yang memukau bagi Basir sebenarnya mengingat selama ini kakaknya itu termasuk sosok pendiam. “Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang? Kemana kau mau pergi?” tanya Basir ingin tahu. Ahmed mengedikkan bahu. “Entahlah.” Jawabnya jujur. “Aku tidak punya tujuan sementara ini. mungkin aku akan berkelana ke beberapa tempat. Berharap bisa mendapatkan pekerjaan apapun yang cocok untukku. Atau mungkin memulai bisnis baru di suatu tempat yang tidak akan terjangkau oleh Baba.” Ahmed menutup tasnya dan kembali memasukkannya ke kolong tempat tidur. “Kapan kau akan pergi?” tanya Basir ingin tahu. Ahmed memandang adiknya dengan dahi berkerut. Ia tidak memberikan jawaban. Bukannya ia tidak percaya pada Basir. Dia tahu bahwa adiknya itu adalah sosok yang sangat bisa dia percaya dan sangat bisa ia andalkan. Hanya saja dia memang belum punya rencana kapan dirinya akan pergi “Aku akan memberitahumu setelah semuanya pasti.” Jawabnya pada akhirnya. Basir mengerucutkan bibirnya dan menganggukkan kepala. Basir hanya menganggukkan kepala. Pria yang usianya tiga tahun lebih muda dari Ahmed itu lantas berdiri dan menepuk bahu kakak sulungnya, sedikit meremasnya sebelum kemudian berkata. “Ingat saja untuk mencatat nomorku.” Ucapnya dengan pelan. “Jangan lupa juga untuk membawa pager mu kemana-mana.” Kekehnya mengingat betapa pelupanya kakak sulungnya itu. Ahmed mengedikkan bahunya hanya supaya tangan adiknya itu lepas. Basir tertawa lantang dan kemudian meninggalkan kamar Ahmed. Meninggalkan kakaknya sibuk dengan pemikirannya sendiri. Beberapa jam sesudahnya, Ahmed berdiri di depan makam ibunya. Batu nisan berbahan marmer berwarna hitam itu diberi ukiran yang diwarnai tinta emas. Diatasnya tertulis nama ibunya dan tahun meninggalnya. Aynur Levent. yang artinya bulan bersinar. Dalam ingatannya, ibunya memang selalu bersinar. Ceria dan bahagia. Sayang Tuhan mengambilnya di hari yang sama saat adik terkecilnya—Gohan—terlahir. Ibunya mengalami pendarahan hebat, dokter tak bisa menyelamatkannya dan itu membuat mereka seketika menjadi piatu. Berkant Levent. Pria yang kini menginjak usia lima puluh tahun itu seolah menjadi sosok yang berubah sejak sang istri meninggal dunia. Ia tidak lagi memperhatikan anak-anaknya. Justru malah berubah dari sosok pria yang penuh cinta menjadi pria pendikte. Yang Ahmed tahu, kedua orangtuanya menikah dengan cinta. Dari cerita yang ia dengar dari kakek dan neneknya, keduanya jelas hidup bahagia meskipun dulu mereka tidak seberkecukupan sekarang. Dan Ahmed bisa merasakan masa-masa itu. sampai kemudian, Saat kemudian, usianya menginjak enam tahun, dan semuanya berubah. Ibunya yang saat itu sedang hamil Gohan mulai berubah. Tampak selalu lelah setiap kalinya. Bahkan tidak jarang Ahmed melihat bayangan di bawah matanya. Namun meskipun demikian, ibunya selalu menunjukkan senyum hangat padanya. Setiap kali mereka duduk berdua, dimana ia memijat kaki ibunya yang sudah mulai membengkak efek dari kehamilannya, ibunya sering memintanya supaya Ahmed bisa menjaga Basir dan juga bayi yang ada dalam kandungannya—yang kala itu ibunya duga merupakan anak perempuan karena proses kehamilannya yang berbeda dibanding saat mengandung Ahmed dan Basir. Ahmed kecil hanya bisa menganggukkan kepalanya patuh, karena ia tahu, sebagai kakak sulung itu sudah menjadi tugasnya untuk menjaga. Bukan hanya adik dan calon adiknya. Tapi juga ibunya dan jangan lupa nama baik Levent beserta tanggung jawab lainnya yang sudah ada di pundaknya sejak lahir. “Anne.” Ucap Ahmed dengan suara lirih. Ia duduk bersila di depan makam ibunya seperti yang biasa dilakukannya sejak usianya enam tahun. “Maafkan aku karena tidak bisa sepenuhnya memenuhi janjiku pada Anne.” Lanjutnya dengan nada menyesal. “Ahmed tidak bisa tinggal lebih lama lagi disini. Bukannya Ahmed tidak menyayangi Basir, Gohan ataupun Baba. Tapi Ahmed hanya mengikuti nasihat yang Anne berikan pada Ahmed sebelum Anne pergi meninggalkan kami semua.” Rasa sesak mendadak merayapi dadanya. Matanya tiba-tiba memanas dan pandangannya berubah menjadi buram seketika karena air mata. “Anne mengatakan bahwa kita harus hidup bersama orang yang kita cintai supaya kita bisa bahagia. Tanpa orang yang kita cintai, semuanya terasa hampa. Dan ucapan Anne itu benar-benar menjadi nyata. Semenjak Anne meninggal, Baba seolah bukan dirinya yang dulu. tidak ada lagi Baba yang tersenyum penuh kasih. Bukankah itu menyedihkan? Apalagi untuk Gohan.” Ucapnya dengan sedih. “Kenapa Anne membawa jiwa Baba pergi bersama Anne dan tidak menyisakan sedikitpun cinta dalam hatinya untuk ia bagi kepada kami?” tanyanya dengan setitik airmata yang jatuh ke pipinya. “Setidaknya Ahmed dan Basir bisa merasakan cinta Anne dan juga Baba meskipun semuanya terasa singkat. Tapi Gohan? Dia tidak bsia mendapatkan apa-apa. Dia tumbuh tanpa cinta. Cinta yang Ahmed dan Basir berikan padanya jelas tidak akan cukup. Dan sekarang, Baba semakin menjadi sosok yang tidak berperasaan. Baba meminta Ahmed untuk menikah dengan Arzu. Bayangkan itu, Anne. Bagaimana bisa Ahmed menikah dengan adik Ahmed sendiri? Ahmed tidak bisa melakukannya. Itulah sebabnya kenapa Ahmed ada disini. Ahmed ingin pamit pada Anne. Ahmed akan pergi dari sini. Maafkan Ahmed karena tidak bisa menjaga amanat Anne. Tapi sekarang, Gohan sudah dewasa. Ahmed yakin dia bisa mengambil keputusannya sendiri. atau setidaknya ada Basir yang akan menjaganya. Dia masih akan berada disini dan menjaga Gohan untuk Anne. Ahmed tidak bisa berjanji pada Anne kalau Ahmed akan kembali. Ahmed sendiri tidak yakin kalau setelah ini Baba masih akan menganggap Ahmed sebagai anaknya atau tidak. Tapi Ahmed ingin menjalani hidup dengan cara Ahmed sendiri. Ahmed ingin merasakan bahagia dengan hidup bersama wanita yang Ahmed pilih sendiri. Wanita yang Ahmed cintai dan mencintai Ahmed seperti Anne mencintai Baba dulu dan sebaliknya. Ahmed mencintai Anne. Dan Ahmed yakin, Anne akan mendukung keputusan Ahmed seandainya Anne masih hidup. Tenanglah di surga sana, Anne. Ahmed selalu mendoakan Anne dalam setiap sujud Ahmed.” Lantas Ahmed menggumamkan doa untuk mereka yang sudah meninggal sebelum beranjak pergi meninggalkan makam sang ibu dengan tas ransel yang sudah disiapkannya bertengger di pundaknya. Bismillah, saatnya menuju masa depan. Doanya seraya melangkah keluar dari area pemakaman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD