Bab 2. Wanita Lain

1197 Words
"Ah, kamu pasti Keira, kan? Perawat baru kita." Kepala perawat tersenyum ramah, lalu menatap Julian sejenak sebelum kembali memandang Keira. "Saya Ibu Ratna, kepala perawat di sini. Selamat datang." Keira mengangguk pelan. "Terima kasih, Bu. Mohon bimbingannya." Ratna mengangguk, lalu menoleh ke Julian. "Dokter Julian, ini Keira. Mulai hari ini dia akan menjadi asisten Anda di poli umum. Saya harap kerjasama kalian berjalan baik." Julian hanya menatap dingin, tanpa senyuman atau ucapan sambutan. Sementara Keira tak kalah terkejut, tak menyangka akan kembali masuk dalam belenggu pria yang telah memporak-porandakan hatinya. "Nanti dokter Julian sendiri yang akan menjelaskan jobsdesk kamu, nurut saja agar kamu nggak kena marah. Beliau ini punya standar tinggi. Kamu harus cepat belajar dan menyesuaikan diri." Keira hanya mengangguk, meskipun hatinya bergejolak. Pria itu bahkan tidak ingat siapa dirinya, tetapi kini ia harus bekerja langsung di bawah pengawasannya? "Baiklah, saya rasa cukup. Dokter Julian, Anda bisa membawa Keira ke poli umum sekarang," ucap Ratna sebelum meninggalkan mereka. Julian tidak berkata apa-apa, hanya berbalik dan berjalan keluar ruangan. "Ikuti saya," ucapnya dingin tanpa menoleh. Keira mengekor di belakang, mengatur langkah agar tidak tertinggal. Sesekali ia mendongak, memperhatikan punggung tegap Julian yang berjalan cepat. Hatinya masih dipenuhi amarah, tetapi ia menahan diri. Setibanya di ruangan poli umum, Julian membuka pintu dan masuk tanpa mempersilakan Keira lebih dulu. Keira mengikuti dengan hati-hati, matanya menyapu ruangan yang cukup luas dengan meja kerja, kursi pasien, dan berbagai peralatan medis. Julian langsung menuju mejanya, duduk, lalu menatap Keira dengan tatapan datar. "Dengarkan baik-baik. Saya tidak suka mengulang penjelasan." Keira berdiri tegak, mengangguk kecil. "Baik, Dok." Julian menyandarkan tubuh ke kursi, tangannya melipat di d**a. "Kamu akan bertugas mencatat anamnesis pasien. Pastikan catatanmu lengkap, mulai dari keluhan utama, riwayat penyakit, sampai alergi. Jangan sampai ada yang terlewat." "Iya, Dok." "Kamu juga bertugas menyiapkan alat-alat yang saya perlukan. Kalau saya minta otoskop, kamu ambilkan otoskop, bukan yang lain. Kalau saya bilang sterilkan alat, kamu sterilkan sesuai prosedur. Jangan coba-coba improvisasi." Keira menahan diri untuk tidak membalas sentakan itu. "Baik, Dok." Julian melanjutkan, nadanya tetap dingin. "Selain itu, kamu harus memastikan pasien tidak menunggu terlalu lama. Kalau saya sedang menangani kasus yang lebih serius, kamu koordinasikan dengan pasien lain agar mereka paham situasinya. Saya tidak mau mendengar keluhan soal jadwal." Keira mengangguk lagi. "Saya mengerti, Dok." Mata Julian menyipit, seolah menilai apakah Keira benar-benar memahami ucapannya. "Satu lagi, jangan ganggu saya dengan pertanyaan bodoh. Kalau ada yang tidak kamu mengerti, cari tahu sendiri sebelum bertanya!" Keira merasa darahnya mendidih, tetapi ia hanya bisa mengangguk. "Baik, Dok." Setelah memastikan Keira tidak berkata apa-apa lagi, Julian berdiri dan mengambil jas putihnya. "Kita mulai sekarang. Pasien pertama dijadwalkan sepuluh menit lagi. Bersihkan meja ini, pastikan alat-alat sudah siap." Tanpa menunggu jawaban, Julian berjalan keluar ruangan. Keira berdiri terpaku, menatap pintu yang tertutup kembali. Tangannya mengepal, mencoba menenangkan dirinya. Beberapa menit kemudian, ruangan poli umum mulai dipenuhi pasien. Keira berdiri di dekat meja dokter, sibuk mencatat daftar nama pasien yang sudah dipanggil. Seorang pria paruh baya dengan keluhan nyeri di perut masuk bersama istrinya. Julian mulai melakukan anamnesis, bertanya tentang riwayat penyakit dan keluhan yang dialami pasien. “Sakitnya di mana persisnya?” tanya Julian, matanya fokus pada pasien. “Di bagian kanan bawah, Dok. Sudah dua hari ini,” jawab pasien dengan suara pelan. Julian mengangguk, kemudian menatap ke arah Keira. “Tensimeter, sekarang!” Keira dengan sigap mengambil tensimeter dari meja alat medis, tapi tangannya sedikit gemetar. Ia terburu-buru menyerahkan alat itu, tetapi secara tidak sengaja tali mansetnya tersangkut di sudut meja, membuat alat itu terjatuh ke lantai dengan suara berisik. Julian langsung menghentikan aktivitasnya dan menatap Keira dengan tajam. Wajahnya memerah memancarkan amarah. “Keira! Apa yang kamu lakukan?!” suara Julian meninggi, tajam seperti pisau yang mengiris. Keira terpaku, matanya melebar karena terkejut. Ia segera membungkuk untuk mengambil alat yang jatuh. "Maaf, Dok. Saya tidak sengaja—" “Tidak sengaja?!” Julian memotong dengan nada keras. “Kamu itu asisten dokter, bukan anak magang yang tidak tahu apa-apa!” Pasien dan istrinya saling berpandangan, tampak tak nyaman dengan suasana yang mendadak memanas. Namun Julian tidak peduli. Ia terus melanjutkan, tanpa menurunkan suaranya. “Saya minta kamu bekerja profesional! Kalau kamu ceroboh seperti ini, bagaimana pasien mau merasa nyaman?!” Keira menggigit bibir bawahnya, menahan rasa malu yang mulai menyelimuti. Wajahnya memerah, bukan hanya karena dimarahi, tapi juga karena dipermalukan di hadapan orang lain. Ia menatap lantai, tangannya menggenggam tali manset tensimeter dengan erat. Hatinya panas, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. “Sekarang sterilkan alat ini dan bawa yang baru. Jangan ulangi kesalahan bodoh seperti ini lagi!” Julian menunjuk dengan nada dingin. Keira mengangguk kecil tanpa berani berkata apa-apa. "Iya, Dok," jawabnya pelan, suaranya bergetar. Ia segera beranjak ke meja alat medis, mengganti tensimeter dengan yang baru, dan membersihkan alat yang jatuh tadi dengan tangan gemetar. Napasnya terasa berat, dadanya sesak oleh rasa malu dan emosi yang bercampur aduk. Ia mencoba menenangkan diri, tapi bayangan tatapan dingin Julian dan suara bentakannya terus terngiang di telinganya. "Udah ilang ingatan, pemarah lagi!" batinnya geram. *** Ruangan poli umum mulai sepi seiring jarum jam menunjukkan pukul empat sore. Pasien terakhir telah selesai diperiksa, dan Keira sibuk merapikan meja serta mencatat beberapa hal di buku log. “Keira, pastikan ruangan ini sudah bersih dan rapi sebelum kamu pulang,” ucap Julian dingin, tanpa menoleh ke arahnya. “Iya, Dok,” jawab Keira pelan, menahan kelelahan dan perasaan campur aduk yang terus menghantui pikirannya. Julian memasukkan beberapa dokumen ke dalam tasnya, lalu berdiri. Tubuh tegapnya menambah kesan angkuh dan tak bersahabat. Keira mengamati dari sudut matanya, tapi segera berpaling ketika Julian melangkah ke pintu. Tepat saat ia hendak keluar, suara langkah sepatu hak tinggi terdengar menggema di lorong. Laura, istrinya, berjalan masuk ke dalam poli umum. Rambut hitam panjangnya tergerai indah, tubuhnya langsing dengan balutan dress ketat berwarna merah tua. “Sayang!” serunya riang, suaranya melengking manja. Keira langsung menoleh, matanya membesar ketika wanita itu menghampiri Julian dan langsung memeluk pria itu. Julian mendadak berubah, ia menyambut pelukan wanita itu dengan hangat. “Kamu sudah lama nunggu?” Julian bertanya dengan nada lembut, jauh berbeda dari cara ia berbicara dengan Keira. “Enggak lama kok,” jawab wanita itu sambil tersenyum lebar. Ia meletakkan kedua tangannya di bahu Julian, lalu dengan santai mencium pipinya, di depan Keira yang berdiri terpaku di sudut ruangan. Keira merasa tubuhnya mendadak kaku. Ia memegang tepi meja untuk menahan diri agar tidak limbung. Pandangannya kabur, napasnya tercekat, dan jantungnya berdegup begitu keras hingga terasa seperti menghantam dadanya. Wanita itu kemudian menyelipkan lengannya ke lengan Julian, berdiri sangat dekat dengannya. “Kamu masih sibuk? Kalau nggak, ayo kita pergi. Aku sudah pesan tempat makan favorit kita.” Keira tidak bisa mendengar jawaban Julian dengan jelas. Telinganya berdenging, sementara pikirannya berputar-putar mencoba memahami apa yang terjadi di hadapannya. Jadi, ini alasannya? Menghilang bertahun-tahun dan bersikap seolah tidak mengenali? Karena ada wanita lain? pikir Keira, matanya mulai memanas. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang hampir tumpah. Namun, tak peduli seberapa keras ia mencoba, rasa sakit itu terlalu nyata. “Kalau dia punya wanita lain, baiklah, tidak apa-apa .., tapi akan kutunjukkan sampai mana hubungan kalian mampu bertahan di atas air mataku!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD