Prolog

665 Words
Dalam sebuah rumah besar, dengan bendera kuning yang masih tersemat di depan pagar, berikut sederetan karangan bunga duka cita dari para rekan bisnis pemilik rumah tersebut, seorang pria tampan dengan raut wajah lelah, nampak memejamkan mata, sembari memeluk putri kecilnya yang baru saja bisa tertidur setelah seharian menangis, mencari keberadaan sang ibu, yang baru saja meninggal tujuh hari lalu. Namun … lagi-lagi, gadis kecil berusia dua tahun itu kembali terbangun di waktu tengah malam, duduk di atas tempat tidur, seraya mengedarkan pandangannya, menatap sekeliling kamar luas bertema merah muda, mencari keberadaan sang ibu, yang biasa menemaninya tidur setiap hari. Dan tangisan kecil gadis itu kembali memecah keheningan, membuat pria tampan yang masih belum berganti pakaian itu ikut terbangun, dan segera meraih tubuh kecil putrinya ke dalam pelukan, sembari mengusap dengan lembut puncak kepalanya. “Kok Embun bangun, sih?” tanya pria itu, berusaha menenangkan putrinya. “M-Mama … M-Mama ke mana? Embun mau tidur sama Mama.” Embun balik mengajukan pertanyaan pada sang Ayah, di sela isak tangisnya, walau dengan pelafalan yang masih belum jelas. Pria tampan itu kembali membaringkan tubuh putrinya di atas tempat tidur, masih dalam posisi memeluk Embun yang sedang menangis sesenggukkan. Sambil menatap mata sendu anaknya, ia singkirkan helaian rambut yang menghalangi penglihatan gadis kecil itu, lalu menghapus air bening yang tanpa henti menetes dari kedua sudut mata mungil Embun. “Sekarang … Mama lagi main di rumah Tuhan. Mama lagi belanja, terus masak, buat Oma dan Opa Embun,” jawabnya. “Rumah Tuhan di mana, Pa?” tanya Embun lagi. Gadis kecil yang mulai sedikit tenang itu, kini menatap pada wajah sang Ayah. “Di surga.” Pria itu mencoba menahan perasaan sedihnya, agar tidak menangis di depan Embun lagi, yang pasti akan membuat putri kecilnya semakin merasa kehilangan. “Kapan Mama pulang ke rumah?” “Mama gak akan pulang. Kan, Mama Embun udah tinggal di surga, sama Tuhan, Opa, Oma, dan adik kembar Embun.” “Kenapa Mama gak pulang? Rumah Mama, kan, bukan di surga, tapi di sini … sama Embun, sama Papa, sama Mba Sisil,” tanya Embun, semakin ingin mengetahui keberadaan sang Ibu. “Karena Tuhan sayang sama Mama. Jadi …,” pria itu kembali membawa tubuh kecil Embun ke dalam pelukannya, lalu mengecup puncak kepala putrinya. “… Tuhan memanggil Mama lebih dulu, untuk tinggal bersama di surga. Tuhan udah kangen banget sama Mama.” Lagi-lagi, suara tangisan kecil itu kembali pecah, membuat siapapun yang mendengarnya, akan ikut merasakan, sedalam apa kesedihan seorang anak, yang baru saja ditinggalkan pergi oleh sang ibu untuk selamanya. “Tuhan … kenapa ambil Mama Embun? Bukan cuma Tuhan yang sayang sama Mama, tapi Embun juga sayang. Embun janji, gak akan nakal lagi, gak akan buat Mama kesel lagi. Embun janji, bakal habisin makanan Embun, biar nasinya gak nangis, dan Tuhan gak ambil Mama Embun. Embun juga gak akan jajan es krim lagi. Tuhan, kembaliin Mama. Embun kangen sama Mama. Embun pengen peluk Mama. Embun pengen bobo sama Mama lagi,” gumam Embun dengan pelafalan tidak jelas, sembari mengangkat kedua tangan mungilnya, dan mata terpejam, memohon pada Tuhan agar Ibunya bisa kembali, dan berkumpul bersama. Dan tepat setelah mendengar permintaan yang terlantun dalam doa putri kecilnya, benteng pertahanan kokoh, yang berhasil ia bangun selama tujuh hari ini, akhirnya roboh, dan hancur …  sehancur-hancurnya. Tanpa bisa ia kendalikan lagi, air mata kesedihan, karena kehilangan sosok wanita yang sangat dicintainya itu, kembali pecah. Karena sekuat apapun ia menahan perasaan … jika melihat kesedihan dari putri kecilnya, semua usahanya terasa sia-sia, dan tanpa sadar air mata itu terus berjatuhan di atas wajahnya. “Embun masih punya Papa. Papa janji, akan mengutamakan kebahagiaan Embun, di atas segalanya. Papa yakin, Embun gadis kecil yang kuat. Kita berjuang bersama, melewati ujian terberat ini, iya, Sayang?” gumamnya, lalu mengecup kening putrinya cukup lama, berharap Embun bisa merasakan kasih sayang yang tak kalah besar, dari kasih sayang sang Ibu. “M-Mama … M-Mama … M-Mama ….” panggil gadis kecil itu sangat lirih. *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD