Trauma

1566 Words
** : unianhar Erangan kecil lolos dari bibir mungil Arum yang perlahan membuka matanya. Arum menghela napas panjang lalu mengucek matanya. Ada yang aneh, di rumahnya dulu tidak ada pria tapi kenapa sekarang ada pria yang wajahnya tak pernah Arum lihat sebelumnya? "Dia udah buka mata tapi kenapa nggak ngomong?" Tanya pria bermata sipit dan berambut pirang menatap sahabatnya yang ada disebelahnya "Apa mungkin dia punya kelainan." Jawab sahabatnya tak yakin "Maksudmu? Tidur tapi matanya kebuka?" Arum menarik selimut keatas menutupi kepalanya, apa dia mimpi? Kenapa ada 2 orang pria menatapnya terus? Arum kembali menutup matanya berharap ia tidak mendengar suara mereka lagi. Arum membuka kasar selimutnya hingga mengenai seluruh tubuh laki-laki yang duduk ditepi ranjang disebalah kirinya. Arum duduk menatap mereka satu persatu. Tidak, siapa mereka? Kenapa mereka ada kamarnya? Apa mereka penjahat? "Ja, jangan liatin kami kayak gitu! Kami bukan orang jahat!" Ujar salah satu dari mereka membuat Arum mulai ketakutan "Bodoh! Mana orang jahat ngaku kalau dia jahat?!" Ucap yang satunya setelah membuka selimut yang menutupi wajah bulenya "Ka, kalian siapa?" "Ka," HUAAAAAAAAAA Arum menangis histeris memukuli kedua orang didepannya menggunakan bantal. Mereka jahat, mereka pasti ingin menyakitinya. Arum tidak mau sakit lagi, Arum tidak mau itu terjadi lagi, Arum harus menyelamatkan diri. "Dek cantik tenanglah! Kam," "JANGAN!" Teriak Arum meringkuk kekepala ranjang Hiks. . . "AKU NGGAK SALAH! JANGAN SAKITI AKU!" Teriaknya histeris Tidak lama kemudian Elang dan Kanaya masuk dengan wajah panik melihat keadaan Arum yang berantakan. Rambutnya acak-acakan, matanya sembab mengeluarkan air mata, hidungnya memerah dan bibirnya terus mengucapkan kata pergi. Arum meminta kedua pria disana pergi, Arum semakin ketakutan saat keduanya berusaha menenangkannya. "Arum?" Panggil Elang mendekati Arum yang masih meringkuk ketakutan "PERGI!!!" Kedua kaki Elang bak dilem seketika. Kakinya tak bisa bergerak, bahkan untuk bergerakpun ia tak bisa. Ia hanya mampu melihat Arum menangis memeluk kedua lututnya. "Hey, Anak mama?" Kanaya mendekati Arum yang menunduk tak ingin melihat siapapun disana "Ini mama, Arum. Lihat mama!. Mama ada didepan Arum." Kanaya duduk ditepi ranjang lalu menyentuh bahu Arum yang bergetar. Arum mendongak melihat Kanaya yang tersenyum tulus padanya "Mama?" Kanaya mengangguk kemudian memeluk Arum. Kanaya mengusap punggung Arum dan mengucapkan kata-kata jika Arum akan aman di rumah ini. Tidak akan ada yang mengganggu Arum apalagi menyakitinya. Kanaya melepaskan pelukannya untuk menghapus air mata Arum yang membasahi wajah cantiknya. "Syukurlah dia udah tenang!" Ucap pria yang tadi bermata sipit "Aku kira dia histeris karena kaget liat wajah jelekmu, Cel!" Ucap yang satu lagi Mendengar suara mereka membuat Arum melirik kemudian kembali menunduk didepan Kanaya. Arum mendongak merasakan kepalanya diusap oleh Kanaya. "Mereka berdua sahabat kakakmu" Kanaya melirik keduanya "Mereka bukan orang jahat seperti Arum pikirkan,mereka orang baik." Arum memberanikan diri melihat keduanya. Senyuman dan lambaian tangan dari mereka tak direspon oleh Arum Salah satu dari mereka menarik turun tangan sahabatnya agar tidak melambai lagi. "Sok kenal kamu!" Tegurnya "Arum nggak perlu takut sama mereka, ya! Arum bisa kan?" Kanaya tau kehidupan Arum sebelumnya jadi dia tidak kaget lagi. Pertama kali melihat Arum, Kanaya sudah menyukainya, bahkan Kanaya ingin langsung mengambilnya 4 tahun yang lalu seandainya waktu itu memungkinkan. Mungkin saat ini Arum tidak akan memiliki trauma sehebat ini jika Kanaya bisa mengangkatnya dulu sebagai anak. Arum kembali melirik keduanya yang masih berdiri memperhatikannya. "Mereka nggak jahat, kan? Mereka nggak akan melukaiku, kan?" Tanya Arum dengan gelisah, bagaimana jika mereka cuma pura-pura baik? "Kami nggak jahat kok, adek cantik! Malahan kalau ada yang jahatin adik cantik kami yang akan menghajarnya." Ucap pria berwajah bule sambil menyenggol lengan temannya "Betul betul betul!" "Itu produk negara sebelah, nggak usah pake itu!" Tegurnya tidak suka jika sahabatnya meniru tetangga sebelah "Lah napa? Mulut-mulut akoh kok, lagian itu cuma bahasa si dedek kembar! Mereka nggak akan protes!" "Tetap aja, itu namanya kamu niru mereka!" "Niru nggak apapa daripada plagiatin milik orang? Pilih mana?!" "Ya nggak dua-duanya!" "Sok lurus kamu!" "Emang aku kamu yang bengkok?" "Kam," "Kalian bisa diam?!" Keduanya terdiam mendengar suara yang membuatnya merinding. Suara berat, dingin, dan serak seperti itu sangat mereka tau. Tanpa menoleh padanya mereka tau jika pemilik suara itu sedang marah. Hahahahaha Mereka terpaku melihat gelak tawa Arum yang memegang perutnya. Arum menunjuk keduanya jika mereka sangat lucu. Kanaya ikut tersenyum melihat dan mendengar tawa Arum. Ya seperti itu, tertawalah! Dengan tawamu semuanya akan membaik dan dengan tawamu luka yang selama ini kamu tanggung akan hilang dengan sendirinya, Arum. Keduanya mendekati Arum dan memperkenalkan diri. Melihat tingkah mereka, Arum yakin mereka tidak akan melukainya. Ya, Arum harap demikian. "Panggil aja abang Marcel!" Ujar Marcel mengulurkan tangannya kedepan "Preeet! Abang tukang bakso sih iya" Marcel cuma mendengus tak ingin membalas ucapan sahabat bule kesasarnya itu "Minggir!" Tubuh Marcel tertarik kebelakang hingga sahabat bulenya maju kedepan mengulurkan tangan pada Arum "Panggil aja A'a Ben!" Ucapnya sembari tersenyum lebar "A'a Gim kali ah!" "Tanda-tanda penghuni neraka adalah orang yang suka sirik pada sesamanya" ucap Ben duduk setelah Kanaya berdiri dari sana "Bule ngomongin neraka rasanya kok aneh" guman Marcel "Lagian siapa yang sama siapa?! Kita itu beda tau! Aku pribumi kamu nonpribumi jadi,' "Ngomong sekali lagi aku lempar pake ini!" Ancam Ben mengangkat lampu hias yang ada dinakas. Arum kembali tertawa melihat keduanya, kenapa mereka lucu sekali? "Ma, aku mau ngomong." Kanaya berhenti saat akan melewati Elang yang sejak tadi memperhatikan Arum pada posisinya. Kanaya mengangguk, ia tau apa yang akan putranya itu bicarakan. Arum adalah bagian dari mereka jadi wajar jika Elang harus tau tentangnya. "Ikut mama!" * * * Elang meremas kedua tangannya mendengar akhir cerita mamanya. Napasnya menderuh, tubuhnya terasa panas dan wajahnya memerah menahan amarah yang berkobar didalam sana. Elang tidak bisa membayangkan hidup Arum selama ini. Kehidupan yang tak seorangpun inginkan dan kehidupan yang tak ingin Arum terima tapi apa daya manusia jika takdir sudah memutuskan. Begitupun Arum yang hanya mampu menahan betapa sakitnya hidup sebagai Arum Anggana. Tanpa bicara apapun Elang langsung keluar dari ruangan kerja mamanya. Begitu sakit melihat sikap Arum seperti tadi dan lebih sakit saat pikirannya berkelana dan membayangkan Arum dalam ketakutan selama ini. Elang mengepalkan tangannya sambil berjalan dimana orang yang ingin temui. "Jadi A'a orang Prancis?" Arum tersenyum melihat kode yang diberikan Marcel padanya. Mengerjai Ben membuat suasana hatinya berubah lebih baik "Isshhhh dedek cantik kok jadi nyebelin? A'a kan udah bilang kalau A'a ini orang Indonesia! Bokap A'a aja yang orang Prancis." "Uhhh dasar bule nyasar, itu sama aja! Intinya itu kamu punya darah Prancis" kesal Marcel dengan kekukuhan Ben tak terima dirinya dikatai orang luar yang menumpang hidup di Indonesia "Kayak kamu nggak aja! Kamu lupa kalau mama kamu itu orang Jepang?!" Sungut Ben mengingatkan asal-asul Marcel. Marcel selalu mengatainya bule nyasar padahal dirinya juga bule asia "Yang jelas mamaku udah jadi WNI nggak kayak kamu!" Keduanya masih saja berdebat. Pembicaraan mereka sederhana tapi entah kenapa rasanya Arum selalu ingin tertawa melihat keduanya. Hahahahhaha "DEDEK KENAPA KETEWA?!" Tanya mereka serempak, Arum perperanjat kaget "Apa yang kalian lakukan?" Mereka bertiga menoleh kearah Elang entah sejak kapan ia berdiri didekat mereka "Kalian ngebentak adikku?" "Bu, bukan! Kami c*m," "Mereka buat aku kaget, kak!" Adu Arum mendongak menatap Elang yang juga menatap kedua sahabatnya nyalang. Marcel dan Ben memberikan ruang untuk Elang didekat Arum "Pasti kanget banget ya, dek?" Tanya Elang lembut, Arum mengangguk melirik keduanya. "Iya!" Elang langsung melirik keduanya dengan smirk aneh, Marcel dan Ben mundur. Entah kenapa mereka tiba-tiba mendengar suara burung yang berkicau keras? "Dasar kampret!" Ujar Elang tanpa ekpresi "Kalian datang seenaknya mengganggu tidurku, kalian juga mengganggu tidur Arumku, dan sekarang kamu membentaknya?!" "Kami nggak bentak!" Bantah Ben "Makanya jangan pamerin kalau nggak mau kami datang liat adik barumu!" Semalam Elang memberitahu mereka digrup chat jika hari ini Elang senang karena ia memiliki adik angkat yang sangat menggemaskan. Karena penasaran, Marcel mengajak Ben datang pagi-pagi ke rumah Elang sekalian jalan-jalan pagi dihari minggu. Setelah sampai di rumah Abraham, Marcel dan Ben langsung kekamar Elang meminta ia menperkenalkan adiknya. Elang menolak dan meminta mereka pergi, tak ingin menyerah keduanya berinisiatif mencari tau sendiri. Iseng membuka pintu di kamar sebelah kamar Elang, ternyata seorang gadis tidur pulas diatas ranjang Queen sizenya. Penasaran ingin melihat wajahnya membuat keduanya mendekat. Ternyata benar kata Elang, adiknya benar-benar menggemaskan, imut dan cantik. Baru saja mereka ingin pergi, adiknya Elang tiba-tiba bangun dan mereka mengurungkan niatnya pergi darisana. "Kamu nyalahin aku?" Tanya Elang tak percaya. Elang memang tidak ingin memperlihatkan Arumnya pada kedua sahabatnya itu "Kagak!" Bantah Ben "Cuma dikit" lanjutnya "Itu sama aja, Ben!" "Kalian benar-benar ingin mati rupa!" Desis Elang mengambil bantal dan melemparnya pada kedua sahabatnya yang berhasil menghindar. Elang berdiri menerkam mereka, dan setelah itu keduanya berbalik menyerang Elang tanpa ampun. Selama ini mereka berdua selalu tertindas dan hari ini mereka akan membalaskan dendamnya selama 18 tahun hidup didunia. Mereka berhenti melihat Arum tertawa. Mereka ikut tersenyum. Tertawalah, Arum! Mulai hari ini hanya akan ada tawa yang akan menyertai hari-harimu dan hanya akan ada kebahagian yang akan menghapus lukamu, aku kakakmu akan selalu membuatmu tertawa hingga lupa bagaimana caranya menangis, batin Elang "Dia trauma. Trauma hingga menyiksa psikisnya seperti sekarang. Sebagai kakak barunya, kamu punya tugas menghilangkan trauma itu!" Ujar Ben masih menatap gadis kecil yang juga akan jadi adiknya "Kami bakal bantu, Lang!" Tambah Marcel "Thanks" ucap Elang, meskipun mereka gila setidaknya mereka adalah sahabat yang selalu ada disampingnya "Ya, berani bayar berapa?" Lirik Marcel pada Elang dan Ben yang siap membunuhnya "Dedek gemas mau jalan sama abang?!" Marcel berjalan mendekati Arum yang merapikan rambutnya "AWAS AJA KALAU BERANI?!" Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD