“Beri alasan untukku tetap bertahan bersamamu, Mas? Karena malam ini mungkin akan menjadi saat terakhir kita menghabiskan waktu bersama.”
_______________________________________
Rendi merebahkan tubuh mungil Airin di atas tempat tidur. Dengan kuat ia menahan kedua tangan wanita cantik itu ke atas bantal sambil terus menelusuri leher jenjang di hadapannya. Mengembuskan nafas hangat yang menyapa halus kulit istrinya. Mengecup dan menghisap beberapa kali, membuat tubuh mungil di bawahnya mendes4h lirih.
“Apa kamu mencintaiku, Mas?” bisik Airin lirih, ketika wajah mereka saling berhadapan.
“Apa penting buatmu saya cinta atau tidak? Toh sampai detik ini kamu masih menjadi istriku,” jawab pria itu dengan nafas yang memburu. Rasanya sudah tak sanggup lagi menahan gejolak di dalam dirinya.
“Tapi bukan itu,” belum selesai Airin bicara, tapi Rendi sudah meraup bibirnya dengan rakus.
“Diam, Airin! Dan nikmati saja malam ini!” titahnya, tak ingin aktivitasnya terganggu dan mulai melanjutkan kegiatannya. Pria itu tenggelam dalam kabut gairahnya sendiri.
Berbeda dengan Airin yang merasa sedikit kecewa dengan jawaban yang Rendi berikan atas pertanyaannya. Bukan, bukan itu jawaban yang ingin wanita itu dengar dari bibir pria yang selama ini menjadi suaminya.
‘Bukan jawaban itu yang ingin aku dengar, Mas! Tapi baiklah jika itu yang selama ini kamu rasakan!’ ucap Airin dalam hati.
Namun wanita itu tak ingin ambil pusing dengan sikap Rendi. Ia memilih menutup kedua matanya, dan mulai menikmati serta larut dalam permainan Rendi.
***
Sinar mentari menyusup dari sela celah jendela pagi ini. Hangatnya menyapa lembut wajah Airin yang baru saja terjaga dari tidurnya. Wanita itu menutup wajah atas dengan punggung tangan, berusaha melindungi matanya dari terang cahaya matahari. Kedua kelopak matanya mengerjap pelan, sebelum akhirnya terbuka.
Airin menoleh ke belakang, pandangannya tertuju pada bantal kosong. Bukan pemandangan aneh buatnya, seperti biasa Rendi sudah tak lagi berada di sana setiap Airin membuka matanya. Wanita itu menarik tubuhnya ke atas, duduk bersandar di sandaran tempat tidur. Ia mengambil ponsel yang berada di atas nakas. Melihat bilangan angka yang terpampang di sana.
“Sudah jam delapan rupanya, pantas mas Rendi sudah tidak ada. Mungkin sudah bersiap di meja makan. Sepertinya aku terlalu lelah semalam, hingga tidurku terasa sangat nyenyak,” ucapnya sendiri, pipinya memerah ketika bayangan kegiatan semalam terlintas lagi di ingatannya.
Airin menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Perlahan kakinya turun dari atas tempat tidur. Ia melangah menuju lemari pakaian yang ada di sisi lain kamar tidurnya. Membuka perlahan laci yang ada di sana, lalu mengeluarkan sebuah kotak terbungkus kertas cantik dari dalamnya.
“Hari ini hari ulang tahun pernikahan kita yang ke lima, Mas. Aku tahu mungkin kamu tidak pernah mengingatnya, karena selama ini memang seperti itulah adanya,” ucapnya. “Rasanya aku seperti mencintaimu sendiri,” kekehnya pelan, menertawakan dirinya sendiri. Dibawa kotak berpita biru itu dalam genggamannya.
Tepat seperti dugaan Airin, di ruang makan ia menemukan Rendi sudah duduk dengan secangkir kopi di depannya. Pria itu terlihat rapi dengan kemeja dan jas warna navi-nya. Rupanya sudah siap untuk segera berangkat ke kantor. Pandangan pria itu tertuju pada layar ponsel yang ada di tangan. Terlalu fokus hingga ia tidak menyadari kehadiran Airin di sana. Bahkan Rendi tidak sadar ketika Airin sudah berdiri di sampingnya.
“Selamat ulang tahun pernikahan, Mas!” ucapnya sambil merangkul pria itu dari belakang. Tangan kanannya menyodorkan kotak biru yang ia pegang kepada Rendi.
Dikejutkan seperti itu, pria itu tersentak kaget dan tak sengaja menampakkan layar ponsel yang menyala ke arah Airin. Membuat wanita itu tahu jika suaminya sedang berbalas pesan melalui aplikasi hijau dengan seseorang.
Dahi Airin mengerut, mengeja nama yang terpampang di sana. “Nadia,” bacanya dalam hati. Nama seorang wanita yang sepertinya pernah ia dengar sebelumnya.
“Memangnya hari ini ulang tahun pernikahan kita?” tanya Rendi bingung, ditolehnya wanita yang masih setengah membungkuk diam di belakangnya. Rupanya pria itu benar-benar lupa dengan salah satu hari istimewa dalam hidupnya. Kedua tangannya melonggarkan pelukan tangan Airin dari tubuhnya.
Lalu meraih benda yang di sodorkan Airin kepadanya. “Maaf aku lupa jika hari ini ...,”
“Tidak apa, aku tahu Mas sibuk akhir-akhir ini. Jadi wajar jika lupa dengan hal-hal seperti ini,” potong Airin yang kini berdiri di samping kursi suaminya dengan senyum yang terkembang.
Meski dalam hatinya terbesit tanya tentang wanita lawan bicara suaminya. Airin berusaha keras mengingat siapa Nadia sebenarnya.
Menatap wajah lembut Airin membuat Rendi merasa sedikit menyesal dengan kelupaannya, dihelanya nafas panjang.
“Airin, kamu benar. Mungkin aku memang terlalu disibukkan dengan pekerjaan hingga melupakan hari penting ini. Mmm... begini saja sebagai permintaan maaf ku, nanti malam bagaimana jika kita makan malam di luar berdua?” tawar Rendi kemudian.
Wajah Airin yang berubah sumringah. Wanita itu mengangguk cepat tanda setuju dengan apa yang Rendi katakan. Tentu saja Airin merasa senang dengan ajakan suaminya, secara Rendi sangat jarang mengajaknya makan di luar berdua.
“Okey kalau begitu malam ini kita makan di luar.” Putus Rendi.
“Kalau begitu tunggulah sebentar, aku buatkan Mas sarapan,” gegas Airin bersemangat. Wanita itu hendak melangkah ke dapur namun ditahan oleh Rendi.
“Tidak usah, aku harus buru-buru pergi. Ada urusan penting yang harus aku selesaikan sekarang,” cegah Rendi sambil mematikan layar ponselnya.
“Oh, baiklah kalau begitu,” Airin coba memahami jika suaminya memang sedang terburu-buru.
Pria itu berdiri dari duduknya, menyesap sisa kopi di cangkir sebelum melangkah pergi meninggalkan Airin seorang diri. Tak ada kecupan sebelum pergi, tak ada kata berpamitan seperti yang biasa pasangan lain lakukan ketika suami hendak pergi bekerja.
Bukan hal yang aneh bagi Airin, karena memang seperti itulah sikap Rendi selama ini kepada dirinya. Ketika hendak pergi bekerja maka pria itu akan langsung meninggalkannya begitu saja. Seakan tak peduli dengan keberadaannya sebagai seorang istri.
Airin hanya berdiri diam, ditatap punggung suaminya yang semakin menjauh sebelum akhirnya menghilang di balik pintu keluar. Wanita itu menarik punggung kursi di sebelahnya, lalu mendudukkan tubuhnya sambil menghela nafas panjang.
“Lima tahun kita hidup bersama, kenapa masih juga belum bisa kamu buka hatimu buatku, Mas?” wajahnya terlihat sendu, senyum yang sejak tadi ia tampakkan kini mulai memudar. “Padahal aku sudah berusaha keras membuatmu menerima keberadaanku. Padahal aku sangat mencintaimu dan berusaha untuk membuatmu bahagia berada di sampingku, tapi ternyata semua usahaku masih kurang.” Tangan Airin meremas tisu makan di hadapannya.
Bukan wanita itu acuh dan tak peduli dengan semua sikap yang suaminya tunjukan kepadanya. Istri mana yang tidak merasa sedih ketika suaminya bersikap seolah-olah mereka berdua adalah orang asing yang hidup bersama dalam satu atap.
Dering ponsel membuyarkan lamunan Airin. Wanita itu menatap layar ponsel miliknya yang kini menyala terang. Nama Tante Silvia terpampang di sana. Ibu Rendi yang juga ibu mertuanya itu tampak menghubunginya. Jemari lentik menggeser ikon hijau di layar ponsel, lalu ia tempelkan benda pipih itu di telinganya.
“Ya, Tante!” sapa Airin yang meski sudah menikah dengan Rendi selama lima tahun, namun tetap memanggil ibu mertuanya dengan sebutan tante.
“Airin, aku hanya sekedar mengingatkan jika hari ini adalah batas waktu kontrak perjanjian kita berakhir...,”