5. Obsesi Tak Tertahankan

1179 Words
Alice tidak punya pilihan lain dalam hidupnya karena piramida kasta. Meskipun ia menolak perintah dari Leo hidupnya juga tetap akan menderita. Untuk itu, gadis tersebut terpaksa bertindak sebagai penghianat. Sulit rasanya menjadi kepercayaan sekaligus penghianat untuk temannya. Terlebih lagi mereka sudah berteman lama. Sebenarnya Alice berniat untuk mengembalikan uang dari Leo. Namun karena rentenir itu datang, akhirnya uang itu digunakan untuk melunasi hutang ayahnya. Makanya diam-diam ia merekam pria yang selalu mendekati Vania tiada henti meski ditolak sebagai imbal balik dari uang yang digunakan. “Aku rasa kau tuli, Arthur. Bukankah aku bilang kalau kita tidak sedekat itu.” Ingin rasanya Vania meninju Atrhur detik itu juga. Sayang sekali, semua hanya angannya saja. “Aku akan menerima dengan senang hati.” Ciuh,Vania merasa jijik luar biasa, dicampur bergidik merinding mendengar ucapan Arthur yang sangat manis di dengar, tapi beracun. “Arthur…, aku rasa kau perlu berkaca,” ujar Vania sambil menggeser kursi. Gadis itu tidak tahan dengan tatapan menusuk diseluruh tubuhnya karena Arthur. Untuk itu, ia lebih memilih pindah posisi duduk. Sayangnya, tangan Vania dicekal oleh Arthur. Dengan wajah kesal, gadis itu menendang kursi pria itu cukup keras, sehingga oleng. Hasilnya sudah pasti, p****t dia mencium lantai cukup keras. “Ini peringatan!” teriak Vania menatap tajam ke arah Arthur untuk menunjukkan ke semua gadis kampus kalau ia tak pernah punya niat sedikitpun mendekati pria itu. Alice langsung bangkit sambil menyembunyikan ponselnya. Tidak lupa mengirim kepada yang bersangkutan. Siapa lagi kalau bukan Leo. Pria yang sedang memegang setangkai bunga mawar itu terlihat sangat marah begitu mengetahui gadisnya digoda oleh orang lain. “b******k!” umpat Leo cukup keras, bahkan meremas setangkai mawar yang sudah dibungkus rapi. Video itu cukup jelas menunjukkan kalau pria muda bernama Arthur sengaja menemui Vania. “Aku ingat dia!” geramnya tertahan. Karena kesal, Leo memasukkan ponselnya di dalam saku. Video itu tidak ditonton sampai habis. Jadi adegan Vania membela diri belum diketahuinya. “Pesan seratus tangkai bunga mawar merah. Kirim ke alamat ini dan serahkan kepada orangnya langsung.” Leo memberikan kartu alamat kepada pelayan bunga itu. “Kami akan segera memprosesnya, Tuan.” Leo melengos pergi tanpa basa-basi. Yang ada di otaknya sekarang adalah, bagaimana memberi peringatan kepada Arthur, pria muda lancang yang menggoda miliknya. Begitu mobil melaju kencang membelah jalan raya, Leo tidak peduli langsung menerjang lampu merah. Sungguh manusia yang tidak taat hukum. Benar-benar bukan contoh yang baik. Pria itu memarkir kendaraannya dengan tergesa-gesa, lantas melihat Ben yang juga baru saja keluar mobil. “Apa yang tuanku butuhkan?” “Cari tau tentang dia!” tunjuk Leo di ponselnya. “… semua informasi mengenai pria itu tanpa terlewatkan.” “Baik,Tuan. Saya kerjakan.” Padahal Ben belum sempat istirahat, tapi tak apalah karena itu memang pekerjaannya. Dari pada nanti ia terkena imbasnya, lebih baik segera melaksanakan tugas dari Leo. Amarah Leo kian mencapai puncak saat mendapatkan video call dari Alice. Jujur pria itu enggan memencet tombol warna hijau. “f**k….!” Umpatnya karena tak ingin hilang kendali ketika melihat berita tak sedap dipandang. Akhirnya, Leo menerima panggilan itu. Ada adegan yang membuatnya terkejut bukan main, lantas tersenyum senang. “Aku sudah tak tahan karena melihat wajah jerapahmu itu!” Siapa yang mengira setelah diperlakukan kasar oleh Vania, Arthur semakin gencar mendekati dan mengikuti kemana ia pergi. Karena tidak tahan, gadis itu menyiram segelas es teh ke wajah pria itu. “Jika kau terus bertindak seperti itu, maka aku akan mempermalukanmu lebih jauh lagi.” Tak lupa sebuah pukulan mendarat di ulu hati Arthur hingga dia meringis kesakitan. Semua orang yang ada di kantin saling kasak-kusuk tidak menyangka bahwa Vania berani bertindak brutal. Siapa dia telah menolak kapten basken yang merupakan anak dari Dekan. Bahkan Vania tak pantas bersanding dengannya. Karena kasta gadis itu terlalu rendah. Alice yang masih berhubungan dengan Leo berjalan menjauh dari keramaian, menuju ke tempat sepi. “Vania bisa menjaga dirinya sendiri. Saya harap tuan tak marah.” Gadis itu menutup panggilannya sepihak karena mendnegar suara alarm dari ruang radio. Bisa dipastikan bunyi itu adalah peringatan. Tes… tes…, aku Arthur. Vania diam di tempat ketika hendak kembali ke kantin untuk mencari Alice. Karena marah, gadis itu lupa dengan sahabatnya. “Apa yang coba dia permainkan?” Vania mendekati Alice yang berdiri tak jauh darinya. “Kita pergi…, jangan mendengarkan ocehan jerapah yang tidak bermutu.” Aku tahu kalau kau masih berada di kampus, Vania. Jadi, dengarkan baik-baik. Mulai hari ini kau resmi menjadi milikku. Dan aku akan mengejarmu. Semakin kau mengelak, maka aku akan semakin tertarik padamu. “Jerapah itu mau mati!” geram Vania sangat kesal. “Jangan terlalu terlibat dengannya karena membuang waktu.” “Tapi, dia sudah keterlaluan!” Kehidupan di universitas yang tenang kini berubah menjadi medan perang untuk Vania. Bagaimana mungkin tahun ketiga miliknya seperti berada di neraka. Andai saja Arthur tidak pindah di kampusnya, hidup gadis itu akan jaya dan tenang. “Kita ke kafe sekarang,” ajak Alice sambil menyeret lengan Vania. Gadis itu pasrah digandeng pergi begitu saja. Sampai akhirnya ada seorang kurir meyebutkan namanya. “Apakah anda mengenal Nona Vania kimberly?” Tanya pria itu kepada beberapa mahasiswa. Mereka mencari keberadaan gadis itu disekitar. Salah satu dari mereka menunjuk ke arah Vania yang sedang berdiri. Kurir langsung lari menuju ke gadis itu. “Nona Vania Kimberly, bukan?” Gadis itu terbengong, menyenggol bahu Alice yang sedang tersenyum. “Mungkin salah alamat.” “Tidak…, karena memang anda Nona Vania,” ujar pria itu sambil tersenyum memberikan bunga itu. Vania tampak ragu menerima bunga tersebut. Tapi berkat dorongan dari Alice, terpaksa dia menerima. Semua arah mata tertuju padanya, karena tidak menyangka akan mendapatkan buket mawar merah yang sangat mahal. “Ini semua salahmu, aku tak mau menjadi pusat perhatian,” bisik Vania bergegas pergi dengan cepat. “Kekasihmu sangat romantis sampai mengirim bunga yang cantiik dan mahal!” teriak Alice mengundang perhatian banyak orang. Atrhur yang melihat Vania mendapatkan bunga dari seseorang sangat kesal. Dia mengepalkan tangan cukup kuat, hampir saja memukul tugu penyangga bangunan yang ada di sampingnya, “Apa yang yang membuatmu marah?” tanya seorang pria dengan santai. Arthur tak menoleh sama sekali, karena dia tahu kalau pria yang berada disampingnya akan merebut gadis incarannya. “Bukan urursanmu. Kapan kau kembali?” “Kemarin…, aku baru saja datang dan melihatmu kesal. Sungguh pemandangan yang sangat menyejukkan mata.” “Diamlah, Dennis…, jangan merusak moodku!” ujar Arthur tambah kesal. Dennis merangkul bahu Arthur sambil menggiringnya berjalan. “Ngomong-ngomong aku akan menempati peringkat pertama lagi, karena ayah sudah mengizinkanku kembali ke kampus ini.” Dennis merupakan anak dari rektor universitas tersebut. Tahun lalu dia pindah ke Amerika karena menjalani hukuman, Kali ini dia kembali pasti membuat masalah lagi. Jika mereka berdua bersama, maka Arthur akan selalu menjadi nomor dua. Julukan kapten basket akan menghilang karena pada dasarnya dia adalah pengganti saja. Sekarang hidupnya akan kembali ke satu tahun lalu, dimana semua yang menjadi incarannya akan direbut oleh Dennis. Sialan, aku tak ingin membiarkan Dennis tahu tentang Vania. Kenapa saianganku banyak sekali? Terlebih lagi ada orang yang mengirim bunga kepada gadis itu, batin Arthur sangat tereobsesi memiliki gadis itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD