50

1133 Words
Jam sudah melebihi waktu janjian, tapi Ayano masih belum juga muncul. Mereka tidak bisa menggunakan handphone karena di tempat ini sinyalnya kurang bagus. Tidak terlalu panik, tapi tetap saja khawatir. “Mungkin Ayano mainnya kejauhan, terus lupa jalan pulang.” Asep yang memberi komentar. “Mungkin juga ke kamar mandi, terus ketiduran di sana.” Saga berusaha tetap tenang. “Kayaknya diculik deh. Ayano kan cakep banget,” ucap Tiara, membuat Asep dan Saga terkaget. “Jangan ngomong gitu!” “Gak mungkin lah, Ayano kan udah gede!” Pernyataan Tiara membuat suasana menjadi sedikit suram. Tempat ini sudah mulai sepi. Para pengunjung mulai berhamburan pulang, para pedagang juga mulai membereskan tempat jualannya. Hanya ada beberapa orang saja di tempat itu, tapi tidak ada petunjuk keberadaan Ayano. “Saga, lu ke bukit tadi lagi deh, di sana sinyalnya lumayan. Siapa tau Ayano bisa dihubungi. Gua bakal cari di sekitaran sini, dan kalau masih gak ada gua mungkin bakal turun ke sungai. Ayo!” Asep memburu-buru. “Oke!” “Terus aku gimana?” tanya Tiara. “Kamu diem aja di sini, siapa tau Ayano datang.” “Siap.” Bagaimana tidak panik. Sekarang sudah lewat satu jam dari waktu janjian, tapi Ayano masih belum sampai juga di tempat mereka. Sebagai orang yang mengajak mereka ke sini, Asep merasa bertanggung jawab. Begitu pun Saga yang tidak ingin kehilangan dia begitu saja, apalagi setelah mereka berdua berpegangan tangan di sepanjang jalan. “Ayano…. jangan tiba-tiba ngilang gitu, dong. Kita belum jadian.” Saga bergumam dalam hatinya, berusaha menaiki bukit dengan medan yang cukup berat. Namun, entah mengapa dia bisa lebih lancar memanjatnya kali ini. Setelah sampai di puncak bukit, Saga langsung memeriksa handphone-nya, dan memang terdapat sinyal di tempat yang tinggi ini walau cuma satu bar. Dengan cepat dia langsung menghubungi nomor Ayano. Tak seberapa lama, terdengar suara dari handphone Saga. “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi.” Saga hampir membanting handphone-nya karena kesal, tapi tersadar itu adalah hal yang percuma karena malah akan memperburuk keadaan. Dia lantas berganti menelpon Tiara yang menunggu di bawah, siapa tau Ayano sudah sampai. “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi.” Saga menampar wajahnya. “Kampret! Di bawah kan gak ada sinyal, gimana gua bisa ngehubungi Tiara!” Pada akhirnya Saga tetap berada di atas bukit mencoba menghubungi Ayano terus menerus, berharap dia mengangkat panggilannya. Di tempat lain, Asep mencari-cari ke seluruh penjuru lapangan serta tempat-tempat para pedagang biasa berjualan. Dia juga memeriksa kamar mandi perempuan misal-misal Ayano ada di sana. Akan tetapi, usahanya tidak membuahkan hasil. Ayano masih belum ditemukan. “Semua daerah udah aku cek, tapi Ayano gak ada juga.” Asep melapor pada Tiara. “Yaudah, tunggu aja di sini, Ayano nanti pulang, kok.” Asep menyeka keringatnya. “Masih ada satu tempat yang belum aku periksa. Aku mau turun ke sungai.” “Yaudah, cepetan, aku tunggu di sini.” Asep lantas berlari menuruni area di dataran tinggi ini ke tempat yang lebih rendah, yakni sungai yang masih aktif mengalir. Sungainya dangkal, dan terdapat banyak batu-batu besar yang terhampar. Tempat itu cukup sering didatangi orang-orang yang jogging untuk sekedar bermain air. Asep berharap Ayano ada di sana. Namun, setelah sampai ke bawah, Ayano masih tidak ada di sana. Asep pun tertunduk lesu, tidak tahu harus mencari ke mana lagi. Satu jam berlalu, waktu telah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Saga, Asep, dan Tiara telah berkumpul kembali di tempat janjian, tapi wajah Ayano masih belum nampak juga. “Gimana ini, kita harus mencari ke mana lagi?” Saga tampak resah, Asep bisa melihat dari raut wajahnya. “Kayaknya kita harus lapor polisi.” Asep memberi saran. “Kalau gak ketemu juga, gua adain sayembara aja, siapa yang bisa nemuin Ayano gua kasih seratus juta deh atau perlu satu milyar juga gapapa. Gak peduli siapa yang balikin Ayano, bakal gua kasih semua duit gua.” Saga mencengkaram tangannya. Asep melihat keseriusan dari mata Saga. Dia pasti tidak mementingkan segala hal jika itu menyangkut keselamatan Ayano. Asep yakin Saga tidak berbohong dengan apa yang dia katakan. “Kalian tenang aja. Ayano itu udah gede. Paling main-main dulu agak jauh, nanti pasti balik lagi.” Tiara menghela napas. “Tapi dia udah ngelanggar waktu janji ketemuan, gak mungkin dia kayak gitu!” Saga menekankan suaranya. “Tenang Bro, tenang.” Asep menepuk-pundak pundak Saga. “Iya, maaf….” Tiara merasa bersalah karena terlalu tenang. Saga mulai berpikir yang tidak-tidak. Seandainya sampai malam Ayano tidak pulang juga, dia tidak tahu harus melakukan apa. “Saga, Asep, Tiara!” Ayano melambaikan tangan dari ujung jalan. Ketiganya terkaget. Ayano berlari ke arah mereka sambil terengah-engah. “Maaf, saya telat, hosh hosh hosh.” Ayano masih terengah-engah. Melihat kembali Ayano dengan keadaan baik-baik saja, Saga hampir menangis. “Ayano ke mana aja?! Kenapa baru pulang?! Udah dua jam lewat, loh!” tanya Asep, tidak bisa tidak tenang. “Maaf, tadi saya pingsan waktu beli makanan, kayaknya karena terlalu lelah dan sedikit demam. Terus saya digotong sama warga setempat dan dibawa ke rumah mereka. Saya ketiduran, dan baru bangun sekarang. Maaf, ya.” Ayano menangkupkan kedua tangan, merasa sangat bersalah. Asep dan Tiara bernapas lega. Asep yang hendak marah-marah tidak jadi memarahinya, sedangkan Tiara tetap merasa tenang karena memang yakin Ayano akan kembali. Sementara itu, Saga langsung memeluk Ayano tanpa berpikir terlebih dahulu. “Syukurlah, syukurlah kamu gak kenapa-kenapa. Kalau sesuatu terjadi padamu, aku gak tau harus berbuat apa.” Saga menahan tangisnya. Ayano terkaget dipeluk oleh Saga secara tiba-tiba. Dia pun mengelus-elus pundak Saga dan mengatakan satu dua patah kata padanya. “Aku pulang, maaf sudah mengkhawatirkan kamu.” Sejujurnya, Ayano merasa sedikit senang begitu dikhawatirkan oleh Saga, bahkan sampai dipeluk olehnya. Tidak pernah sebelumnya seseorang mengkhawatirkan Ayano sampai memeluknya seperti ini. Bahkan keluarganya sendiri. Sekarang, dia merasa bersalah pada Saga. Setelah melepas pelukannya dari Ayano, Saga terbatuk. “Maaf, kelepasan.” Ayano tersenyum. “Tidak apa-apa. Sekali lagi maafin saya.” Tiara lalu memegang kening Ayano untuk memeriksa suhu tubuhnya. “Wah iya, lumayan panas.” Asep menatap serius pada Ayano. “Ayano, lain kali kalau sakit bilang, ya.” Ayano menggaruk-garuk belakang kepalanya. “Maaf, sebenarnya saya sehat-sehat saja, kok. Tapi sepertinya saya terlalu kelelahan, makanya tiba-tiba pingsan.” Asep menghela napas. “Begitu, ya.” “Lain kali main ke sini lagi, ya!” Ayano tersenyum dengan polos. “Jangan! Nanti kamu pingsan lagi!” Saga yang menjawab. “Eh, tapi tempat ini mengasyikan! Saya suka!” “Yaudah, lain kali kalau kita ke sini lagi, aku bakal ngikuti kamu terus.” Ayano tertawa-tawa. “Ahahaha, iya deh, boleh.” Setelah itu, Asep menelpon orang tuanya untuk menjemput mereka di sini agar bisa pulang ke rumah dengan lebih cepat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD