Chapter 2

1398 Words
Aku bukan tipe orang yang mudah lelah mencoba. Seperti saat ini, aku sedang mencoba membenci apa yang dulu sama-sama kita sukai. Berusaha mencintai apa yang sebelumnya aku benci, yakni mengakui bahwa dirimu benar-benar takkan kembali. (DF.03 Dee Felicia Chesta) *** Move on? Mudah disuarakan, sulit dilakukan. Mungkin itulah yang membuat Dee betah berlama-lama dengan perasaannya saat ini. Perasaan suka yang pada akhirnya terkontaminasi dengan benci. Muhammad Faiz Adyan, dialah yang dalam sekali tepuk mampu membuat remuk perasaan seorang Dee Felicia Chesta. Ucapan itu masih terngiang jelas di telinganya sampai hari ini. "Sorry, gue gak bisa sama lo Dee. Gue udah punya cewek namanya Riana. Dia seangkatan sama gue, tapi ikut kelas percepatan. Sekarang dia kuliah, fakultas kedokteran di salah satu universitas ternama di Surabaya. Gue sayang banget sama dia. Mulai sekarang berhenti mengharapkan gue, dan cari dunia lo yang baru." Dee menenggelamkan kepalanya ketika mengingat apa yang tempo hari Faiz katakan. Ia merasa sangat buruk karena kalah telak dari gadis itu. Dia tentulah cantik karena sukses besar memenangkan hati Faiz. Riana terbilang cerdas, pantas jika pada akhirnya disandingkan dengan lelaki itu yang sama cerdasnya. Apalah artinya Dee yang tak ada seujung kuku pun jika dibandingkan dengan Riana. "Sumpah, ya, Dee. Seandainya gue dikasih kewenangan buat kasih rekor sama seseorang, gue pastikan kalau lo dapat satu dari gue. Rekor penyandang galau terlama." Seorang laki-laki berperawakan tinggi, putih, mengambil posisi duduk di samping gadis itu. Dee melemparkan tatapan tajam pada sahabatnya. Astaga! Dean selalu saja mengacaukan lamunannya dengan suara bass dan cerocosannya. Sekarang lelaki itu bahkan berani mengejeknya, padahal dulu Dean tidak seperti ini. "Suka-suka gue dong. Sirik aja lo." "Idih, sirik sama orang galau. Gue lebih sirik sama orang bahagia." Namanya Dean Haidar Argani. Biarpun sedikit gila, tapi dia sahabat terbaik Dee. Mengapa Dee berani mengikrarkan demikian? Karena Dean satu-satunya orang yang rela terpapar ingus gadis itu jika sedang menangis. Tak terhitung berapa kali Dee menangis karena Faiz, dan bisa dipastikan kalau Dean akan selalu ada untuknya. "Faiz lagi ngapain, ya, De?" tanya gadis itu. Dean menoleh. "Mana gue tahu. Yang pasti dia lagi bahagia. Dia 'kan gak jomblo kayak lo." "Sial!" Dee mendesis kesal. "Udahlah Dee yang cantiknya ngalahin p****t onta. Jangan mikirin orang yang jelas-jelas gak pernah mikirin lo. Dia udah bahagia," kata Dean lagi, "lo kapan nyusul?" "Coming soon." "Bahagia itu gak datang dengan sendirinya. Harus ada usaha untuk meraihnya." Dean kembali bersuara setelah satu toyoran diluncurkan pada sahabat perempuannya itu. "Sakit banget rasanya, De. 30 September 2013. Gak bakal gue lupain omongan dia waktu itu." Terdengar helaan napas panjang. Kejadian itu sudah satu tahun yang lalu, tapi Dee masih berenang dalam luka yang sama. "Gue mau tanya sama lo, apa yang sebenarnya buat lo sakit?" Dean bertanya, "apa karena lo tahu dia udah punya cewek dan cewek itu lebih sempurna dari lo? Bukan itu jawabannya, Dee. Satu-satunya alasan kenapa lo selalu merasa sakit adalah karena lo belum bisa berdamai sama diri lo sendiri. Pikirkan baik-baik apa yang gue bilang." Tidak bisa berdamai dengan diriku sendiri? Dee membatin, mengulang apa yang terang-terangan dilontarkan sahabatnya barusan. Mungkin benar, rasa marah pada diri sendirilah yang membuat Dee selalu merasa sakit. "Gue balik dulu, ya, udah sore," pamit Dean. Namun sepersekian detik sebelum benar-benar pergi, Dean kembali berbalik. "Dee, ada yang harus selalu lo ingat, memaafkan adalah bagian penting dari melupakan." "Hati-hati, De." *** Keheningan menyelimuti kegiatan belajar Dee malam ini. Hanya terdengar suara televisi saja yang masih menyala, sepertinya sudah ditinggal tidur oleh sang mama. Berulang kali ia membaca materi untuk tes besok. Banyak dan rumit, tapi harus. Di daerahnya, selepas magrib memang sudah sangat jarang orang berlalu-lalang. Mereka lebih senang menghabiskan waktu di rumah, apalagi jika siangnya seharian bekerja. Baru ramai saat Persib Bandung bertanding, ada yang memilih bertandang langsung ke stadion, ada pula yang lebih senang berkumpul di rumah seseorang kemudian nonton bareng. Inilah kabupaten Bandung. Banyak area pesawahan yang lahannya digunakan untuk membangun gedung-gedung perkantoran, perumahan, atau rumah kontrakan. Meskipun demikian, tempat Dee tinggal masih sangat hijau. Rumahnya saja dikelilingi sawah. Cukup sejuk. Suara jangkrik dan katak yang saling bersahutan seperti irama pengantar tidur. "Dee, sudah malam. Cepat tidur. Besok teh kamu kesiangan lagi." Gadis itu terkesiap melihat kehadiran yang sang mama yang tiba-tiba. "Nanti, Ma. Ada hafalan Farmakognosi." "Ah, da Mamah mah teu ngarti. Nanti lagi ngehafalnya. Pasang alarm aja atuh." Dee mengangguk saja menuruti permintaan mamanya. Sang mama pasti lelah bekerja seharian, tapi masih sempat mengingatkannya untuk lekas tidur. Bagi Dee, mamanya itu segalanya. Tak ada lagi wanita sehebat dan sekuat beliau. Ia menutup buku paket farmakogonosi miliknya dan segera tidur. Alarm sudah di-setting pukul 03.00 WIB. Efektif untuk belajar. Baru saja matanya hendak terpejam, tiba-tiba ponselnya bergetar. Ada perasaan jengkel. Siapa pula yang menghubunginya selarut ini? From : Dean buluk Dee, jangan lupa jam 01.30 ada Liverpool. Perlu gue bangunin gak nih? Sekelebat bayangan Faiz melintas ketika Dean menyinggung masalah Liverpool. Waktu itu .... Dee nyaris menangis begitu tahu kalau Steven George Gerrard atau yang lebih akrab dipanggil Steven Gerrard kapten salah satu club sepak bola Inggris-Liverpool akan berhenti membela club kesayangannya itu. Ya, lagi-lagi Dee bersikap berlebihan, tapi Gerrard memang idolanya sejak lama. Ada yang mencibir, ada pula yang meraung merasa kehilangan. Bagaimanapun Gerrard dan Liverpool bak dua hal yang rasanya tak mungkin dipisahkan. Seorang laki-laki berperawakan tinggi, lengkap dengan kacamata minus menghampiri meja Dee. Jelas terlihat mati-matian menahan tawa yang siap meledak. Muhammad Faiz Adyan. Dia pasti ingin menertawai gadis itu sekarang. Jujur saja, pertama kali Dee mencintai Liverpool karena ada sosok Steven Gerrard di dalamnya. Jadi, bayangkan saja bagaimana rasanya ketika dia tidak ada. "Udah jangan cemberut gitu. Dari dulu kan gue bilang, cintai club-nya baru orangnya. Lo malah kebalik, cinta orangnya dulu baru club-nya, jadi kecewa, 'kan?" "Lagian masa tega banget sih depak Steven Gerrard dari Liverpool? Dia kan punya peran penting banget di sana." Faiz terkekeh. "Mana gue tahu. Lagian performa Steven Gerrard emang lagi turun. Faktor usia juga sih. Realistis aja, setiap club sepak bola pasti pengin punya pemain-pemain yang bisa diandalkan." "Tapi kan kesannya kayak dibuang gitu." "Gak mungkin dibuanglah. Gue yakin Steven Gerrard juga ngerti kenapa kontraknya harus selesai. Masih untung dia main di club lain, 'kan gak gantung sepatu?" Ia membenarkan ucapan Faiz. Ya, setidaknya Dee masih bisa melihat Gerrard bermain bola. Kenapa juga harus sebegini dilemanya? "Jadi, masih mau nonton Liverpool? Nanti malam terakhir kalinya Gerrard main sama Liverpool." "Bangunin." "Jangan kebo. Kalau ditelepon itu langsung angkat." Dee mengangguk patuh. Setiap Liverpool berlaga, Faiz akan membangunkannya dan setelah itu mereka nonton bersama--di rumah masing-masing. Gadis itu menggeleng menepis bayang-bayang tersebut. Ia sudah berjalan cukup jauh untuk mencoba melupakan Faiz, jadi jangan sampai hal kecil itu memaksanya kembali ke titik awal. To : Dean buluk Gak. Gue mau tidur, nanti mau lanjut hafalan. Bye Dean buluk. From : Dean buluk HAFALAN APA? SUMPAH ADA HAFALAN? KOK LO GAK KASIH TAHU GUE SIH KALAU BESOK ADA HAFALAN? BEGADANG LAGI NIH GUE. Dee tertawa kecil membaca pesan terakhir dari sahabatnya itu. Dasar Dean saja yang pelupa. Di kantin tadi Dee sudah mengingatkan. To : Dean buluk Gak peduli. Gue udah kasih tahu waktu di kantin tadi. Masnya aja yang pelupa. Tua sih. From : Dean buluk Upil kuman. Awas lo besok! Dee tak membalas lagi. Sudah sangat larut. Besok bisa-bisa ia kesiangan kalau nekat meladeni kegilaan Dean. Sepertinya mulai hari ini Dee harus membiasakan diri untuk membenci apa yang sebelumnya ia sukai. *** Faiz menenggelamkan kepalanya di atas meja belajar. Hari-harinya terasa membosankan. Terjebak dalam rutinitas yang sama. Belajar, belajar, dan belajar. Ia seperti tak punya kegiatan lain. Di hari libur Faiz lebih serinh menghabiskan waktunya di rumah, kecuali jika ia diajak main futsal. Seharian ini Riana tak menghubunginya. Faiz sadar betul kalau kekasihnya itu mungkin sibuk. Riana mendapat beasiswa, jadi ia pasti lebih banyak belajar agar tidak kehilangan beasiswanya itu. Itu pula yang membuat Faiz bersenang-senang dengan Dee selama ini. Hanya sekadar melepas kejenuhan karena Riana yang ada, tapi seperti tidak ada. Sejak masih SMA Riana seperti itu, dan Faiz tetap mempertahankannya. Kesenangannya berbuntut panjang. Dee berakhir membencinya sekarang, padahal ia tidak berniat mempermainkan. Jelas beda bukan antara bersenang-senang dengan mempermainkan? From : Riana ❤ Malam Faiz. Udah tidur belum? Aku ngantuk, tapi masih banyak tugas. Gadis yang sedang dipikirkannya tiba-tiba saja muncul mengirimkan sebuah pesan. To : Riana Tidur, Ri. Nanti bisa lanjut lagi tugasnya. Jangan sampai kamu sakit ❤ Gadis itu menghilang lagi setelahnya. Selalu begitu. Faiz harus bersabar lagi. Bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD