87

1124 Words
Hitomi menyatakan perasaanya padaku lagi hari ini di atas atap. Setelah satu minggu berlalu, kupikir kami tidak akan pernah bicara lagi. Nyatanya saat ini gadis berambut ponytail itu sedang tersipu malu sembari menatapku dengan serius. “Bagaimana? Apa kau mau jadi pacarku?” “Kenapa? Bukankah kau kesal padaku karena pernah menolakmu?” “Tidak, setelah dipikir-pikir, kau ternyata tidak pernah menolakku. Akulah yang menyerah terlebih dahulu. Kau hanya tidak percaya diri saja, kan?” Tidak ada yang salah dari perkataannya, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Aku menolak ajakan pacaran darinya karena memang tidak percaya diri. Namun, seandainya aku percaya diri pun aku akan tetap menolaknya. Aku tidak mau berpacaran dengan siapapun kecuali Ayano. “Kenapa kau mau berpacaran denganku?” tanyaku lagi. “Su-sudah kubilang. Itu karena kau tampan dan pria yang baik-baik. Aku tahu karena selalu memperhatikanmu dari jauh. Apa aku tidak cukup cantik untuk dirimu?” Dia terlihat memaksakan diri saat mengatakan hal itu. “Tidak, Hitomi. Dari lubuk hatiku yang terdalam, aku menganggap bahwa kau adalah gadis yang sangat cantik. Akan sangat beruntung jika aku memiliki pasangan seperti dirimu. Tapi sayangnya untuk saat ini aku tidak punya perasaan apa-apa padamu.” Di luar dugaan, Hitomi malah melempar senyum. Kupikir dia akan menyerah, tetapi sepertinya perkataan itu kali ini tidak ampuh. “Untuk saat ini saja, kan?” “Y-ya, untuk saat ini.” “Kalau begitu, kita coba saja menjalani hubungan ini. Aku janji akan membuatmu jatuh cinta padaku.” Kata-kata itu tidak dapat meyakinkaku. Pasalnya, aku ini memang tidak bisa jatuh cinta pada orang lain selain Ayano. Hanya ada Ayano di hatiku, dan aku hanya ingin dia yang menjadi pasanganku. “Maaf, aku—” Ketika hendak mengatakan hal itu, aku teringat pesan dari Ayano. Dia bilang jika ada yang menyatakan perasaan, aku harus menerimanya saja. Tidak ada alasan bagiku untuk menuruti perkataannya. Dibenci satu sekolah pun tidak masalah dibanding harus kehilangan Ayano. Tetapi, aku mulai kepikiran hal lain. Seandainya aku berpacaran dengan Hitomi. Apakah Ayano akan cemburu dan mulai menyadari perasaannya padaku? Ini memang beresiko, tapi layak dicoba. “Baiklah, aku mau jadi pacarmu.” Wajahnya mendadak sumringah. “Serius?!” “Iya.” “Kau tidak bohong, kan?!” “Iya.” “Asiik!!! Bersiaplah Kazu-kun! Aku akan membuatmu jatuh cinta padaku!” Aku tersenyum padanya. “Ya, aku tak sabar untuk jatuh cinta padamu, Hitomi.” Setelah itu, beredar kabar bahwa aku berpacaran dengan Hitomi. Sungguh, aku tidak tahu bagaimana cara gosip bekerja. Tetapi saat ini, semua orang membicarakan hal itu. Mungkin karena Hitomi cukup populer kali, ya. “Wah, selamat Kazu! Akhirnya kau mendapat pacar juga. Aku ucapkan selamat!” Ayano menyalami tanganku penuh dengan semangat. Tidak tampak sedikit pun rasa gugup atau perkataan yang dibuat-buat. Aku dapat merasakan Ayano saat ini masih menjadi dirinya yang seperti biasa. “Kau tidak cemburu?” tanyaku. “Cemburu? Ah iya, aku sedikit cemburu padamu. Aku juga ingin mendapatkan pacar!” “Kalau begitu pacaran saja dengan orang yang kau suka.” Semangatnya mendadak turun. “Sayangnya saat ini tidak ada satupun yang aku sukai. Aku tidak tahu harus berpacaran dengan siapa.” “Bagaimana jika ada laki-laki yang menyatakan cinta padamu? Apa kau akan menerimanya?” Ayano memanyunkan bibirnya, terlihat sedikit bingung dan kesal. “Tidak tahu juga. Jika orang itu memenuhi kualifikasi yang aku tetapkan, sepertinya akan aku terima.” “Memangnya seperti apa kualifikasinya?” “Tidak harus tampan, yang penting baik, ramah, perhatian, dan bisa diandalkan. Kalau bisa penyayang binatang, karena aku juga begitu. Dan yang terakhir, aku harap orang yang menyatakan cinta padaku itu memiliki hati yang tulus.” Ayano tersenyum-senyum saat menceritakan kriteria laki-laki idamannya. Sebagian yang dia sebutkan rasanya ada pada diriku, tapi entah mengapa aku tidak merasa bahwa akulah sosok yang dia maksud. Apa karena aku bukan penyayang binatang, ya? “Maksudnya memiliki hati yang tulus?” “Etto… bagaimana, ya. Aku sendiri bingung menjelaskannya. Pokoknya, saat dia berbuat baik padaku, dia tidak mengharapkan imbalan. Dia melakukan kebaikan itu karena memang ingin melakukannya, bukan karena ingin mendapat balasan dariku. Saat dia menolongku, dia tidak mengingat-ngingatnya untuk kemudian dikatakan padaku saat dia merasa marah. Aku tidak mau berpacaran dengan orang yang menuntut balas budi. Kau mengerti maksudku, kan?” Aku mengangguk. Meski sedikit, aku paham apa yang dia maksud. Dan nyaliku mendadak ciut kembali. Aku merasa bahwa aku bukanlah orang itu. Aku tidak bisa menjadi orang tulus seperti yang Ayano katakan. Segala kebaikan yang aku lakukan pada Ayano, murni karena aku ingin menjadikannya pasangan. Seandainya dia menolakku, aku yakin aku pasti akan mengatakan ‘Aku selalu ada untukmu, kenapa kau tidak mau menerimaku?’. Apa itu adalah hal yang salah selalu mengharapkan balasan dari setiap kebaikan yang aku lakukan? Aku tidak menuntut apa-apa, aku hanya ingin Ayano menjadi milikku setelah apa yang kami lalui bersama selama bertahun-tahun. Apakah itu bukan sesuatu yang tulus? “Itu berarti, kau tidak akan langsung menerima ajakan dari seseorang yang baru mengenalmu, kan?” Ayano mengangguk. “Ya, meski ingin merasakan berpacaran, tapi aku tidak ingin merasakan putus hubungan. Karena itu, aku tidak bisa asal memilih pasangan. Jika belum kenal, aku tidak ingin langsung berpacaran. Aku ingin mengenalnya lebih dulu, dan memutuskan bagaimana ke depannya.” Ayano yang selama ini kupikir polos dalam urusan percintaan, rupanya sudah berpikir sejauh itu. Apa aku sudah tidak punya kesempatan. “Kalau misal aku menyatakan cinta padamu bagaimana, Ayano?” Aku membuat perkataanku terdengar seperti candaan. Padahal hatiku sangat berdegup kencang saat ini. “Hee, jangan-jangan kau menyukaiku?!” “Tidak, Ayano. Itu hanya permisalan.” Aku berusaha bersikap setenang mungkin. Ayano bertopang dagu. “Aku tidak pernah memikirkannya, sih. Kau memang baik, ramah, dan bisa diandalkan, tapi aku tidak pernah berpikir untuk menjalani hubungan yang lebih dari sekedar teman. Maksudku, kita sudah menjadi teman selama bertahun-tahun. Dibanding pasangan, aku lebih merasa kita seperti sepasang saudara. Karena itu, tidak mungkin kan aku berpacaran dengan saudaraku sendiri?” Kata-kata itu menusukku. Rasanya seperti ditolak bahkan sebelum menyatakan. Entah Ayano tahu maksud terselebungku dan ingin memperjelas penolakan, atau memang itu murni apa yang dia pikirkan tentangku. “Di dunia ini ada loh sepasang saudara yang saling mencintai.” “Ya, aku tahu, tapi itu bukan hal yang baik. Maksudku, berpasangan dengan orang yang sudah dekat dengan kita selama bertahun-tahun bukankah itu membosankan? Seperti tidak ada perubahan dalam hidup kita. Kau merasakan hal yang seperti itu juga, kan? Kau pasti akan bosan jika berpacaran denganku, kan?” Hatiku berdebar kencang saat Ayano mengatakan hal itu. Tidak, Ayano, aku tidak pernah bosan saat menjalani hari bersamamu. Ah, sayang sekali perasaan kita tidak selaras. “Ahaha, benar juga. Pasti rasanya bosan jika tidak bertemu orang yang baru.” “Iya, kan?!” Aku mengangguk. Aku ingin membunuh diriku sendiri saat mengatakan hal itu di depan Ayano.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD