2. Henry Moreno

926 Words
Tidak lebih dari tiga tahun sebelumnya, Florence hanyalah salah satu remaja normal seperti yang lain. Menjalani tahun terakhir masa SMA nya dikelilingi oleh teman, tugas, dan masa depan yang penuh dengan harapan dan petualangan. Tinggal bersama neneknya sejak kecil setelah kematian kedua orang tuanya, membuat Florence menjadi seorang anak yang mandiri dan tidak pernah menyusahkan. Kondisi ekonomi mereka yang paspas an membuat Florence sejak kecil bekerja sambilan sekedar untuk membantu neneknya yang bekerja sebagai salah satu kasir supermarket,  agar tidak perlu sepenuhnya menanggung biayanya sekolah. Untunglah kekasih Florence saat itu, Henry, adalah salah satu keluarga terpandang di kotanya. Henry bahkan berhasil membujuk ayahnya untuk memberi pekerjaan kepada Florence sebagai salah petugas administrasi di salah satu kantor keluarga besarnya yang bergerak dibidang perhotelan. Semua berjalan seolah tanpa halangan untuk Florence yang memang terkenal pandai di kelasnya. Dengan nilainya yang diatas rata-rata, Florence sudah menyiapkan masa depannya dengan matang.  Setelah kelulusan, ia akan meneruskan pendidikannya ke salah satu universitas terkemuka di kotanya dengan bantuan beasiswa yang diterimanya dan mengambil jurusan psikologi. Bidang yang menarik minatnya mungkin karena ia sendiri ingin memahami apa yang menyebabkan ibunya hingga dengan darah dingin membunuh dirinya sendiri sebelum menikam ayahnya dengan brutal, meninggalkan Florence yang masih bayi hidup seorang diri di dunia ini dalam asuhan neneknya. Sayangnya, seperti kebanyakan kisah kehidupan, Florence sebentar lagi juga akan menemukan rencana dan kontrol akan masa depan hanya lah sebuah ilusi dan tipuan. Ketika kau merasa jalan mu sudah tertata rapi, sesuatu muncul tanpa peringatan, mengacaukan segalanya dan menjungkir balikkan potongan puzzle yang baru saja kau susun. Meninggalkanmu sendirian harus mengumpulkan remahan-remahan yang berhamburan dan menatanya kembali. Seperti malam itu, ketika Henry menyiapkan kejutan setelah hari kelulusan mereka berdua dari SMA. Pria itu sengaja meminta karyawan ayahnya untuk menyiapkan candle light dinner untuknya dan Florence di salah satu kamar penthouse yang ada di hotel milik keluarganya. Ruangan tertinggi di gedung hotel Moreno. Florence yang masih mengenakan gaun selutut berwarna pink pastel, terlihat sangat memukau malam itu, sepadan dengan Henry yang memakai kemeja dan jas tuxedonya. Pasangan paling dikagumi di sekolahnya, membuat banyak murid baik perempuan ataupun pria cemburu. Florence dengan kecantikan dan kepandaiannya, Henry dengan ekonomi dan status keluarganya. “Henry…,” seru Florence membelalakkan matanya ketika pintu lift terbuka menampakkan ruangan yang sudah dihiasi puluhan lilin dan lampu hias berwarna kuning. “Semuanya… Indah sekali!” Pria itu tersenyum lebar sambil menarik tangan Florence masuk ke dalam kamar. Sebuah meja terlihat di tengah ruangan, ditutupi oleh taplak berwarna putih. Sebuah tempat lilin bercabang berisi 3 batang lilin yang menyala temaram berdiri ditengah meja dikelilingi 2 set piring yang berisi santapan malam mereka. “Selamat atas kelulusan kita berdua, Baby…,” ucap Henry sambil mengelus sisi wajah Florence dan menunduk mengecup bibir gadis itu. Tangannya meremas pinggul Florence pelan. Florence membalas ciuman Henry mengira sebatas itulah mereka akan merayakan kelulusan mereka. Memang sudah berkali-kali Henry mengajaknya untuk tidur bersama, yang selalu di tolak oleh Florence, karena ia merasa belum siap. Ia mencintai Henry, tapi tidak cukup hingga ingin menyerahkan segalanya kepada pria itu. Masa depannya lebih penting daripada hubungannya, dan Florence tidak ingin mengacaukannya dengan menyerahkan keperawanannya saat itu. Tapi balasan ciuman dari Florence rupanya cukup untuk Henry mulai meminta lebih. Tangannya mulai menyelinap ke bawah gaun Florence dan bergerilya di paha mulus gadis itu. Sadar akan bangkitnya gairah Henry, Florence melepaskan tautan bibirnya dari Henry dan mendorong tangan pria itu dari pahanya. “Henry…,” tepis Florence dengan suara pelan. “Sudah kukatakan, aku masih belum siap.” “Argg… Flo!” Henry menjauhkan tangannya dari tubuh Florence dan meremas rambutnya sendiri. “Kita sudah berpacaran dua tahun, sampai kapan kau akhirnya akan menyerahkan dirimu sepenuhnya kepadaku hah? Kau mengatakan bahwa kau mencintaiku. Mana buktinya?” Florence mengerutkan keningnya, “Tidak ada hubungannya akan hal yang pinta dan cintaku kepadamu, Henry.” “Tentu saja semuanya ada hubungannya. Tahu darimana aku bahwa kau sungguh-sungguh dengan hubungan kita jika kau belum bersedia memberikan segalanya untukku.” “Henry—“ Florence menjulurkan tangannya hendak mengelus bahu Henry yang langsung menampiknya. “Sudahlah!” potongnya. “Aku tidak ingin merusak makanan yang sudah disediakan dengan susah payah oleh koki hotel. Duduklah!” Tanpa menunggu Florence duduk, Henry langsung menghempaskan tubuhnya ke atas kursi makan. Perlahan Florence mengikuti dan mendudukkan dirinya di hadapan pria itu. Setengah berpikir, salahkan dirinya dengan terus menolak keinginan pria itu. Selama dua tahun mereka berpacaran, Henry selalu menghujaninya dengan berbagai hadiah dan benda-benda mewah. Belum lagi pekerjaan yang dimilikinya saat ini juga adalah karena Henry. Apa susahnya menyerahkan satu-satunya hal yang dimilikinya untuk pria yang sudah memberikan banyak hal untuknya. Toh bukankah hampir semua temannya melakukannya? Keperawanan sudah bukanlah hal yang pernah diagung-agungkan lagi seperti dulu. Florence hendak mengiyakan permintaan Henry. Tapi tenggorokannya terasa kering untuk mengeluarkan suaranya. Tidak. Ia tidak bisa melakukan sesuatu yang hati nuraninya melarang. Karenanya ia hanya terdiam dan menunduk, bersiap untuk menerima kemarahan dari Henry. Tapi Henry tidak bersuara. Malam itu ia sudah memutuskan. Bagaimanapun, ia tidak akan membiarkan Florence menolaknya. Ia selalu mendapatkan apa yang diincarnya. Selalu. Karenanya ia lalu meraih gelas dihadapannya dan menuangkan segelas anggur putih ke dalam gelas.  Menyelipkan sesuatu ke dalamnya sebelum menyerahkannya kepada Florence. “Sudahlah… Mari kita nikmati malam kita sebelum kita berdua terlempar ke dalam kesibukan kuliah. Cheers?” Florence menatap gelas di dalam tangan Henry, sebelum kemudian meraihnya sambil tersenyum. “Cheers,” jawabnya menempelkan ujung gelas ke bibirnya yang terpoles lipgloss dan menenggaknya. Hal terakhir yang diingat Florence malam itu. Akhir dari rencananya dan awal dari mimpi buruknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD