Part 2

1307 Words
Tepat pukul sepuluh pagi Joe tiba di kantornya. Ia melangkah santai melewati para karyawan dengan senyuman manis yang membingkai wajah tampannya. Sebenarnya, pagi ini ada meeting penting yang harus Joe hadiri, tapi karena perdebatannya dengan Sharon mengharuskannya membatalkan meeting itu. Adiknya itu benar-benar keras kepala. Sharon selalu menganggap perhatian Joe berlebihan. Padahal ia hanya melakukan tugas yang baik sebagai seorang kakak dengan melindungi adik satu-satunya itu. "Selamat pagi, Erica. Apa jadwal pentingku hari ini?" Joe menyapa sekretarisnya yang terlihat sedang berbicara melalui telepon. "Selamat pagi, Mr. Kenward," Erica menjauhkan gagang teleponnya lalu berdiri menyambut Joe dengan membungkuk singkat. Walaupun Joe terkesan ramah tapi tidak menjadikan gadis cantik itu melupakan sopan santunnya. "Miss Alona Watson ingin berbicara dengan anda, Sir." Erica menunjuk gagang telepon di tangannya yang masih terhubung dengan panggilan. "Siapa dia?" Joe bertanya singkat. Tentu saja sebenarnya ia mengenal Alona. Dalam dunia bisnis, CEO Watson Group itu cukup populer karena menjadi satu-satunya wanita pemegang perusahaan terbesar. Tapi, Joe cukup tahu tujuan Alona menghubunginya. Cukup ia berdebat dengan adiknya. Ia tidak mau ditambah pusing menambah perdebatan dengan wanita itu. "Dia CEO Watson Group, Sir. Katanya, ada hal penting ingin dibicarakan." jelas Erica. "Bilang saja aku sibuk. Ah, mungkin lebih baik kau matikan saja panggilannya," Joe meraih gagang telepon dari tangan Erica lalu mematikan panggilan itu. "jadi, apa jadwalku hari ini?" Baru saja Erica akan menjelaskan, telepon kembali berbunyi membuat wanita itu melemparkan pandangan bertanya pada Joe. "Jangan diangkat! Bila perlu kau ungsikan saja telepon ini agar tidak mengganggumu." Joe segera mengambil agenda dari tangan Erica lalu melangkah menuju ruangannya. Bisa-bisa ia pusing bila terus mendengar bunyi telepon itu. *** "b******k!" Alona mengumpat begitu panggilannya tidak mendapat jawaban. Joe pasti sengaja menghindar. Sialnya, kenapa Joe menghindari Alona secara blak-blakan? Setelah berpura-pura tidak mengenalinya, bisa-bisanya Joe mengatakan sedang sibuk, disaat pria itu belum tahu jadwalnya sendiri. Mereka memang belum pernah berkomunikasi secara langsung, tapi mereka sudah sering bertemu dalam beberapa pertemuan bisnis. Dan itu membuar Alona yakin jika pria itu pasti mengenalnya. "Sudahlah, Al! Jangan terlalu dipaksakan! Kita cari saja pengganti Sharon." Bella yang sejak tadi bersama Alona mulai jenuh melihat sikap atasan sekaligus sahabatnya itu. "Tidak ada istilah pergantian!" Alona meletakkan gagang teleponnya dengan kasar lalu merebahkan diri di sofa panjang. "aku tidak bisa menerima seseorang mengacaukan pekerjaanku." geramnya. Ia tidak mau membuang waktunya hanya untuk mencari pengganti Sharon disaat waktunya juga terbilang cukup singkat. Bella menghela napas panjang. Keras kepala, angkuh dan berambisi tinggi, itulah sifat yang melekat kuat dalam diri Alona. Tidak ada yang bisa menghalangi Alona jika sudah menyangkut ambisi wanita itu. "Kau sudah lihat sendiri bagaimana pria itu menghindarimu." jawab Bella malas. Ia memilih memainkan ponselnya dibanding dengan melihat wajah murka Alona yang mungkin akan membutuhkan waktu lama untuk reda. "Justru karena itu aku semakin ingin mencekik lehernya, memelintir tangannya dan menendang bokongnya. Aku akan menyadarkan pria itu agar tidak bertindak sesuka hatinya." sahut Alona menggebu-gebu. Astaga! Sekarang tangannya benar-benar gatal untuk melakukan semua hal itu. Bella hanya bisa menggeleng-geleng kepala melihat tingkah Alona. Biarkan saja Alona melakukan apapun yang diinginkannya selagi tidak melanggar hukum. Tiba-tiba ponsel Bella berbunyi. Setelah melihat nama yang tertera di layar, membuat Bella menatap malas pada Alona. Selalu saja seperti ini. "Kau pasti tidak mengangkat panggilan Dave lagi. Ini!" Bella memberikan ponselnya, memberi isyarat pada Alona untuk mengangkatnya. "Jangan diangkat! Nanti dia juga lelah sendiri." Alona memutar bola mata jengah. Mendengar nama Dave hanya semakin memperburuk suasana hatinya. Bagaimana tidak? Pria pemaksa itu selalu bertingkah layaknya kekasih Alona. Menghubunginya kapan saja, bertanya segala kegiatannya dan mengantar jemputnya. Jika saja Dave bukan putra dari sahabat ayahnya, pasti dengan senang hati Alona akan menendangnya jauh ke belahan bumi lain hingga pria itu melupakan jalan pulang. "Kau kejam sekali padanya. Apa sih kurangnya Dave? Padahal pria itu begitu baik padamu." Dave adalah pria tampan dan mapan. Bella sangat mengagumi kegigihan Dave. Segala bentakan dan makian sudah diberikan Alona pada Dave, tapi pria itu seakan tidak pernah menyerah untuk bisa mendapatkan hati Alona. Bella heran, sebenarnya pria mana yang bisa menaklukkan hati Alona? Sejak JHS mereka sudah bersahabat, tapi sekalipun Bella belum pernah melihat Alona jatuh dalam pesona seorang pria. Setiap ditanya, Alona selalu berkata belum menemukan seseorang yang membuat hatinya merasa bergetar. Entah getaran berapa skala richter yang diperlukan Alona untuk bisa jatuh cinta. Bella hanya berharap semoga getaran itu segera datang sebelum rambut Alona memutih. Ya Tuhan, Bella tidak sanggup membayangkan sahabatnya akan melajang seumur hidup. "Ya, Dave memang baik hingga rasanya aku ingin muntah karena kebaikannya." Masih dengan ekspresi jengah, Alona menjawab. "Ada apa, Al? Kau sakit?" Kehadiran tiba-tiba seorang pria membuat Alona segera menutup matanya. Tanpa perlu dilihat pun ia tahu bahwa pria itu adalah Dave Collin. "Aku permisi dulu." Bella sangat mengerti tujuan kedatangan Dave. Karena itu ia selalu memberikan privasi untuk pria itu. Dave tersenyum manis melambaikan tangannya pada Bella. Astaga, jika saja Dave tidak menyukai sahabatnya, dengan senang hati Bella akan meninggalkan kekasihnya lalu mengejar pria tampan itu. Ya, anggap saja ia tidak setia. Tapi mau bagaimana lagi, Dave terlalu sempurna sebagai pasangan. "Aku membawa makanan untukmu. Kau pasti belum sarapan." Dave duduk di lantai mensejajarkan dirinya lalu memberikan bekal berisi Sandwich pada Alona. Tadi pagi ada kepentingan mendadak yang membuat Dave tidak bisa mengantar Alona ke kantor seperti biasa. Hening. Dave menarik napas panjang. Sudah biasa baginya menghadapi sikap dingin Alona. Tangannya terarah mengusap lembut rambut wanita itu. "Makanannya aku letakkan di atas meja. Kau harus memakannya! Aku tidak ingin maag mu kambuh." Dave tersenyum tipis melihat Alona masih diam dengan mata terpejam. Ia berdiri lalu meletakkan bekal yang di bawahnya di atas meja. "Aku pergi, Al. Jangan pulang dulu sebelum aku menjemputmu!” ucapnya sebelum meninggalkan ruangan Alona. Alona menghela napas kasar seraya bergerak duduk. Matanya menatap malas ke arah bekal di atas meja. Sampai kapan Dave terus bersikap berlebihan seperti ini? Alona sangat muak dengan segala sikap manis Dave yang malah terlihat sangat pahit di matanya. Alona mengambil bekal itu lalu memakannya. Walau ia tidak menyukai Dave, bukan berarti ia akan membuang segala pemberian pria itu. Pantang baginya menyia-nyiakan makanan yang sudah tersedia. Terlebih ia memang belum sarapan. Kesibukan Alona memang sering membuatnya terlambat makan. Padahal ia memiliki riwayat maag yang mengharuskannya tidak boleh melalukan hal itu. Setelah menghabiskan makanannya, Alona mengambil tasnya lalu melangkah keluar. Jika pria bernama Joshua Kenward menghindarinya melalui telepon, maka sekarang ia harus menemui pria itu secara langsung untuk menunjukkan siapa dirinya. *** Dengan langkah anggun, Alona memasuki gedung perkantoran Kenward Group. Baru kali ini ia menginjakkan kaki disini. Well, ternyata kantor Joe hampir sama besarnya dengan kantor Alona. Tidak heran mengingat betapa seringnya perusahaan ini masuk majalah bisnis dalam jejeran perusahaan terbesar selama hampir seperempat abad ini. "Apa Mr.Kenward ada di ruangannya?" Alona bertanya pada Erica yang ia yakini sebagai sekretaris Joe. "Yes, Miss. Apa anda sudah membuat janji sebelumnya?" Erica berdiri lalu memberikan sambutan hangatnya. Alona menggeleng, "Tolong katakan saja aku ingin bertemu dengannya. Kau mengenalku, bukan? Aku hanya ingin memastikan mengingat atasanmu begitu kolot karena tidak mengenalku." ucap Alona sarkas sebelum mengambil posisi duduk di sofa tunggu. Tangannya bersidekap sementara matanya memandang liar ke seluruh penjuru dengan tatapan menilai. "Maaf Miss, Mr.Kenward berpesan bahwa ia tidak ingin bertemu dengan siapapun hari ini kecuali jika sudah membuat janji sebelumnya." jelas Erica menyampaikan pesan atasannya. "Aku akan bertanggung jawab jika dia memarahimu. Sekarang, cepat panggilkan saja!" desak Alona mulai tidak sabaran. Erica terkesiap mendengar perkataan Alona yang terkesan memaksa. Ternyata memang benar kabar-kabar yang beredar tentang CEO Watson Group. Satu kata yang bisa Erica tarik tentang wanita itu, angkuh. "Tapi, Miss..." "Sudahlah! Aku akan menemuinya langsung." Alona melangkah menuju ruangan Joe mengabaikan panggilan Erica. Hell, mau bertemu dengannya saja melebihi seperti ingin bertemu presiden. Setelah mengetuk pintu, Alona masuk ke dalam ruangan. Suara desahan langsung menyambut pendengarannya. Walau ia merasa sedang terjadi sesuatu yang tak wajar di ruangan ini, namun kakinya tetap melangkah masuk. Hanya dalam hitungan detik, mata Alona terbelalak kaget begitu menyaksikan pria yang sedang dicarinya sedang bergumul panas di atas sofa dengan seorang wanita. "Menjijikkan." Suara sinis Alona berhasil menghentikan kegiatan mereka. Tapi, bukan tatapan kaget atau ekpresi malu yang ditunjukkan Joe melainkan seringaian dengan mata berbinar takjub. "Ingin bergabung, Miss Watson?" *****  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD