Rasa Kehilangan ~~

1116 Words
Wawancara terakhir yang dilakukan pada pelamar gelombang ketiga, untuk divisi Personalia pun akhirnya hampir selesai. Bahkan, dua dari tiga peserta sudah selesai melewati wawancara tahap akhir, dan dipersilakan keluar dari aula tersebut oleh sang Direktur. Sedangkan satu peserta yang tersisa, justru belum diberi izin untuk meninggalkan ruang aula. Padahal, semua pertanyaan yang diajukan oleh pewawancara sudah ia jawab semaksimal mungkin, seperti rekan satu perjuangannya yang lain. Membingungkan memang. Akan tetapi, gadis cantik itu tidak bisa berbuat apa-apa lagi, selain menunggu perintah dari calon atasannya. “Shaki Zainaya … berusia dua puluh tujuh tahun, berasal dari kota Bandung. Lulusan S1 jurusan Human Resource Management, dengan IPK tiga koma delapan,” ucap Direktur Personalia perusahaan tersebut, membaca daftar riwayat hidup pelamar di hadapannya. “Ya, Pak,” jawab Shaki. Sesekali, gadis itu menggerakkan bola matanya ke sisi kanan, menatap lelaki bersetelan jas navy, yang juga tengah menatapnya, sembari mengulas senyum hangat, menyemangati. “Boleh saya bertanya hal yang lebih pribadi?” tanya pria itu lagi. “Silahkan, Pak Rain,” jawab Shaki. “Bagaimana kamu bisa bertahan hidup, setelah ditinggal pergi oleh kedua orang tua kamu? Apa … kamu memiliki paman berkaki panjang yang selalu ada di samping kamu?” Pertanyaan menohok yang diajukan Rain, membuat ketiga pewawancara lain, yang masih berada dalam aula tersebut, seketika menatap pada lelaki itu, dengan raut wajah kebingungan. Pasalnya, pertanyaan, yang baru saja ditanyakan oleh atasan mereka, tidak ada dalam daftar pertanyaan yang harus mereka tanyakan pada para pelamar. Apalagi, bersifat pribadi, dan sensitif. “Pak Rain?” tegur sang Manager Personalia, dengan nada rendah, tepat di samping telinga Rain. Pria tampan bersetelan jas dark grey itu, hanya melirik sesaat pada lelaki di sampingnya, sembari tersenyum tipis. Namun rupanya, Shaki yang tidak merasa keberatan dengan pertanyaan tersebut, terlihat menghirup oksigen dalam-dalam, kemudian berkata, “bukan karena Saya menemukan seorang paman berkaki panjang. Melainkan, karena Saya sudah mengikhlaskan keadaan.” “Semudah itu?” tanya Rain lagi. Gadis cantik itu menggelengkan kepala. “Anak mana, yang benar-benar siap menghadapi kenyataan terpahit, ketika sang ibu yang melahirkan, dan Ayah yang selalu melindunginya, tiba-tiba pergi untuk selamanya, bahkan di depan mata kepala anak itu sendiri. Kalau boleh memilih, Saya ingin terus bersama orang tua Saya sampai tua nanti. Hanya saja, Tuhan memiliki scenario lain untuk hidup Saya. Hingga akhirnya, Saya bisa bangkit, dengan dukungan orang-orang di sekitar yang bisa menerima kehadiran Saya dengan tangan terbuka.” Mendengar jawaban gadis itu, membuat Rain seketika terdiam. Pikirannya begitu saja berlayar pada tragedi tak terduga yang tiba-tiba merenggut nyawa istrinya. Rasa sakit atas kehilangan orang yang sangat dicintainya itu, seakan tak pernah memudar, dan terus melekat dalam ingatan dan hatinya. Apalagi, ketika ia melihat Embun menangis, sembari menyerukan kata ‘Mama’, memeluk tubuh pengasuhnya sangat erat. Apa perasaan Embun seperti itu juga? Apa … senyum yang selalu diperlihatkan oleh putri kecilnya, adalah senyum penutup luka, seperti yang dilakukan gadis di hadapannya ini? Apa Embun akan kuat, tumbuh tanpa adanya seorang Ibu di sisinya? Sedangkan Rain sendiri, justru masih berlarut dalam kesedihan, hingga melupakan kehadiran putrinya. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, tiba-tiba berputar dalam pikiran Rain. Ingin rasanya ia tahu, bagaimana perasaan Embun saat ini. Namun, anak sekecil putrinya, masih belum bisa mengutarakan, apa yang ia rasakan sekarang. Rain menghela napas dalam. Dia tatap gadis dengan mata berkaca-kaca itu, lalu menghembuskan napas panjang. “Bagaimana kamu meyakinkan diri untuk kuat, sedangkan, saat kedua orang tuamu meninggal, kamu masih berusia lima tahun, seperti yang tertulis dalam CV?” “Dengan tersenyum.” Gadis itu menjeda ucapannya, lalu menghapus air mata, yang tiba-tiba terjatuh di atas wajahnya. “Kehilangan terberat itu, bukan soal cinta. Tetapi, ketika dua malaikat tak bersayap yang kita miliki, harus kembali pada pelukan Sang Pemilik Ruh, meninggalkan senyuman terakhir yang dipenuhi luka,” lanjutnya, lirih. *** Rintik air hujan yang begitu tipis, mulai berjatuhan, membasahi jalanan kota sore ini, menemani langkah seorang gadis cantik, yang tengah berjalan menyusuri trotoar, hendak kembali ke rumah sewanya. Namun sayang, bulir-bulir tipis itu, perlahan mulai membesar, hingga membuat Shaki segera berlari, untuk berteduh di halaman gedung pertokoan yang sudah tutup. Hujan, adalah hal yang paling disukai gadis itu, sejak kepergian kedua orang tuanya. Karena bagi Shaki, hanya hujan lah yang mampu menghantarkan rasa rindu, selain pelantara lantunan doa. Walau nyatanya, hujan hanya kiasan semu, yang menyamarkan luka dan air mata. Netra kecoklatan yang terlihat sayu itu, terlihat menikmati pemandangan setiap tetesan hujan, yang berjatuhan dengan cepat, dan mengganggu orang-orang yang tengah beraktivitas di jalanan. Ia tengadahkan telapak tangannya, hingga tetesan air tersebut membelai kulitnya. “Hai, hujan. Aku harap, kamu tidak membawa petir kali ini,” gumamnya, ketika gadis itu tiba di tempat berteduh. Kepalanya menengadah, menatap awan gelap yang menutupi langit sore hari ini, ditemani kilasan singkat, senyuman termanis dari kedua orang tuanya, dan rasa menenangkan, kala teringat, bagaimana hangatnya sentuhan tangan Ayah dan Ibu. Saking terfokusnya pada hujan, gadis itu bahkan tidak menyadari, satu unit mobil Nissan Teana berwarna putih, kini terparkir di pelataran toko kosong, tak jauh dari posisinya berteduh. Sedangkan sang pengemudi kendaraan roda empat tersebut, sudah berdiri di samping gadis itu. “Kamu lagi ngapain, De, di sini sendirian?” Mendengar suara bariton yang tiba-tiba saja menyapa indera pendengarannya, membuat Shaki seketika terperanjat, dan menoleh ke belakang, dengan mata membulat sempurna. “Astagfirulah, Bang Delio!” ucapnya, dengan napas terengah. Pria tampan bertubuh tinggi itu seketika tertawa, melihat reaksi menggemaskan dari Shaki, sembari mengacak puncak kepala gadis itu. “Fokus banget, sih, liatin hujan. Sampai-sampai gak sadar, Abang dari tadi berdiri di belakang kamu.” Belum sempat Shaki membalas perkataan lelaki itu, kilatan petir, diikuti suara guntur yang cukup keras, tiba-tiba menggelegar. Hingga membuat Shaki seketika terlonjak kaget, berhambur memeluk lelaki itu dengan erat. Tubuhnya bergetar hebat, diikuti napas tersengal. Setiap kali melihat kilatan cahaya seperti tadi, ingatan akan tragedi kecelakaan bis yang telah merenggut nyawa kedua orang tuanya, begitu saja membayangi pikiran. Tak hanya itu saja, bayangan para korban meninggal pun, seakan tak ingin lepas dari ingatan gadis itu, selama dua puluh dua tahun terakhir, dan selalu ikut hadir, setiap kali trauma itu kembali. “I-Ibu … A-Ayah ….” Dengan cepat, pria itu membalas pelukan tersebut, sembari mengusap punggung Shaki dengan lembut, berusaha menenangkan gadis itu. “Tenang, De. Tenang. Ada Abang di sini. Kamu jangan takut,” bisiknya. “Bang, pulang. Ade mau pulang.” Pinta Shaki, dengan suara bergetar. “Iya, Abang anter Ade pulang. Tapi, Ade tenangin diri dulu. Abang gak mau, Ade bergantung obat penenang lagi,” balas lelaki itu. Tak ada jawaban apapun dari gadis itu. Yang terdengar, hanya suara isak tangis, diselingi gumaman kecil melirih yang selalu ia perdengarkan, dikala trauma mengerikan itu kembali menguasai diri Shaki. “Ibu … Ayah … d-darah ….” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD