Kaito Matsusawa

3013 Words
Hai! Kenalkan namaku Kaito. Lengkapnya Kaito Matsusawa. Jangan tanya kenapa namaku terdengar seperti nama khas orang Jepang, karena aku yakin kalian semua sudah tahu jawabannya. Yup! Kalian semua menjawab dengan benar. Aku adalah anak lelaki tampan keturunan Jepang. Papiku adalah warga negara asli Jepang, namanya Saitoru Matsusawa. Dia adalah seorang seniman. Lebih tepatnya seorang pelukis dan penulis karikatur manga Jepang. Dan mamiku asli orang Indonesia, lebih tepatnya berasal dari wilayah sumatera utara. Salah satu suku bermata sipit dan hampir mirip seperti orang Jepang, yang berada di sebuah pulau terkenal di propinsi ini. Tapi jangan pikir itu yang menjadi penyebab mereka akhirnya menikah. Karena aku sendiri juga tidak mengerti. Mami jarang sekali bercerita tentang papi, apalagi tentang kisah cinta mereka dulu. Jadi bisa kalian bayangkan wajahku seperti apa? Kulit yang putih bersih tanpa bulu - bulu halus di tangan dan kakiku, sehingga aku sering mendapatkan ledekan dari teman - teman seangkatanku di kampus. Wajah putih mulus, bibir tipis berwarna kemerahan, hidung bangir, dan mata sipit. Jangan salah, meskipun mataku sipit tapi aku punya bulu mata paling lentik diantara kaum wanita di kampusku dan juga alis hitam tebal. Tapi aku bukan sinchan loh ya, karena aku lebih tampan darinya. "Kaitooo...!" Yah, itu suara nyaring mamiku yang sudah mulai terdengar di seluruh penjuru rumah. Bisa bayangkan berapa oktaf suara yang dikeluarkannya? Ini masih pagi buta tapi suaranya bahkan sampai ikut membangunkan para tetangga. "Kaitoo..., ayo bangun! Kita harus olah raga pagi! Kamu ini calon dokter, harusnya biasakan bangun pagi biar tubuhmu itu sehat." Ocehan mami terdengar saat menyingkap selimut dari tubuhku. Apa yang harus aku katakan, seperti itulah wanita yang melahirkanku ke dunia ini. "Iya, Mi. Bentar lagi..." sahutku malas sambil menarik kembali selimut itu dari tangannya untuk menutupi wajahku. Mataku masih terlalu berat untuk dibuka. "Kaito! Mami tunggu di bawah. Kalau dalam sepuluh menit kamu tidak turun, Mami bakal suruh Mbak Asih buat nyiram kamu!" Ancaman mami menggema di telingaku, kemudian mami pergi sambil membanting pintu dengan keras. "Kinaraaa...!" Ya, kini mami terdengar berteriak lagi. Perlu diketahui. Kinara alias Kinara Matsusawa adalah anak paling bontot alias paling kecil di rumah ini, setelah aku. Kalian tau apa artinya? Yup, Kinara Matsusawa adalah anak kedua Saitoru Matsusawa dari mamiku. Kalian pasti bingung kan? Perlu aku jelasin lagi pada kalian semua. Papi Saitoru memiliki istri lain di Jepang bernama Miyuki. Mereka memutuskan untuk menikah tepat dua tahun setelah mami dan papi memutuskan untuk berpisah baik - baik. Saat itu aku sudah berusia enam belas tahun dan adik perempuanku berusia sembilan tahun. "Kinaraaa..., ayo bangun!" Teriak mami lagi. "Aah... aku masih ngantuk Mami!" Sahut Kinara tak kalah kuat. Aku bisa mendengar suara dua wanita beda usia itu dengan sangat jelas. Karena kamar Kinara berada tepat di sebelah kamarku. Pasti saat ini mami sudah berada di kamar Kinara dan memaksanya untuk bangun. "Ayo bangun! Anak gadis itu gak boleh malas bangun pagi, nanti jodohnya jauh." Celoteh mami lagi. "Hahaha...." Aku terkekeh mendengarnya. Sejak kapan peribahasa itu berubah? Apa sejak mami melahirkan Kinara, adikku? Yang aku tahu, malas bangun pagi entar rejekinya jauh karena keburu dipatok ayam, itu yang dulu sering aku dengar dari nenekku dan juga dari guru di sekolah dasar. Kata-kata yang mami gaungkan barusan sukses membuat kantukku hilang dalam sekejap. Setelah membasuh wajah di wastafel kamar mandi dan menggosok gigi, aku segera keluar dari kamar. Berpapasan dengan Kinara yang masih tampak kusut. "Ohayō onīsan..." Ucap Kinara sambil menguap lebar, yang berarti selamat pagi abang. "Ohayō watashi no imōto..." sahutku padanya, artinya selamat pagi adik kecilku. Lalu berjalan mendahuluinya. "Dimana Mami?" tanya ku padanya. "Gak tau. Mungkin Mami udah nunggu di bawah, seperti biasanya." Jawab Kinara lalu menguap lagi. "Basuh wajahmu itu pakai hangat biar segar biar sekalian beleknya hilang. Jangan lupa untuk sikat gigimu, nafasmu seperti bau naga," sindirku padanya yang langsung membalasku dengan satu tinju keras di pundakku. "Auww...," aku mengusap pundak kuat. "Makanya, jangan macam-macam sama jagoan karate!" Balasnya sambil berlari meninggalkanku yang masih terpaku di tangga. "Awas kamu...," kataku lalu mengejarnya turun. Adikku itu memang tomboy. Jangan tertipu padanya, meskipun wajahnya cantik dan juga terlihat imut, sebenarnya dia itu cewek galak dan jago karate. Mami sengaja memasukkannya dalam kelas karate. Bukannya kelas balet, kelas, nyanyi, atau kelas musik seperti anak gadis kebanyakan. Itu karena mami terlalu khawatir padanya karena dia terlalu cantik untuk gadis seumurannya. Mami bilang untuk berjaga-jaga bila ada orang yang berniat jahat padanya atau berniat menculiknya. Sejak Kinara berusia tujuh tahun, mami sudah mulai membawanya untuk les beladiri karena teman-temannya sering usil padanya. Kemudian saat dia duduk di bangku kelas satu sekolah menengah pertama, mami mulai mendaftarkannya di kelas karate dan berlanjut sampai sekarang. Mungkin sekarang dia sudah sabuk hitam kali ya. Aku juga tidak terlalu paham. "Ayo Kaito, Kinara, mari sini! Kita senam pagi dulu." Panggil mami dari pekarangan samping rumah. Kulihat mbak Asih juga sudah berada di sana bersama mami, sedang melakukan pemanasan bersama-sama. Gegas aku mengambil posisi di belakang mami, sedangkan Kinara berdiri di belakang mbak Asih. Sementara mami mulai menyetel musik senam dengan volume keras. Ya ampun, bisa bayangkan gimana reaksi orang-orang yang mendengarnya. Aku sih pura-pura gak tau aja. _____ "Kamu berangkat kuliah jam berapa?" Tanya mami. Saat ini kami sedang kumpul di meja makan untuk menikmati sarapan nasi goreng buatan mbak Asih. "Jam sepuluh, Mi. Abang cuma mau ambil surat pengantar dari kampus. Mulai minggu depan Abang magang di Rumah Sakit Ibu dan Anak." Jawabku saat menoleh pada mami. "Kalau gitu, hari ini Abang antar aku ke sekolah ya. Aku lagi malas jalan sendiri." Kinara menimpali perkataanku. "Bukannya kamu biasa berangkat bareng Dara ya?" Tanyaku heran. Biasanya Dara dan Kinara selalu berangkat sekolah bareng. "Dara hari ini gak masuk sekolah." "Kenapa?" Tanyaku. "Dia lagi liburan ke luar negeri," Kinara melirik ke arahku. "Emang boleh ya? Enak banget." Sahutku iri. "Mi, kita kapan liburan ke luar negeri?" Tanyaku melirik ke arah mami yang fokus menghabiskan nasi gorengnya yang tersisa sedikit. Ku dengar mami menghela nafas pelan. "Mau liburan kemana?" Tanya mami tanpa menoleh. "Ke Jepang aja, Mi. Kinara rindu Papi." Jawab Kinara spontan yang mendapat pelototan dari mami. "Kalau kalian mau ke Jepang, kalian berangkat sendiri aja. Mami gak ikut, Mami sibuk." Kata mami beralasan. "Gimana, Bang? Abang ikut gak?" Mata Kinara tampak berkedip-kedip. "Gak bisa. Abang udah mulai tugas di rumah sakit jadi gak bisa kemana-mana." Kataku. Tapi itu memang benar, aku sudah mulai magang sebagai dokter anak di rumah sakit ibu dan anak di kota Medan. "Ya udah deh, liburan kenaikan kelas aku mau ke Jepang. Aku berangkat sendirian aja, aku kan jagoan." Jawab Kinara penuh percaya diri. Dan hanya mendapat dengusan dari mami. "Cepat habiskan sarapanmu. Dasar anak nakal!" Ujar mami sebal. Kulihat mami langsung masuk ke kamarnya setelah menyelesaikan sarapannya. Begitu juga dengan Kinara yang langsung naik ke kamarnya untuk bersiap-siap pergi ke sekolah. Hanya tinggal aku sendiri saja di meja makan. Sebenarnya nasi goreng di piringku sudah habis sejak tadi. Tapi aku malas untuk berpindah tempat. Sambil menunggu Kinara turun, aku sengaja memainkan ponselku. Berseluncur di sosial media yang aku ikuti. Melihat status terkini dari teman-teman seangkatanku di kampus. Beberapa notifikasi muncul di layar ponselku bersamaan dengan dering yang bergema di ruang makan. Ada beberapa pesan masuk di grup anak kedokteran yang aku ikuti. Beritanya hanya tentang informasi pengambilan surat pengantar untuk kerja magang untuk anak semester akhir. Termasuk balasan dari teman-teman grupku. Lalu sebuah notifikasi pesan dari Dara, sahabat adikku. Dia bertanya mengapa ponsel Kinara tidak aktif dan langsung aku jawab kalau aku tidak tahu. Kemudian dia memberitahu bahwa dirinya tidak jadi liburan ke luar negeri, dan saat ini sedang dalam perjalanan menuju rumah kediaman kami untuk menjemput Kinara. Aku tidak membalas pesan terakhir darinya. Karena ku pikir, sebentar lagi juga mereka akan bertemu. Dan benar saja, tidak sampai sepuluh menit Dara sudah sampai di depan rumah dan membunyikan klakson mobilnya berulang kali. "Mbak Asih, sana liatin ke depan. Bilang jangan berisik, Mami lagi bertapa." Kataku meminta mbak Asih untuk keluar melihat keributan di depan rumah. Itu membuatku sangat terganggu. "Ada Mbak Dara datang. Katanya mau jemput Mbak Kinara." Kata mbak Asih saat memberi laporannya padaku. "Ya udah, sana paggilin Kinara di kamarnya. Bilang Dara udah datang menjemput." Suruhku pada mbak Asih yang langsung diturutinya. Mbak Asih dengan cekatan naik ke lantai dua menuju kamar Kinara. Tak berapa lama, mereka terlihat turun bersama. "Bang, bilangin sama Mami kalau aku berangkat sama Dara, ya. Bye." Katanya lalu mencium pipiku kemudian langsung lari ke depan. "Mm..." sahutku tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel pintar milikku. Entah sudah berapa lama aku berada di ruang makan. Tapi yang pasti, rumah kini terasa sangat sepi. Aku sudah tak melihat mbak Asih mondar-mandir di dalam rumah. Barangkali saat ini dia tengah mojok sama tukang sayur keliling langganan art alias mbak-mbak komplek. Biasanya jam segini mereka sudah pada kumpul sambil cerita ngalor ngidul. Apalagi kalau bukan gosipin mbak-mbak tetangga sebelah yang berasa lebih cantik dari mereka. Atau lagi ngebahas anak-anak majikan mereka yang ganteng dan cantik juga cetar membahana. Gak masalah sih, soalnya rumah juga udah pada bersih semua, soalnya mbak Asih ngerjainnya dari pagi-pagi buta sebelum mami sibuk ngajakin olah raga pagi. "Mami mana? Kok perasaan dari tadi gak keluar - keluar ya?" aku membatin. Karena penasaran, aku langsung mendekati kamar mami. Sengaja aku ketuk kuat-kuat pintu kamarnya, berharap mami mendengar panggilanku. Tok tok tok !!! Hening. Tak ada jawaban dari kamar mami. Tok tok tok !!! "Mami...," panggilku kuat. Namun masih tidak ada jawaban. Tok tok tok !!! "Mami..., are you okey?" Tanyaku dengan perasaan khawatir. Ku dengar pintu terbuka dari dalam. Mami muncul dari balik pintu kamar sambil menguap lebar. "Ada apaan sih, Bang? Kamu berisik banget." Kata mami, matanya setengah terpejam. "Mami lagi tidur ya?" Tanyaku penasaran. Meskipun bisa ditebak kalau mami baru aja bangun. "Iya. Mami ngantuk. Udah sana! Tadi Abang bilang mau ke kampus, sana siap-siap! Mami mau lanjut tidur lagi. Bilang sama Mbak Asih jangan bangunin Mami, Mami lagi pusing." Jawab mami sambil menguap. "Mami gak ke butik hari ini?" Tanyaku lagi. "Mami lagi males. Besok aja. Nanti siang Mami ada arisan, kamu tolong antar Mami ya." Pintanya sebelum menutup kembali pintu kamarnya. Aku bahkan belum sempat menjawab. _____ [Bang, kamu dimana? Masih lama lagi gak?] - pesan mami yang aku terima siang ini. Aku lupa kalau harus mengantar mami pergi arisan siang ini. [Maaf Mi, Abang lupa. Mami dimana?] - balasan yang aku kirim buat mami. [Mami masih di rumah. Buruan, Mami udah terlambat.] - tulis mami membalas pesanku. [Mi, Abang masih lama. Ini masih nunggu ijin dari rumah sakit dulu. Mami naik taksi aja ya, nanti Abang langsung susulin Mami. Abang janji.] - balasku lagi. Hening. Tak ada balasan lanjutan dari mami. Mungkin mami sedang marah, pikirku. Tapi aku gak mungkin pergi begitu saja. Masa depanku sebagai dokter sedang di pertaruhkan di sini. Mulai minggu depan aku akan menjadi dokter "co-ass" di poli anak, Rumah Sakit Ibu dan Anak. Itu adalah langkah awalku untuk menjadi seorang dokter spesialis anak. Seperti harapan mami padaku. [Ya sudah, Mami sudah pesan taksi online. Nanti kamu langsung susulin Mami ke sana ya. Ke tempat biasa.] - balas mami setelah beberapa saat tidak menerima kabar darinya. [Ok.] - balasku cepat pada mami. Bertepatan dengan dipanggilnya namaku dan juga beberapa orang temanku untuk masuk ke ruangan direktur rumah sakit. Hampir satu jam lamanya kami berada di ruangan itu. Sekarang urusan ijin dengan pihak rumah sakit sudah kami dapatkan. Aku buru-buru pergi, meninggalkan teman-temanku yang masih berkumpul di koridor rumah sakit, di depan ruangan dokter jaga. "Eh, Kaito!" Panggil salah satu teman cowokku. Eh, maaf. Maksudku itu teman angkatanku yang berkelamin cowok. Sampai di sini, anda paham kan? "Kamu mau kemana? Kita masih harus isi dokumen lagi loh." Kata temanku yang cewek, namanya Gita. Anak paking pintar di kelas kami. "Nih dokumenku." Aku mengangsur beberapa lembar dokumen pendukung ke tangan Gita. "Please, Git.. tolong bantuin aku kali ini. Ya, ya, mau ya...," kataku memohon sambil menangkupkan tanganku di depan d**a dan mengerling padanya. Siapa sih yang bisa melawan ketampananku? Aku begitu eksotis dan seksi, kata mamiku. Wanita itu pasti luluh saat melihat pupil berwarna coklat terang milikku plus bulu mata lentik kece badai di kelopak mataku ini. "Tapi..., tanda tangamu gimana?" Tanya Gita. Aku merasa bila kekhawatirannya terlalu berlebihan. "Kamu aja yang tanda tangani. Mereka juga gak bakal tau itu asli atau tidak. Pliase, Gita yang pintar, cantik, dan baik hati juga tidak sombong." Rayuku padanya membuat Gita serba salah. Aku tau jika selama ini dia menyimpan rasa padaku. Jadi inilah waktunya untuk memanen perasaannya padaku. "Aku janji deh, aku akan mentraktir kamu bila urusan kita sudah selesai." Kataku padanya. Sambil mengangkat jari telunjuk dan jari tengah bersamaan. "Ya sudah. Emangnya kamu mau kemana sih? Buru-buru amat." Tanyanya sambil menatapku jengkel. Aku meraih leher Gita dan mengalungkan tanganku di sana sambil berbisik, "mau jemput mami pulang arisan." Gita hanya menggeleng saat mendengarnya. "Dasar anak mami." Ejeknya sambil terkekeh. "Ya udah sana. Jangan lupa janjimu." Katanya mendorong tubuhku menjauh. Dengan cepat ku angkat jempol tanganku sambil tersenyum padanya. Ku lajukan mobil dengan kecepatan sedang. Aku gak mau mami berteriak lagi padaku di depan ibu-ibu teman arisannya. Sungguh memalukan. Tring...tring....! Ku lirik ponsel. Ya ampun! Seperti dugaanku. Mami menghubungiku. Pasti dia mau marah-marah lagi. Aku sempat ragu untuk menerimanya, tapi akhirnya aku angkat juga. Aku gak ingin suara tujuh oktavnya melengking di telingaku. "Halo, Mi." Jawabku takut. "Udah nyampe dimana, Bang? Mami udah nungguin dari tadi loh." Kata mami lembut. Tumben nih mami ngomongnya lembut banget. Biasanya udah teriak-teriak aja. Pasti ada udang di balik bakwan nih, pikirku. "Abang udah di jalan kok, Mi. Bentar lagi juga nyampe. Mami mau pesan apa?" Tanyaku dengan sejuta perasaan was-was yang tak bisa dibayangkan. Ngertikan maksudku? "Gak ada Bang, Mami gak pesan apa-apa. Cuma mau nitip tolong doang." "Nitip tolong apa, Mi?" "Tolong ambilkan pesanan Mami di toko kue langganan kita ya. Mami lupa." Jawab mami Deg...!! Persis seperti yang aku pikirkan, pasti ada udang di balik bakwan. "Berapa banyak?" Tanyaku dengan muka ditekuk. "Nggak banyak kok. Tapi tolong bayarin dulu ya, ntar Mami ganti." Sahut mami enteng. What?? Astaga!! "Ya udah deh. Sabar ya." Kataku sambil menghela nafas. Terpaksa harus memutar balik. Karena toko kue dan tempat arisan mami berada di jalur berbeda. Tapi, ya sudahlah. Aku juga gak pengen mami malu di depan teman-temannya. Setelah lama mengantri panjang dan membayar di kasir, aku lekas membawa kue pesanan mami. Ingin cepat-cepat sampai di sana karena perutku juga sudah mulai keroncongan. Satu hal yang aku sukai saat ikut ngumpul bareng teman arisan mami. Mereka sangat baik padaku dan memperlakukan aku dengan spesial. Mungkin karena ku sangat tampan kali ya. Jadinya mereka seperti terpesona gitu saat melihatku. Jadi berasa artis kalau udah ngumpul bareng ibu-ibu arisan. Mami juga dengan bangga mengatakan kalau aku ini calon dokter. Beliau juga suka mengajakku kemana pun mereka pergi. Sebenarnya bukan aku saja. Adik perempuanku -Kinara-, juga sering banget dipamerin ke teman-temannya. Adikku yang cantik, pintar, dan jago bela diri. Tapi sayangnya Kinara gak suka diajak untuk kumpul bareng ibu-ibu ini. Katanya itu grup arisan ibu-ibu rempong, bikin pusing kepala. Akhirnya, mobilku sampai juga di cafe tempat biasa mami berkumpul saat mengadakan acara arisan setiap bulan. Cafe yang berlokasi di tengah kota medan, tergolong mewah karena menyediakan beberapa ruang karaoke juga area bermain untuk pengunjung yang membawa serta keluarga mereka. Mataku mencari-cari di mana mami dan teman-temannya berkumpul. Tempat itu sedang ramai pengunjung, sehingga untuk menemukan mami rasanya cukup sulit untuk dilakukan. "Kaitooo...!" sebuah suara melengking tajam memanggilku. Sontak aku memalingkan wajah, mencari sumber suara yang sangat ku kenal. Suara mami! "Kaitooo...!" panggil suara itu lagi. Sukses membuat pengunjung lain saling menoleh mencari sosok bernama Kaito yang tak lain adalah diriku. Saat mataku berkeliling, ada sebuah tangan terangkat dan melambai-lambai ke arahku. Ku tajamkan penglihatan dengan menyipitkan mataku, membuat sepasang netraku hampir tak kelihatan. Aku berjalan mendekati pemilik tangan itu. Dan benar saja, itu tangan mami. Aku tersenyum manis padanya. Juga pada kumpulan ibu-ibu cantik yang bersamanya yang juga sedang tersenyum ke arahku. "Hai semua...," sapaku pada mereka sambil melambaikan kedua tangan dan duduk di kursi kosong di samping tante Merry. "Hai Kaito. Tambah ganteng aja sih," kata tante Merry sambil memcolek pipiku. Membuat ibu-ibu lain menyorakinya sambil tertawa. "Makasih Tante," kataku. "Siapa dulu dong, Maminya..." kata mami membanggakan diri. "Huuu....," sorak mereka bersamaan, lalu tertawa lagi. Keriuhan yang mengundang rasa penasaran tamu lain untuk ikut menoleh ke arah kami. Aku hanya cengar-cengir melihat tamu lain yang menatap aneh ke arahku. Mungkin mereka sedang memikirkan sesuatu yang buruk tentangku. Karena aku hanya sendirian di sini. Pria muda yang tampan, berwajah bule asia, berada di antara para wanita berumur separuh abad, meskipun ada beberapa wanita yang berumur lebih muda dari ibuku. "Gimana, apa ijinnya sudah keluar?" Tanya mami kemudian sambil membuka bungkusan yang aku bawa tadi. "Sudah, mi. Mulai minggu depan sudah jadi asisten dokter anak." Jawabku. "Jadi kapan nih jadi dokter beneran?" Tanya salah satu ibu bernama tante Lani. Usianya lebih muda dari mami, anaknya bahkan masih kecil. Sepertinya dia belum lama bergabung dalam grup arisan mami. "Kalau bisa ya secepatnya, Tante." Kataku. "Apa Kaito udah punya pacar?" Tanya tante Mira yang duduk di seberang meja. "Kaito mau gak sama anak Tante?" Tanyanya lagi sambil tersenyum melirik ke arah mami. "Gimana Jeng Diana? Bisa nih kalau kita jadi besan?" Tante Mira menyenggol lengan mami dan hanya dibalas dengan sorakan dari yang lain. Aku hampir tidak pernah menanggapi dengan serius obrolan mereka. Aku hanya menikmati aneka makanan dan minuman yang terhidang di depanku. ""Hush... jangan ganggu pria tampanku. Kaito itu milikku." Celoteh tante Merry, mengundang riuh tawa dari para ibu yang lain. "Ya ampun Jeng Merry ini... Kaito itu cocoknya sama Dara, bukannya sama ibunya." Balas yang lain. Mamiku hanya tertawa saat teman-temannya memperebutkan diriku seperti itu. Dia tidak marah ataupun tersinggung. "Ya gak apa-apa dong, Jeng Ana. Mamanya juga masih cantik begini, iyakan Kaito? Lagian Dara itu kan masih kecil, gak cocok buat Kaito." Celoteh tante Merry sambil mengerling genit padaku. "Udah deh ah, kok jadi pada berebut begini sih. Yang penting Kaito lulus dulu, harus jadi dokter dulu." Kata mami menengahi keriuhan teman-temannya. Yah seperti inilah yang terjadi setiap kali aku ikut nimbrung di grup arisan mami.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD