Karma Is A B*tch 2

1294 Words
Vanila segera menoleh, mencari - cari seseorang yang dimaksud Zola. Seketika mata Vanila berbinar - binar. Sedap sekali pemandangan di siang - siang bolong. Sungguh segar, seketika dahaga Vanila hilang. Uhm ... meski ini sebenarnya hanya metafora. Tenggorokan Vanila masih tetap kering.    Sebenarnya Vanila bertanya - tanya. Merasa pernah melihat cowok itu. Tapi tidak ingat di mana.    "Mbak, jangan terpesona dulu!" Happy memperingatkan.    "Emangnya kenapa? Justru aneh kalo nggak terpesona lihat yang begituan. Cewek yang nggak terpesona, berarti nggak normal!" sanggah Vanila. Diiyakan oleh Zola dengan anggukan antusias.    Vanila dengan seenak jidat mengambil minuman Zola. Minta sedikit, ia tidak punya uang lebih untuk ikut beli. Sekali pun ada, bisa untuk keperluan lain yang lebih penting. Vanila bukannya pelit, ia hanya hemat. Ingat, kan, keluarga Vanila cukup miskin?    "Jelasin, R!" sahut Anisa.    "Mbak ... bukan kita yang nggak normal. Tapi dia. Cowok itu lah yang nggak normal! Orang dia homo!"    Seketika Vanila meyemburkan lemon tea dingin milik Zola yang baru saja ia sruput.    R, Zola, Anisa, dan Happy misuh - misuh karena terkena semburan maut dari Vanila.    "Tahu dari mana kalian kalo dia homo?" Vanila terlihat tak percaya.    "Jangan dengerin mereka, Mbak! Mereka, tuh, fitnah. Itu cowok ganteng belum tentu homo!" Zola tetap pada pendiriannya.    "Aduh ... jadi sebenernya ada apa? Apa yang terjadi di sini sebelum gue dateng?" Vanila menuntut penjelasan.    "Jelasin, R!" Lagi - lagi Anisa menyerahkan kuasa pada sang juru bicara.    R dengan senang hati mulai menceritakan apa yang baru saja terjadi di King Kong Cafe ini, mulai A sampai Z.    Sekarang Vanila sudah mengerti. Gadis itu menatap si Cowok terduga homo sekali lagi. Mengamatinya dengan saksama. Kali ini sepertinya ia lebih percaya pada Zola daripada teman - temannya yang lain.    Pemuda itu belum tentu homo. Dan ia benar - benar terlihat sangat sakit sekarang.    Vanila mengamati lebih detail. Ia mengernyit. Sepertinya ia pernah melihat pemuda ini. Tapi ... di mana?    "Eh, kalian nggak pengen nolongin dia gitu?" tanya Vanila. "Dia udah dari tadi, kan, di sini? Dia nggak pergi, dan nggak pesen apa - apa lagi. Kesimpulan gue, dia sebenernya pengen pergi, tapi nggak bisa sendirian. Karena dia lagi sakit!"    "Mbak, kok malah percaya teori - nya Zola, sih. Dia homo, Mbak. Dan sakitnya dia tadi cuman pura - pura!"    "Tapi berdasarkan penglihatan gue, itu cowok sama sekali nggak pura - pura. Dia beneran kesakitan itu!" Vanila menyanggah karena ia merasa benar. Gadis itu beranjak dari duduknya tanpa ragu.    "Mau ke mana lo, Mbak?" tanya Happy.    "Zol, lo nau nolongin dia, nggak?" Vanila malah bertanya pada Zola.    "Uhm ... uhm ...." Zola terlihat ragu.    "Kalo lo ragu - ragu, nggak ada gunanya lo kasihan sama itu cowok dari tadi, Zol!" Vanila dengan cepat menarik tangan Zola untuk mengikutinya. Zola hanya bisa pasrah.    Tersisa R, Happy, dan Anisa yang masih tak percaya dengan apa yang Vanila dan Zola akan lakukan.    Vanila menggelandang Zola menuju meja itu, tempat si Pemuda berada. Aksi mereka itu segera menarik perhatian semua orang dalam cafe yang tadi ikut menjadi saksi atas adegan yang membuat ricuh dan melahirkan presepsi yang belum tentu benar.    "Mas ... Mas nggak apa - apa?" tanya Vanila.    Pemuda itu mendongak menatap Vanila. Ia menggeleng, namun mimiknya mengatakan hal yang berbeda.    "Mas kenapa? Mana yang sakit?" tanya Vanila lagi.    Pemuda itu menggeleng lagi. Bahkan kini ia sudah tak menatap Vanila. Melainkan meletakkan kepalanya di atas meja, dengan satu tangan sebagai bantal, dan satu tangan lagi mencengkeram perut.    "Mbak, dia cuman pura - pura. Tadi saya udah nolongin dia. Tapi habis itu dia malah ngakak." Seorang pemuda lain memperingatkan Vanila. Diiyakan oleh yang lain.    "Tapi dia sakit beneran! Kalian nggak lihat apa dia kesakitan?" Vanila benar - benar tak habis pikir.    "Mas, ayo saya anterin ke rumah sakit!" Vanila nekat.    Ia mengangkat sebelah lengan pemuda itu, melingkarkannya ke punggungnya. Vanila bahkan tak peduli hijab - nya mencong ke mana - mana. "Zol, bantuin gue!"    "Tapi, Mbak ...."    "Bantuin gue, Zol!" Vanila sedikit membentak.    Zola akhirnya menurut. Ia mengangkat lengan satunya, melakukan hal yang sama dengan Vanila.    'Ya Allah ...," batin Vanila. 'Saya sama cowok ini bukan muhrim. Tapi ini darurat. Cowok lain di sini nggak ada yang bisa diandalkan. Ampuni saya, Ya Allah.'    ~~~~~ Y S A G ~~~~~ Rori sangat terkesan dengan gadis berhijab yang nekat mengantarnya ke rumah sakit. Gadis itu bahkan tak bisa menyetir mobil. Ia nekat mengantarnya menggunakan sepeda motor. Ia mengikat tubuh Rori dengan tubuhnya, menggunakan barang seadanya. Ia meminjam taplak meja cafe dan berjanji akan mengembalikan. Ia berbuat sampai seperti itu hanya agar Rori tidak jatuh.    Sekarang Rori sedang berada di lobi rumah sakit. Ia duduk diam, menunggu sampai di gadis selesai mendaftarkan dirinya.    Sebenarnya saat ini perut Rori sudah tidak terlalu sakit. Tapi sudah kepalang tanggung. Ia sudah di sini, ya periksa sekalian. Toh sudah proses pendaftaran.    Rori sendiri sebenarnya bingung. Well, sejak dulu ia sering merasakan sakit yang sama. Tapi akhir - akhir ini intensitasnya semakin sering. Dan tingkat rasa sakitnya semakin bertambah. Rori sudah ada rencana mau periksa. Tapi belum jadi - jadi.    Sekarang Rori justru memikirkan Sushi. Apa Sushi serius marah padanya?    "Mas ...."    Rori menoleh pada sumber suara. Suara si Gadis Berhijab yang menolongnya.    "Sudah, Mbak, daftarnya?"    "Tinggal satu langkah lagi. Dan saya nggak bisa lakuin itu sendiri, Mas." Gadis itu terlihat menyesal.    "Kenapa, Mbak? Ada yamg bisa saya bantu?"    "Ada banget, Mas! Uhm ... biaya administrasinya ...."    "Oh ...." Belum selesai Vanila bicara, Rori sudah mengerti. Ia segera mengeluarkan sebuah kartu kredit berwarna hitam dari dalam dompet.    Vanila melotot seketika. Wah, kartu kredit warna hitam. Berarti unlimited. Hanya orang yang benar - benar kaya saja yang bisa memilikinya. Hebat!    Vanila segera menerimanya dan kembali pada loket pendaftaran. Tak perlu waktu lama, Vanila kembali membawa berkas - berkas pemeriksaan yang harus Rori bawa nanti.    "Ini, Mas." Vanila menyerahkan semuanya.    "Makasih, ya, Mbak. Saya nggak akan lupain jasa Mbak. Bakal saya ganti sebisanya nanti kalo saya udah sembuh."    "Nggak perlu, Mas. Saya ikhlas, kok," jawab Vanila. "Sebenarnya saya masih pengin nemenin Mas. Tapi saya beneran harus pulang sekarang. Orangtua nggak ada yang bantuin di rumah. Mas nggak apa - apa, kan, saya tinggal?"    "Nggak apa - apa, Mbak. Toh udah di rumah sakit ini. Kalo kenapa - kenapa banyak yang nolongin."    Vanila tergelak. "Duh, ya jangan sampai kenapa - kenapa, dong, Mas!" Vanila masih berusaha mengingat - ingat. Di mana ia pernah melihat Rori sebelumnya.    Wajahnya ... suaranya .... Benar - benar familier.    ~~~~~ Y S A G ~~~~~ Rori sudah menjalani serangkaian pemeriksaan. Saat ini dia sedang berhadapan oleh seorang dokter tinggi yang masih cukup muda. Namanya Dokter Rayhan.    "Kira - kira kapan hasilnya keluar, Dok?" tanyanya.    "Sekitar dua sampai tiga hari lagi."    "Uhm ... kira - kira saya kenapa, ya, Dok? Soalnya kalo lagi kumat, beneran sakit banget. Saya sampek keringet dingin."    Raut dokter Rayhan berubah sedih, seperti enggan menyampaikan perkiraannya. "Semoga perkiraan saya salah. Tapi ...." dokter Rayhan tak lanjut bicara. Ia justru memutar komputernya supaya Rori juga bisa melihat.    Ada gambar rontgen perut. Sepertinya milik Rori. "Lihat ini!"     Dokter Rayhan menunjuk salah satu bagian usus yang terlihat menghitam. Seperti sebuah luka yang sangat besar. Rori mengamati dengan baik, dan tak percaya bahwa itu adalah bagian dalam tubuhnya.    "Ada sebuah vulnus yang cukup besar. Semoga saja ... semoga saja itu tidak bermetastasis. Semoga saja itu hanya vulnus biasa."    Rori tak mengerti dengan penjelasan dokter Rayhan. "Dok, jangan bertele - tele. Saya nggak ngerti. Jadi ... kira-kira saya sakit apa?"    Dokter Rayhan melepas kacamatanya sebelum menjawab. "Ini masih perkiraan ya. Huff ... vulnus itu bisa jadi adalah kanker."    Rori seakan membeku. Tadi siang Sushi bercanda kepadanya bahwa ia telah terkena karma atas perbuatannya selama ini. Atas hobi - nya yang suka mengerjai orang.    Ya ... mungkin Rori akan kena karma, tapi ... apakah karmanya harus seburuk ini?    ~~~~~ Y S A G ~~~~~ -- T B C --
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD