Peringatan Mamah

2187 Words
Matahari mengumpat dibalik awan gelap yang sedikit menutupi langit membuat matahari bersinar dengan manja. Mendung bukan berarti hujan, itulah yang sering banyak orang ucapkan. Sama halnya seperti Iffa yang masih dengan nyenyak tertidur di ranjang kebesaran. Ia tetap akan memilih tidur diatas ranjang kebesarannya ini saat hawa malas menyerang diri. Rasanya ia enggan untuk bangun dan melewatkan hawa yang sangat sejuk masuk ke dalam kamar melalui celah-celah ventilasi jendela. Alarm terus berdering membuatnya muak sebab aktivitas hari ini mengharuskan dirinya bangun, sebab ada rapat lanjutan bersama peserta baru. Entahlah, terlalu banyak pikiran yang berkecamuk di otaknya, memikirkan hal buruk apa nanti yang akan terjadi dan sudah dapat dipastikan jika nanti ada pembahasan yang menyerempet ke makhluk tak kasat mata, dijamin tak akan ada yang percaya. Gadis mungil itu menghelas nafas panjang, memejamkan mata dan menyakinkan diri untuk bangkit dan tersenyum menghadapi mereka semua. Ia menanamkan sebuah semangat yang luar biasa dalam diri dan juga hatinya. Walaupun ia tak yakin nanti saat bertemu dengan peserta baru apakah akan tetap semangat dan tersenyum atau justru sebaliknya. Plin-plan bukan? Hehe itulah Iffa. Ia perlahan menurunkan kaki jenjangnya dari ranjang kebesaran, dan melangkahkan kaki dengan gontai ke arah jendela. Ia membuka gorden dan jendela dengan sempurna, aroma tanah menandakan akan terjadi perubahan cuaca hari itu. Iffa menghirup dalam-dalam aroma tanah yang membuatnya tenang, aroma tanah menjelang hujan selalu ia rindukan karena ada ketenangan tersendiri saat menghirupnya lebih dalam. Seharusnya, hari ini bisa santai karena libur kuliah, tapi rapat hari ini mengharuskan bangun dari tidur yang nyenyak dan juga merusak hariku! keluh Iffa dalam hati. Wangi sekali aroma tanah ini, aroma yang selalu ditunggu setiap waktunya. Karena rintikan bulir air bening yang turun dari langitnya Allah mampu memberikan keberkahan bagi siapa saja yang dengan sangat tulus berdoa saat hujan turun. "Teh, sudah bangun?" tanya Mamah lembut sedikit agak berteriak dari balik kamar. "Sudah, mau mandi." "Segera mandi, Nak. Mamah tunggu di bawah untuk sarapan." Ia mendengar langkah kaki yang menjauh dari kamarnya. Ia bergegas mandi dan mempersiapkan diri bertemu para peserta baru. Mencoba tersenyum dan tenang saat berhadapan mereka semua, menghilangkan sedikit demi sedikit rasa takut yang menghampiri hatinya dan juga pikirannya. Setelah selesai mandi, dan mempersiapkan segala keperluan, Iffa bergegas ke ruang makan dan memakan sarapan yang sudah terlewat kan. "Jadi kemahnya, Teteh?" tanya Mamah yang melintas dan duduk di hadapan Iffa dengan senyum yang sangat manis. "Jadi Mamah, hari ini akan ada rapat lanjutan. Lalu besok kemungkinan berangkat ke Villa tersebut," jawab Iffa malas tak bersemangat. "Ya sudah, nanti Mamah bantu berkemas ya. Teteh selama disana pokoknya harus berhati-hati," ujar Mamah menatap Iffa lekat. Yang diberi peringatan langsung melirik ke arah Mamahnya seakan meminta penjelasan, tapi Mamah enggan memberikan sebuah penjelasan. Mamah melangkahkan kakinya meninggalkan Iffa dengan segala pikiran yang ada di otaknya. Hati-hati? Sebuah peringatan atau apa ini? batin Iffa sangat bingung. Ia segera melahap kembali makanannya dan bergegas berangkat ke kampus. Karena kalau ia telat, sudah dapat dipastikan, akan berurusan kembali dengan Mas Jaka. Paling malas jika sudah berdebat dengan Mas Jaka, sebab itu akan membuatnya emosi sepanjang hari. Namun, seseorang yang telah membuatnya kesal justru biasa saja seakan tidak ada masalah atau sesuatu yang diperbuat olehnya. Menyebalkan bukan? Memang seperti itu manusia tak bermoral satu itu! *** Sesampainya di pelataran kampus, Iffa mempercepat langkah kakinya masuk ke dalam ruangan rapat, disitu sudah ada beberapa pengurus. Diantaranya ada Mas Dede dan Mas Jaka. Mas Dede menyambut Iffa dengan senyum manis, namun berbeda dengan Mas Jaka. Ia justru melihat jam tangan yang bertengger manis di lengannya, mungkin ia heran karena Iffa tepat waktu. "Tumben enggak telat," sindirnya tanpa kenal waktu. Emang otak dia ini gesrek sepertinya, hobi banget bikin masalah. Lihatkan? Begitulah kelakukannya, selalu cari masalah disetiap waktu, suka heran gue tuh sebenarnya manusia ini terbuat dari apa, sih! umpat Iffa dalam hati. Selalu saja dongkol kalau sudah bertemu dengan seniornya yang satu itu. "Masih pagi. Jangan ribut, nanti merusak mood." Mas Dede berusaha menengahi saat Iffa akan menimpal sindiran Mas Jaka. Iffa menghembuskan nafasnya kasar, menarik nafas dalam-dalam agar bisa menahan amarah yang sebentar lagi akan meledak. Benar juga kata Mas Dede, lebih baik Iffa diam karena jika berurusan dengan Mas Jaka sudah pasti akan merusak moodnya. Lelaki itu seperti tidak ada lelahnya untuk cari ribut dan membuat Iffa jengah. Namun entah mengapa, dia seperti bahagia sekali jika sudah membuat Iffa marah. Ia duduk manis disamping Mas Dede dan mengeluarkan ponselnya. Menghubungi Citra untuk segera datang, ia menjawab sebentar lagi sampai di kampus, syukurlah. "Mas, peserta sudah diingatkan untuk rapat dan pembekalan hari ini 'kan?" tanya Iffa setelah cukup lama ruangan ini hening, karena manusianya sibuk dengan kegiatan dan juga pikirannya masing-masing. "Aman. Semua sudah Mas urus, nanti tinggal Amih Iffa yang menjelaskan pada mereka," jawabnya terkekeh membuat Iffa ikut tersenyum. "Ups, tapi maaf Mas Dede. Ini adalah bagiannya Mas Jaka untuk menjelaskan. Karena kemarin, Iffa sudah menjelaskan pada kalian," ucap Iffa dengan senyum manisnya. "Oh iya kah? Perjanjian kalian seperti itu? Baiklah, maafkan aku yang tidak tau isi perjanjian kalian," jawab Mas Dede menatap Iffa dan Mas Jaka dengan penuh curiga. "Anjir ... biasa aja. Segala perjanjian, kami hanya membagi tugas saja. Dan tugas ini sudah berjalan sejak kami selalu disandingkan menjadi tim survey," jawab Mas Jaka memutar bola matanya malas dan jengkel karena drama Mas Dede. "Perjanjian apaan?" tanya Citra yang tiba-tiba masuk kedalam ruang rapat. Semua mata tertuju padanya. "Masuk ruangan itu, salam dulu kek," ucap Iffa dan Mas Jaka berbarengan. Mereka saling menatap satu sama lain dan Iffa membuang muka. Tanpa mereka sadari banyak orang yang menatap mereka berdua dan Mas Jaka mengulas senyum ketika melihat tingkah adik tingkatnya itu. "Cie barengan cie ngomongnya …, " goda Citra yang baru saja masuk ke dalam ruangan. "Udah deh ah, ayo semua pesertanya diminta untuk kumpul Mas, biar segera selesai." Iffa bersikap acuh sahabatnya yang sedang menggodanya itu, dan meminta untuk segera dirapatkan bersama calon peserta baru. *** Mereka semua menuju kelas kosong yang sudah diatur untuk rapat bersama calon peserta baru. Calon peserta masih ribut tanpa menyadari Kakak Tingkatnya itu satu persatu masuk ke dalam ruangan. Iffa yang sebelumnya sudah menjadi panitia pendaftaraan saat akan melaksanakan Ospek Fakultas, jadi tidak canggung lagi bertemu Calon Peserta yang sekarang berada di hadapannya. Mereka juga memanggil Iffa dengan sebutan Amih, karena mereka pikir Iffa ini sudah seperti ibunya. Sebab, segala sesuatu yang berkaitan dengan Ospek tidak dipersulit. Baik sekali bukan gadis mungil tersebut. Mas Dede membuka rapat dan menjelaskan satu persatu aturan main yang harus mereka pahami dan patuhi selama di Villa tersebut. Dan ada beberapa juga wejangan berupa kewaspadaan yang dilontarkan oleh Mas Dede. Beberapa peserta menanyakan sesuatu yang berhasil membuat Iffa memutar bola matanya malas, ucapan peserta kadang suka bikin muak. Ya mungkin memang mereka tidak percaya akan sesuatu yang berkaitan dengan astral. Mereka ini susah sekali di beritahunya. Ada juga yang berpendapat bahwasannya mana mungkin ada makhluk tak kasat mata di jaman yang semakin canggih ini. Belum saja manusia-manusia ini bertemu mereka sang makhluk tak kasat mata. Awas saja apabila nantinya mereka bertemu makhluk tak kasat mata terus pada ngibrit, penasaran siapa yang paling cepat lari, cerca Iffa dalam hati. Hampir saja ia marah, tapi seketika sadar. Berasa percuma marah sama manusia-manusia di hadapannya ini. Pembekalan sudah selesai, dan semua diperbolehkan bubar untuk kembali beraktivitas masing-masing. Semua peserta satu persatu meninggalkan kelas yang kembali kosong. *** "Iffa …, " panggil Citra pelan saat mereka masih berada di ruangan tersebut. Merasa dipanggil Iffa pun menengok, "Kenapa, Kak?" tanyanya tersenyum lembut. "Emang benar-benar angker disana?" tanyanya tanpa berkedip, ia sungguh penasaran rupanya. Tapi Iffa hanya diam dan sedang berpikir, harus menjawab apa. "Gue enggak tau, Kak," jawabnya simpel membuatnya tak puas dengan jawaban tersebut. "Seriusan ah!" ujarnya kesal. "Serius Kak ... Gue enggak tau, disana angker atau enggak. Tetapi yang jelas kita memang hidup berdampingan 'kan? Sama hewan, tumbuhan dan juga makhluk astral seperti mereka," jawab Iffa dengan nafas yang berat. "Jadi, kita sebagai makhluk Allah harus bisa saling menghargai. Kemana dan dimanapun tempatnya pasti ada penunggunya yang jauh lebih dulu tinggal disitu dari pada kita manusia," terang Iffa kembali. Menjelaskan dengan sabar kepada sahabatnya itu. "Dan, karena kita benar-benar gak tau kondisi disana seperti apa dan bagaimana, jadi jaga sikap adalah jalan tengah yang paling baik." Iffa mengakhiri obrolan mereka dengan tersenyum lembut. Sesungguhnya, dari dasar hati yang paling dalam, ia pun merasakan takut. Tapi bagaimana lagi, semua sudah terlanjur dan Mas Jaka bersiap untuk tanggung jawab jika nanti ada kejadian yang tidak diinginkan. Mencoba untuk terlihat biasa saja, agar mereka yang melihat yakin bahwa tempat itu aman. Namun disisi lain, membuat hati Iffa menangis jika terjadi sesuatu. Mereka masih sibuk dengan pikirannya masing-masing. Bluuussshhhhh!! Iffa terkejut seperti melihat ada sekelibatan bayangan yang lewat. Citra yang menyadari perubahan wajah Iffa langsung bertanya, "Kenapa hey? Ada apa?" Ia bertanya penuh dengan rasa penasaran karena ikut terkejut juga. "Eh anu, Kak. Hm enggak pa-pa." Iffa berusaha menetralkan perasaannya. Menganggap yang lewat tadi bukan apa-apa dan mengajak Citra untuk pulang. *** Iffa melangkahkan kakinya malas saat masuk ke dalam rumah. Ia hanya melihat sekilas adiknya yang sedang asik nonton tv sambil ngemil. "Woy salam dong kalau masuk!" tegur Rina yang melihat Tetehnya datang. "Assalamualaikum," jawab Iffa mendelik kesal pada adiknya itu. "Waalaikumsalam Ratu." Rina terkekeh menggoda Tetehnya itu. "Eh, lo napa sih, Teh?" tanya Rina menghentikan langkah Iffa. "Apalagi sih, Neng?" jawab Iffa semakin kesal. Harinya ini sangat buruk menurutnya. Di kampus berdebat dengan Mas Jaka, dirumah masih dibuat susah sama Rina. "Lo kenapa? Aneh banget balik dari kampus tampangnya asem," ujar Rina penasaran dan mendekati Tetehnya. Mengekor Tetehnya yang sudah melangkahkan kaki lagi ke kamar. "Enggak pa-pa. Gue cuma capek aja," jawab Iffa dengan cepat agar adiknya itu tidak banyak tanya lagi. "Lo pasti bete 'kan di kampus karena besok mau kemah? Dan banyak anggota lo yang pastinya suka nyeleneh!" Tebaknya tepat sasaran. Iffa menghembuskan nafas kasar. "Iya. Gue enggak tau deh ah, gimana nanti jadinya." Iffa pasrah. Ia mulai mengambil koper nya untuk berkemas. Rina masih asik dengan cemilannya. "Lo harus pinter jaga diri selama disana ya, Teh. Terserah mereka deh kalau emang gak bisa dikasih tau baik-baik, yang penting lo aman." "Mana mungkin aman, Neng. Dimana-mana kalau satu orang berbuat semua pasti kena!" "Gue cuma berharap, enggak ada diantara mereka yang bikin masalah nantinya. Karena akan ada imbasnya dan itu pasti. Gue bisa aja cari aman sendiri, tapi itu enggak mungkin, gue enggak bisa egois, Neng." Rina paham sekali dengan sikap tetehnya itu, walaupun dia memikirkan dirinya sendiri tetapi orang lain pun sudah pasti akan ia pikirkan. Ia tidak bisa egois walaupun sebenarnya bisa. Sekarang, yang dia pikirkan itu berangkat bareng, jika terjadi sesuatu bareng dan pulang pun bareng. Ia tau, Tetehnya itu lagi bete terlihat sekali dari raut wajahnya yang sejak tadi tertekuk macam baju kusut. Jika sudah seperti ini, Rina tidak akan banyak bertanya lagi, karena percuma ujung nya pasti ribut. Ia lebih memilih untuk diam dan terus memperhatikan gerak-gerik sang Teteh. Tetehnya itu sejak tadi mondar-mandir kebingungan menata semua keperluan yang akan ia bawa selama berkemah di villa tersebut. *** Hari ini adalah hari yang ditunggu. Udara pagi hari mulai masuk menyeruak ke dalam kamar melalui ventilasi jendela yang bernuansa pink putih itu. Sejak subuh pintu kamar Iffa sudah terus-menerus diketuk oleh sang Mamah. Namun penghuni kamar tersebut enggan untuk bangun dari tidur nyenyaknya, ia justru menarik kembali selimut hingga menutupi tubuhnya yang mungil. Hawa malas menyerang tubuhnya yang meminta hak untuk melanjutkan kembali tidurnya. Mencoba untuk tidur kembali, tapi rasanya susah, karena ia merasa punya tanggung jawab besar hari ini. Ia bangkit dari tidurnya, duduk diatas ranjang kebesarannya itu. Merentangkan kedua tangan nya dan berkata "Semangat dan harus semangat. Semoga semuanya nanti baik-baik saja dan gak ada masalah apa-apa," menyemangati diri sendiri lebih baik. Ia melangkahkan kakinya malas menuju kamar mandi, padahal sudah menyemangati diri sendiri, tapi tetap saja malas rasanya. Bergegas mandi dan segera turun untuk sarapan. "Selamat pagi semuanya," sapa Iffa pada keluarganya. "Semangat dong, masa mau kemah lemas," usil sekali memang mulutnya Rina ini, ucapan nya membuat Iffa melirik dengan tajam. Ia malah terkekeh. "Napa sih, Neng? Ketawanya seneng banget," ujar Adik Arul yang penasaran melihat tingkah kedua tetehnya itu. "Anak kecil, enggak usah ikut campur!" balas Iffa bersungut kesal. "Udah ributnya. Sekarang makan terus berangkat ke sekolah masing-masing." Papah menengahi sebelum terjadi peperangan kakak beradik itu. Mereka makan dalam diam. Satu persatu mulai meninggalkan rumah untuk beraktifitas. Saat Iffa hendak pergi dari rumah. "Teh, hati-hati ya," ujar Mamah tulus. Iffa menganggukkan kepalanya. "Kalau maghrib, usahakan di dalam ruangan ya, jangan diluar." Mamah mulai memberi peringatan saat hendak melangkahkan kaki keluar rumah. Iffa langsung menengok, "Memang kenapa Mamah?" tanyanya bingung. "Enggak pa-pa sayang. Kan memang kalau maghrib harus di dalam rumah atau ruangan hehe," jawabnya terkekeh membuat Iffa heran, tapi ia hanya menganggukan kepala saja. "Mamah aneh sekali dan mencurigakan!" "Selalu saja seperti itu sikapmu Teh kalau dikasih saran yang baik. Pokoknya hati-hati dan ikuti pesan yang Mamah sampaikan!" "Yaudah, Teteh pamit ya Mamah. Assalamualaikum," ucap Iffa, melangkah 'kan kakinya secara perlahan keluar rumah. Rasanya kedua kaki itu sangat berat untuk dilangkahkan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD