Anak Kecil yang Tidak Peka

1429 Words
"P - pacar?" Oom Holkay sampai tergagap.    Ia menatap Vanila dari ujung kepala sampai kaki. 'Not bad, sih,' batinnya. Namun ia tetap bertanya - tanya dan tak bisa langsung percaya.    Mengingat model - model anaknya itu -- si Rori -- sepertinya jauh lebih sibuk memikirkan bagaimana cara membuat prank yang bagus. Bukan memikirkan bagaimana membahagiakan seorang pacar.    Rori belum pernah membawa pulang teman gadisnya sejauh ini. Yang sering ya hanya si Sushi itu saja. Sushi yang merupakan laki - laki tulen.    "No ... no ...." Mahera berkacak pinggang. Tampangnya terlihat tak terima. "You lie. You bukan girlfriend my Rori. Because my Rori is belok. He's not straight. Pacarnya my Rori adalah Sushi!"    Pernyataan Mahera itu membuat semua orang di sana berjengit. Mahera ini memang suka berpikir aneh - aneh. Termasuk pemikirannya tentang hubungan Rori dan Sushi. Tapi mereka tidak menyangka saja kalau Mahera akan mengatakannya secara frontal. Di depan orang asing pula. Orang asing yang mengaku pacar Rori.    Meski anggapan Mahera itu bukannya tak berdasar, sih. Mengingat mereka sendiri sebenarnya pernah menyangka hal yang sama. Bahwa Rori dan Sushi punya ... hubungan yang lebih dari sekadar teman. Habisnya mereka serasi dan saling melengkapi, sih. Tapi ya amit - amit. Jangan sampai!    Untungnya harapan mereka terkabul. Rori dan Sushi memang hanya berteman. Mereka adalah sahabat yang solid dan kompak dalam berbagai bidang. Semoga saja tipe wanita ideal mereka tidak sama. Kalau sampai sama ... bisa gawat.    "Sayang, kamu sama Mama masuk rumah dulu gimana? Biar Papa ngomong sama Mbak ini baik - baik." Oom Holkay bicara selembut mungkin pada putri pertamanya itu.    "Tapi Papa, dia pasti bohong! Dia bukan pacarnya my Rori!" Mahera bersikeras.    Tante Alona menghampiri Mahera. "Iya, iya. Makanya ini mau dibicarain dulu sama Papa dengan Mbak - nya. Ayo kamu sama Mama masuk dulu, yuk!"    "Pokoknya I nggak percaya kalo she is girlfriend - nya My Rori. Titik!" Mahera masih berkacak pinggang.    Tante Alona telah gagal membawa putri sulungnya masuk ke rumah. Oom Holkay juga tak mau memaksa lagi. Ia justru tersugesti dengan ketidak percayaan Mahera.    "Apa yang dikatakan Mahera ada benarnya, lho. Rori selama ini nggak pernah deket sama cewek mana pun. Kok tahu - tahu punya pacar? Apa buktinya kalo kamu adalah pacarnya Rori?"    Vanila mendengkus - dengkus karena kesal. Jantungnya cukup deg - degan karena tuntutan bukti dari Oom Holkay. Tapi tenang. Bukankah Vanila tadi sudah mempersiapkannya?    Gadis itu merogoh saku untuk mengambil ponsel. Baterai ponsel yang sudah megap - megap tak menjadi masalah. Asal tidak mati sekarang saja.    Ia mengubek - ubek galeri. Dalam hati mengutuk ponselnya yang lemot setengah mati. Ponselnya minta adik tapi yang punya masih bokek tak ketulungan. Gaji dari Dreame sudah habis dia gunakan untuk bayar uang semester.    "Ini buktinya!" Vanila menunjukkan hasil selfie - nya dengan Rori tadi sebelum berangkat ke sini.    Oom Holkay, Tante Alona, Mahera, dan Pak Maliki berbondong - bondong melihat foto yang ditunjukkan oleh Vanila. Mereka yakin bahwa dua sejoli yang ada dalam foto itu benar - benar adalah Rori dan gadis ini. Tapi hati mereka masih memungkiri. Mereka tetap belum bisa percaya sepenuhnya.    "T - tapi ... hanya dengan satu foto, mana bisa membuktikan bahwa kamu adalah pacarnya?" tanya Oom Holkay.    "Foto kami ada banyak, Pak. Tapi sudah saya pindah ke laptop soalnya HP saya lemot. Ini, Bapak lihat, deh, background foto kami ini. Ini adalah rumah baru Mas Rori. Rumah yang penuh hantu dan tikus. Kotor dan nggak layak. Sama sekali nggak sehat. Padahal Mas Rori lagi sakit parah." Vanila sengaja menyindir untuk menyentil hati Oom Holkay dan keluarganya.    "Terserah kalian mau percaya apa nggak," lanjut Vanila. "Yang jelas saya sama Mas Rori saling mencintai satu sama lain. Cinta kami tulus. Dan di sini saya sedang memperjuangkan keselamatan pacar saya. Kami sama - sama masih mahasiswa, belum punya kerjaan tetap. Makanya saya ke sini buat minta kartu asuransi kesehatannya Mas Rori. Hanya itu. Nggak apa - apa kalian nggak peduli sama Mas Rori. Masih ada saya yang peduli sama dia kok."    Oom Holkay dan semuanya tak memberi tanggapan apa pun. Hanya ekspresi wajah yang sulit menerima kenyataan.     Vanila sendiri ... mungkin wajahnya terlihat tenang dan meyakinkan. Tapi percaya lah, dalam hati ia sedang merutuki kebodohan dan kecerobohannya sendiri.    Mengaku sebagai pacar Rori, saling mencintai, cuih ... itu semua hoax. Vanila sendiri tak percaya sudah mengatakan itu semua. Bagaimana bisa?    Vanila benar - benar bingung. Ia hanya sedang mencari cara agar mendapatkan kartu asuransi Rori. Hanya itu.    "Bapak nggak mau kasih kartu asuransinya, Mas Rori? Oke. Nggak apa - apa. Biar saya sendiri yang cari duit buat beli obat buat pacar saya." Vanila belum menyerah. Gadis itu menengadahkan kedua tangan ke udara. "Ya Allah, tolong kasih saya kerjaan yang halal, yang bisa disambi kuliah, yang gajinya banyak. Jangan sampai saya bobol ATM atau rampok bank, Ya Allah. Kalau sampai saya begitu, biarkan keluarganya Mas Rori yang nanggung dosa. Soalnya mereka nelantarin anak mereka yang sedang sakit dan menderita. Aamiin."    Vanila berbalik haluan. Sebelum beranjak mengambil motor, ia terlebih dulu menatap tajam anggota keluarga Rori satu per satu. Terutama pada Pak Maliki, karena ia lah yang merupakan kompor sampai - sampai drama sore ini bisa terjadi.    "Saya permisi!" Vanila benar - benar beranjak. Ia sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi kenyataan setelah ini. Karena ia satu - satunya orang yang berada di pihak Rori, maka ia lah yang bertanggung jawab mengurus pemuda itu bagaimana pun caranya.    "Tunggu!"    Kedua mata Vanila membulat. Itu suara Oom Holkay, kan? Alhamdulillah, ada setitik harapan.    "Pak Maliki, tolong ke kamarnya Rori, cari kartu asuransinya."       "T-tapi, Tuan ...."    "Udah, ambil aja!" Pak Maliki tak punya pilihan selain menurut.    Oom Holkay berjalan mendekati Vanila. Bersamaan dengan gadis itu yang berbalik untuk menghadap lawan bicaranya.    "Saya kasih kartu asuransinya Rori bukan berarti saya percaya. Ini hanya bagian dari pengamatan saya," jelas Oom Holkay.    "Terserah Bapak. Yang penting saya dapet kartu asuransinya. Yang penting pacar saya selamat." Vanila menjerit dalam hati. Ia benar - benar bersyukur. Alhamdulillah, ia tak jadi merampok bank ataupun membobol ATM.    Oom Holkay mengangguk. "Oke lah kalo begitu."    ~~~~~ Y S A G ~~~~~ Vanila masih memikirkan segala kekonyolan yang terjadi hari ini. Sesekali ia menggeleng, berharap kebohongan - kebohongan yang ia ucapkan tak pernah terjadi. Kira - kira bagaimana reaksi Rori kalau sampai tahu?    Bisa - bisa Rori menganggapnya cewek nggak bener. Tapi ... ini, kan, demi kebaikan Rori juga.    Vanila menggigit ujung bantal stroberi yang dipeluknya.    "Lo kenapa, woy? Kumat?" Zona melintas masih dengan tab yang setia ia tatap. Zona duduk di sofa panjang yang sama dengan Vanila.    "Diem aja lo!" ketus Vanila.    "Doh ... kesel banget gue. RSJ nggak update - update dari kapan hari. Ke mana aja mereka, tuh?"    Mendengar nama RSJ disebut, Vanila segera menelisik layar laptop Zona. Ya bagaimana mau update? Satunya sakit, satunya sedang ngambek!    Vanila menyeringai. Zona tidak tahu saja bahwa Vanila sedang menyiapkan konten baru untuk RSJ.    "Woy, ngintip lo, ya?" Zona tiba - tiba bertanya seperti itu.    Vanila kaget setengah mati. "Ngintip gimana? Orang gue lagi lihat HP!" Vanila pura - pura sibuk menatap ponsel.    Di saat bersamaan, ada sebuah pesan masuk. Dari nomor yang belum Vanila simpan. Isi pesannya terlihat sekilas di bagian atas layar. Vanila langsung tahu itu adalah Ardi. Orang yang tak sengaja ia tabrak di depan BAU sebelum UAS. Dan orang itu sudah mengirim pesan juga sore tadi.    Vanila ingin membuka pesan itu segera. Ingin mengatakan pada Ardi, menegaskan padanya bahwa urusan mereka sudah selesai. Toh mereka sudah saling memaafkan. Dan tidak ada yang dirugikan juga dari tabrakan yang terjadi.    "Bayar listrik, Mbak," ucap seorang bapak - bapak yang baru saja masuk.    Vanila hampir saja mengumpat. Datangnya pelanggan selalu di saat yang tidak tepat. Vanila mengelus d**a sambil beristighfar ria. Meminta ampun pada Allah karena mengomel padahal sudah diberi rezeki.    Selesai melayani pelanggan, Vanila buru - buru mengambil ponselnya di sebelah Zona. Ia menjauh karena tak mau Zona kepo dengan apa yang ia lakukan.    Mbak lagi sibuk, kah? Chat saya tadi sore nggak dibales.    Vanila segera mengetik pesan balasan.    Maaf, ya, Mas. Tadi sore HP saya lowbath.  Ngomong-ngomong ada apa lagi, ya, Mas? Bukannya urusan kita udah selesai?    Ya, begitu lah Vanila. Terkadang terlalu to the point. Mungkin itu pula sebabnya cowok - cowok yang mendekatinya banyak yang menyerah dan memutuskan untuk mundur teratur.    Vanila memang tidak suka dengan orang asing yang suka pendekatan via media sosial. Kalau mau ya silakan datang dan ngobrol face to face. Vanila menunggu jawaban dari cowok itu. Ia menghitung mundur dalam hati dari 10 sampai 1. Kalau cowok itu tak kunjung membalas, Vanila berjanji tidak akan membalas apa pun yang akan dikatakannya nanti sebagai balasan. ~~~~~ Y S A G ~~~~~~ T B C   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD