4. Usaha Seorang Ibu

1454 Words
Hari itu bergulir lambat bagi Florence. Ketika akhirnya jarum panjang menunjuk ke angka 12 dan pendek ke angka 5, dengan buru-buru ia membenahi barangnya dan berlari keluar kantor. Selain tidak ingin berpapasan dengan Julian, ada sesuatu yang ingin dilakukannya sebelum pulang. Florence menelepon neneknya dalam perjalanan pulang dari kantor. “Hai Gram…,” sapanya ketika didengarnya suara Penny menjawab si ujung sambungan. “Bagaimana dengan Adam?” “Ia terbangun tak lama setelah kau pergi. Merengek minta makan, tapi kemudian memuntahkan sebagian keluar.” Florence termenung mendengar jawaban neneknya. Hatinya benar-benar lelah dengan semua hal yang sudah di laluinya. Dua puluh tahun hidupnya, seolah tidak pernah dilaluinya dengan kebahagiaan. Cobaan demi cobaan detang silih berganti tanpa memberinya kesempatan bahkan untuk menarik nafas. “Apa sebenarnya yang diderita Adam, Flo?” tanya Penny ketika masih tidak terdengar jawaban dari cucunya. “Penyakit kelainan darah, Gram. Langka dan membutuhkan biaya yang besar untuk mengobatinya.” Florence menarik nafas panjang sebelum meneruskan, “Tapi jangan khawatir, aku sedang dalam perjalanan menuju rumah seseorang yang menurut Robert akan bisa membantu. Karenanya aku meneleponmu, untuk mengatakan bahwa aku mungkin akan terlambat pulang. Jadi tidak usah menungguku, ok?” Sambungan telefon terdengan sunyi. Tidak terdengar jawaban apapun dari Penny hingga bus berhenti di tempat yang ditujunya. “Baiklah Gram, aku tutup teleponnya ya, aku sudah hampir sampai. Sampaikan salamku untuk Adam, aku akan pulang secepatnya. Bye.” Florence bergegas memasukkan ponsel ke dalam tasnya dan turun dari bus. Dari tempat pemberhentian bus, rupanya alamat yang ditujunya masih agak jauh masuk ke dalam kompleks. Florence melirik jam di tangannya. Sudah jam 6 sore, pikirnya. Diabaikannya perutnya yang mulai keroncongan dan ia pun mulai berjalan. Rumah demi rumah yang berjajar rapi dilaluinya. Semuanya terlihat megah dengan pagar menjulang tinggi menghalau pandangannya untuk melihat lebih jauh ke dalam. Florence mengamati nomor-nomor yang tertera pada tiap rumah hingga akhirnya ia berdiri di rumah paling ujung yang ada di jalan itu. Rumah terbesar dengan pagar teringgi dibanding yang lainnya. Rumah yang lebih mirip sebuah penjara daripada tempat tinggal. Dibacanya sekali lagi alamat yang tertera di kertas yang dipegangnya, memastikan rumah yang ada di hadapannya adalah alamat yang ditujunya. Betul, ini alamatnya, gumamnya. Mata bulat Florence mengamati gerbang tembok didepannya. Menjulang tinggi diatas kepalanya, sebuah ukiran dari besi berbentuk huruf O tersemat diatas gerbang. Pandangannya beralih pada sisi tembok tak jauh dari pintu gerbang, dimana sebuah kotak speaker dengan kamera diatasnya terpasang. Florence berjalan mendekat dan meraih tombol di sisi speaker. Sambil menekan tombol berwarna merah itu, benaknya melayang ke pemilik rumah itu dan  menebak orang macam apakah yang membutuhkan gerbang setinggi ini sebagai pagar rumahnya. Hingga terdengar suara statis dari dalam speaker diikuti jawaban dari seorang wanita. “Ya?” Florence buru-buru mendekatkan wajahnya ke speaker, “Uhm… Saya mencari Tuan Alexander Oberon. Saya mendapat alamat ini dari…Uhh…” Florence mendadak teringat akan peringatan dari Robert untuk tidak menyebutkan namanya, “…uhm… seorang teman.” “Ada perlu apa dengan Tuan Alexander?” timpal suara dari dalam speaker dengan nada ketus. “Saya... uhm…butuh bantuannya. Bisakah saya bertemu dengan nya?” Sesaat tidak ada jawaban dari ujung speaker. “Halo…” ulang Florence. Suara gemerisik kembali terdengar disusul oleh jawaban dari suara wanita yang sama, “Tuan Alexander sedang sibuk dan tidak bisa di ganggu. Pulanglah.” “Eh… tunggu…” desak Florence. Tapi tidak ada balasan lagi dari speaker. “Halo… tunggu… tolonglah...Aku bisa kembali besok, atau kapan Tuan Alexander ada waktu untuk menemuiku. Halo…” ulang Florence sambil menekan tombol merah itu berkali kali. “Tolong, balas. Nona? Siapapun….” Suara Florence mulai terdengar bergetar sementara ia berusaha keras menahan air matanya.Ketika masih tidak terdengar jawaban apapun dari speaker, Florence berbisik sekali lagi dengan suara lirih. “Tolonglah… demi Adam…” Dan sekali lagi, tidak ada jawaban dari dalam kotak bertombol merah itu. Beberapa menit Florence berdiri di depan gerbang rumah Alexander, tidak yakin apa yang harus dilakukannya sekarang. Di tatapnya lagi pintu gerbang yang menjulang di hadapannya dengan pandangan putus asa. Perasaan sesak yang dari kemarin mencengkeram dadanya terasa semakin menyempit, membuatnya harus membuka mulutnya bahkan hanya untuk bernafas. Tidak ingin semakin larut dalam keputus asaan, Florence menggelengkan kepalanya keras-keras. Tidak! Aku tidak boleh menyerah dengan keadaan. Demi Adam, aku masih harus berjuang. Wanita itu akhirnya memutuskan untuk menunggu. Ia berjalan ke sisi jalan dan mendudukan tubuhnya diatas trotoar. Memeluk lututnya yang tertutup mantel, Florence menunggu. Berharap agar terbukanya pintu lain, selain yang di sodorkan oleh Julian Gabasa. Florence sepertinya tertidur sesaat karena tiba-tiba suara dering ponselnya menyentaknya terbangun. Diraihnya benda itu dari dalam tas, melirik sekilas jam di layarnya. Hah? Sudah jam 11 malam? “Halo, Gram?... Iya maafkan aku… Aku segera pulang sekarang. Iya… Baik lah… Okay… Bye,” balasnya sambil berdiri. Ia menatap gerbang rumah bersymbol O itu sekali lagi sebelum kemudian berjalan kembali ke jalan besar dengan niat untuk kembali lagi ke rumah berpagar tinggi itu besok. Sesampainya di apartemen, suasana sudah gelap dan sunyi. Semua sepertinya sudah tertidur, pikir Florence. Dengan hati-hati, ia menutup pintu dan melepaskan sepatunya kemudian berjalan dengan tumit terangkat menuju kamarnya agar tidak membangunkan siapapun. Suara pintu kamar yang mendadak terbuka, menngagetkan Florence. Ia menoleh ke arah kamar neneknya dan melihat wajah tua Penny muncul dari balik pintu. “Oh… Hai Gram,” sapa Florence berbisik pelan. “Maaf aku membangunkanmu.” Penny menyalakan lampu ruang tengah yang langsung menerangi seluruh ruangan sempit yang menjadi ruang makan dan ruang duduk keluarga. “Apakah kau sudah makan, Florence? Aku menyisakan sup untukmu di meja makan.” Florence melirik ke atas meja kecil di dekat dapur dan melihat sebuah piring dan mangkuk diatasnya. Perutnya mendadak berteriak mengingatkannya bahwa ia belum makan apapun sejak pagi. “Terima kasih, Gram. Kebetulan aku belum makan,” jawab Florence berjalan ke meja makan dan duduk. Sementara Florence menyuapkan makanan yang sudah dingin ke dalam mulutnya, Penny menghampirinya dan duduk di hadapan cucunya itu. Wajahnya yang keriput terlihat khawatir dan lelah. Ada sesuatu yang mengganjal di dalam benak Penny melihat keadaan Florence. Perasaan yang sama dengan ketika ia mengijinkan Florence untuk pergi bersama Henry Moreno di malam kelulusannya. Perasaan tidak enak yang hanya bisa dijelaskan sebagai insting seorang nenek.    Padahal Penny sudah hendak melarang Florence pergi malam itu. Sesuatu mengatakan Henry Moreno bukanlah seseorang yang bisa dipercaya untuk menjaga Florence. Tapi ia juga ingin Florence menikmati masa mudanya. Pemikiran itulah yang akhirnya membuat Penny memutuskan untuk memberikan ijin. Keputusan yang disesalinya hingga sekarang. Untung lah kehadiran Adam mengubah segalanya. Anak itu membawa secercah cahaya dalam gelapnya kehidupan mereka. Membuat Penny merasa bahwa mungkin semuanya akan berakhir baik-baik saja untuk Florence dan untuk dirinya. Sebelum kemudian penyakit Adam muncul secara tiba-tiba, bagaikan angin badai yang hendak meniup padam cahaya lilin yang hanya secercah itu. “Jadi? Bagaimana, Flo? Apakah kau sudah bertemu dengan orang yang kau ceritakan? Yang kau bilang akan membantu Adam?” Florence menelan nasi di mulutnya dengan susah payah sambil menggeleng. “Akan kucoba lagi besok. Sepertinya aku datang pada waktu yang tidak tepat, Gram.” Penny berdiri mengambilkan segelas air untuk cucunya dan meletakkannya diatas meja. “Siapa sebenarnya yang kau cari? Apakah orang ini akan membantu dengan biaya pengobatan Adam? Apa sebenarnya yang di derita anak itu?”tanya Penny. Florence meraih tas yang diletakkannya di lantai dan mengeluarkan brosur-brosur yang di berikan oleh Robert tentang Thalassemia. Ia menyerahkan tumpukan brosur itu ke arah neneknya. “Ini yang diderita Adam,” tunjuk Florence kearah huruf yang tertulis besar-besar di dalam brosur. “Thalassemia?” ulang Penny sambil meraih tumpukan brosur itu. Ia meraih kacamata yang tergantung di lehernya dan memakainya. Berusaha membaca dan memahami tulisan yang tertera di dalamnya. “Kelainan pada sel darah merah…langka… bawaan… Bawaan?” tanya Penny dengan dahi berkerut. Ia melirik ke arah Florence yang terlihat meremas sendok yang dipegangnya, mungkin berpikiran sama dengan yang ada di benaknya. Apakah Henry yang membawa gen ini ataukah dirinya. Ataukah keduanya. Apapun jawabannya Penny tidak peduli. Tidak penting siapa yang menyebabkan penyakit Adam, yang pasti Penny tidak ingin Florence kembali mengingat nama itu. Karenanya ia menahan pertanyaannya dan meneruskan membaca brosur di tangannya. “Jangan khawatir, Gram. Aku akan melakukan apapun untuk mengobati Adam. Tidak akan kubiarkan apapun terjadi padanya,” jawab Florence sambil meraih tangan Penny dan meremasnya. Sebuah senyuman terulas di bibir Florence, emosi yang dipaksakannya untuk menutupi kekhawatirannya sendiri.  ===== Note Yang belum love segera di love ya ceritanya. Cerita gratis, love juga gratis, masa ga mau ngasih. Yang bacanya belum pakai aplikasi, yok buruan di download aplikasinya. Bacanya juga lebih enak soalnya bisa di simpan ceritanya di perpustakaan kalian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD