Pernikahan Tanpa Cinta

1671 Words
"Selamat datang di kehidupan baru penuh bahaya bersamaku, Cate," bisik pimpinan mafia Klan Moreno tersebut. Satu kecupan singkat berhasil mendarat lembut pada birai plum Caterina. Pelakunya kini menarik diri dengan cepat bersama pendaran senyuman samar yang baru beberapa detik terakhir ini mengukir di birai tipisnya. Tepuk tangan pun memendar nyaring di depan mereka. Menandakan serangkaian upacara pernikahan antara Tristan Selvagio dan Caterina Valerio telah selesai dilangsungkan dengan khidmat. "Tristan, aku pusing sekali. Berapa lama lagi kita harus berpura-pura tersenyum di atas stage ini?" bisik Caterina saat Tristan melingkarkan tangan kekarnya itu pada pinggang ramping perempuan yang sudah sah menjadi istrinya. "Kamu mau ke kamar sekarang?" balas Tristan dengan suara samar di tengah suara riuh ratusan tamu undangan yang mulai bergerak naik ke atas stage untuk memberi ucapan selamat. "Huh? Ke ka-kamar? Untuk apa?" Caterina mendelik terkejut mendengar perkataan suaminya. "Mau tidur. Untuk apa lagi? Kamu pikir aku tidak pusing melihat tamu undangan yang nyatanya kebanyakan kolega Gustav itu? Bahkan anggota klan-ku tidak semuanya aku undang. Lihatlah, hanya ada tiga. Vitto, Paballo dan Gericho," jelas Tristan lagi yang membuat Caterina memutar bola matanya cepat. "Kamu hanya mengundang Gericho saja, Tristan. Jangan pura-pura lupa," sergah Caterina kesal. "Itu karena aku tidak tahu Vitto masih hidup dan Paballo tidak benar-benar mengkhianati Moreno. Ah sudahlah, aku mau istirahat saja sekarang. Biar saja tamu-tamu itu memberi ucapan selamat kepada Gustav dan madre-ku. Saat mereka menikah dulu tidak ada pesta meriah seperti ini. Maka hari ini aku dengan senang hati memberikan stage ini kepada mereka." Tristan menarik satu sudut birainya. "Astaga. Kamu berdosa sekali, Tristan. Aku ti—" "Cepatlah, Cate. Aku sudah tidak tahan," potong Tristan cepat yang langsung berbalik dan menarik tangan istrinya. Membawa perempuan cantik itu ke belakang stage yang terhubung dengan kediaman mewah Gustav di belakangnya. Gustav yang melihat Tristan menghilang dari atas stage di saat para tamu sudah mulai berjalan ke sana, kini berdecak. Mendadak geram. Ia pun menyenggol lengan Amadhea, ibu kandung Tristan. Gustav lantas bersuara pelan, "Lihatlah putramu itu, Amadhea. Kenapa dia suka sekali memancing amarahku? Apa dia tidak tahu seberapa menggilanya aku saat kelimpungan mencarinya beberapa hari ini dan dia dengan tanpa rasa bersalah muncul di hari pernikahannya dengan tuxedo putih itu? Astaga. Kenapa dia itu tidak mirip denganmu, Amadhea? Kamu selalu mendengarkanku. Sedangkan putramu?" Gustav menggelengkan kepala seraya memijat pangkal hidungnya yang berdenyut nyeri seketika. "Tristan tidak pernah suka diatur, Gustav. Jangan terus mengintimidasinya dengan aturan-aturan Palazzo. Dia tidak akan mendengarkanmu sampai kapan pun itu. Aku kenal baik putraku," seru Amadhea yang diam-diam menahan senyumannya. "Aku benci mendengar ini. Seharusnya dia juga menganggapku padre-nya setelah aku menikahimu. Kenapa malah dia jadi pembangkang seperti ini? Astaga, aku butuh kopi buatan Henry sekarang. Kepalaku mau pecah rasanya." Kali ini pimpinan mafia Klan Palazzo itu menghela napas kasar sebelum akhirnya mendaratkan kembali torso bongsor nan jangkungnya di atas sofa yang berada tepat di depan stage itu. "Gustav! Cepat gantikan Tristan dan putriku di stage. Jangan membuat kolega dan relasi klan kita menghujatmu." Henry tiba-tiba datang menghampirinya dengan tatapan datar. "Kenapa harus aku?!" Gustav memicing tidak suka. "Apa kau mau aku dan Amadhea yang menyambut tamu di stage?" seru Henry dingin. "Kau …" Gustav mengeraskan rahang seketika. Ia memicing tajam ke arah tangan kanannya itu. "Ini semua karena putramu, Amadhea!" Gustav memejamkan netra menahan amarahnya. "Apa aku ke stage dengan Henry saja?" tanya Amadhea santai. "Apa kau masih ingin hidup, Henry?!" Gustav melempar tatapan tajamnya. "Aku dari tadi diam. Kenapa kau malah marah kepadaku?" Henry menggelengkan kepalanya. "Sudahlah, aku tidak peduli dengan kalian berdua." Amadhea langsung menerobos Henry yang masih setia berdiri dan langsung bergerak naik ke atas stage. "Astaga. Kenapa wanita sangat susah dipahami?" Gustav pun bangkit dengan tergesa dari sofa. Mengejar istrinya yang sudah mencapai anak tangga stage. "Sayang, tunggu!" *** Tristan menutup rapat pintu kamarnya. Jari-jari panjangnya itu bergerak cepat memutar kunci pada pintu lalu berbalik menatap sang istri yang terduduk manis di tepi tempat tidur king size tersebut. Dengan tatapan datar, Tristan melepas tuxedo dan rompi dalamannya hingga bersisakan kemeja putih saja sekarang. Tidak cukup sampai di situ untuk membuat wajah Caterina memerah saat memaku diam tanpa mengalihkan pandangan darinya. Tristan malah membuka satu per satu kancing kemejanya dan naik ke atas tempat tidur dengan santai. "Apa kamu tidak membuka gaunmu juga?" tanya Tristan yang sudah membaringkan tubuhnya di sana. "Huh? Bu-buka? Un-untuk apa?" Caterina langsung terbata dengan pikiran sudah menjelajah ke mana-mana. "Apa kamu mau tidur dengan gaun selebar itu sampai pagi nanti? Aku tidak bisa tidur di tempat sempit, Cate," sahut Tristan cepat. "O-okay … aku ganti gaunnya sekarang. Di-di mana koper bajuku?" Caterina masih terbata. Sulit untuknya percaya jika malam ini Tristan Selvagio sudah sah menjadi suaminya. Seakan ini semua hanya mimpi. "Di dalam walk in closet. Apa kamu bisa menggantinya sendiri. Perlu bantuan?" tawar Tristan yang kini bergerak berlahan untuk bersandar pada headboard bed-nya. "Kamu mau membantu atau mau menggodaku?" tanya Caterina setelah mencoba menormalkan ritme debarannya yang semakin kacau. "Mau kamu bagaimana?" balas Tristan telak setelah melihat sang istri menegakkan torso semampai itu tanpa menatapnya sedikitpun. "To-tolong buka ritsleting-nya," pinta Caterina pelan. "Huh? Kamu bilang apa, Cate?" Tristan mengernyit tidak paham. "Aku kesusahan membuka ritsleting-nya, Tristan! Tanganku tidak bisa menjangkaunya." Caterina memencak kesal. "Hei, aku hanya bertanya. Jangan emosi begitu." Tristan langsung bangkit dan membantu Caterina membuka ziper belakang gaun pengantin indah yang menurut Tristan sangat seksi dikenakan pengantin wanitanya malam itu. Tristan sampai kesusahan mengontrol dirinya. Takut bertindak di luar batas di malam pengantin mereka. Nyatanya, ia sudah berjanji tidak akan menyentuh Caterina jika belum hadirnya cinta di antara keduanya. "Su-sudah …" Sekarang gantian Tristan yang terbata menatap punggung putih pualam istrinya. Ia sampai kesusahan menelan saliva dan tanpa diperintah malah menggerakkan jarinya bermain-main di sana. Tristan mulai menggila. Ia semakin tidak terkontrol saat menurunkan gaun putih bertabur swarovski itu dan berakhir dengan pundak Caterina yang terekspos sempurna. Caterina sudah menegang di tempat. Ia tidak mampu bergerak sedikitpun. Mematung dengan netra terpejam ketika Tristan sudah mengecup lembut pundaknya. Ia pun meremas gaun yang kini menggantung resah di tubuhnya. Tristan mulai kehilangan akal saat membalikkan tubuh sang istri sampai menghadap sempurna ke arahnya. "Can-cantik. Kamu sangat cantik," puji Tristan. Caterina mengerjap cepat sekarang. Merasa kian mabuk saat Tristan melepas sanggul rambutnya dan menyisir lembut dengan jari-jari panjang kekar miliknya itu. "Semakin cantik," celetuk Tristan lagi yang seakan tidak ada habisnya mengagumi setiap inci keindahan pahatan mahakarya Tuhan di depannya sekarang. "Segeralah berganti pakaian sebelum aku semakin kehilangan kontrol, Cate," ujar Tristan tiba-tiba. Ia langsung membuang pandangan. "Tristan …?" Caterina menguar tatapan yang tidak terbaca kepada suaminya. Mendadak patah hati di malam pertamanya. Tristan melirik Caterina dengan rasa bersalah. Padahal ia sendiri yang memulai, namun ia juga yang meredam semua hasratnya. Tristan menarik tangan Caterina hingga istrinya itu kembali terduduk di tepi tempat tidur seperti sebelumnya. Ia menguar tatapan dalam. "Jika aku melakukannya sekarang, maka itu karena nafsu, bukan atas nama cinta. Aku hanya akan menyakitimu nantinya, dan aku tidak mau melakukan itu pada istriku. Aku ingin melakukannya saat aku merasakan debaran itu. Maaf, Cate." Tristan langsung melengos dan menarik selimut. Ia berbalik untuk mengistirahatkan tubuh lelahnya. Membelakangi Caterina yang kini tersenyum dalam diam. "Aku senang kamu sudah mau jujur, Tristan. Aku senang kamu masih memikirkan perasaanku daripada menuruti nafsumu. Terima kasih. Padre tidak salah memilihkan suami untukku. Kamu benar-benar Donathan-ku," batin Caterina. *** Caterina kini kelabakan. Ia mondar-mandir di dalam ruang walk in closet dengan gaun pengantin yang masih menggantung pada tubuhnya. "Siapa yang menukar isi koperku? Padre? Atau … tidak mungkin kan madre Amadhea?" monolognya gelisah. Ia pun kembali membongkar isi kopernya. Mulai berharap ada magis yang terjadi dan mengubah kembali seluruh isi kopernya seperti semula. "Apa-apaan gaun tipis terawang ini? Astaga. Mana mungkin aku memakainya malam ini? Ke mana perginya semua dresku?" gerutu istri sang dosen mafia itu lagi. Semua isi kopernya sekarang mendadak berubah menjadi lingerie seksi. Caterina sampai kebingungan. Jelas-jelas itu adalah kopernya, namun isinya berbeda. "Ayo, Cate. Berpikir cepat." Caterina memijat kepalanya yang terus berdenyut. Benar-benar pusing. "Okay-okay, calm down. Kamu bisa memakai salah satu lingerie-nya, kemudian … ya, kamu akan memakai sweater milik Tristan sebagai lapisan luarnya. Okay, aman." Caterina tersenyum senang dengan ide anehnya sendiri. Ia pun buru-buru berganti pakaian. Beberapa menit berlalu dan Caterina sudah selesai mengganti semuanya. Ia menatap tampilannya di cermin panjang seukuran tubuhnya yang menggantung nyaman di dinding ruangan wardrobe tersebut. Perempuan itu pun meringis. "Tidakkah aku terlihat seperti orang gila dengan penampilan begini?" ucapnya frustrasi. "Cate …! Apa kamu sudah selesai di dalam sana?! Aku juga mau berganti pakaian!" teriak Tristan dari luar. Caterina seketika melebarkan netra. "Oh, God." Ia berdehem lanjut bersuara, "Okay, sebentar." Dengan ragu, Caterina menggerakkan tungkainya perlahan keluar dari ruangan tersebut. Kini ia mematung saat menatap sosok tampan yang juga memaku di hadapannya. "Cate?" Tristan tidak mampu berkedip. "Iya?" Caterina berusaha bersikap senormal mungkin. "Ka-kamu … kamu memakai sweater kesayangan Luca." "Bu-bukan punyamu?" Caterina jadi bingung sendiri. "Bukan. Cepat buka sweaternya. Aku tidak suka melihatmu memakai sweater adik tiriku itu. Buka sekarang di depanku dan aku akan melempar sweater-nya keluar kamar. Kenapa madre bisa salah memasukkan pakaian ke kamarku? Dan kenapa harus pakaian Luca?" Tristan mendadak kelimpungan dan mengusap wajahnya kasar. "Madre tentunya tidak sengaja, Tristan. Mungkin saja terselip saat housemaid membawanya ke sini," ujar Caterina cepat berusaha menenangkan suaminya. "Tidak, Cate. Aku tidak pernah mengizinkan housemaid masuk ke kamarku. Dan tidak ada seorang pun yang aku izinkan selain madre. Mungkin benar. Madre tidak memeriksa ulang setelah housemaid menyetrikanya dan langsung membawanya ke sini." Tristan menarik napas dalam berusaha mengontrol diri. Ia akan selalu emosi jika sudah berhubungan dengan Gustav dan Luca. "Kenapa masih diam? Kamu terlalu lama, Cate. Biar aku saja yang melepas sweaternya. Merusak mood-ku saja melihatnya." Tristan seketika maju mendekat ke arah istrinya, berusaha melepas sweater kebesaran yang membalut torso semampai perempuan cantik di depannya itu. Namun, melihat Caterina meremas kuat sweater itu ia langsung memicing tidak suka. "Biar aku buka, Cate. Aku tidak mau mengulang perkataanku," pinta Tristan dengan raut wajah seriusnya. "Ja-jangan, Tristan. Kumohon jangan." Caterina sudah menegang di tempatnya. "Kenapa? Kenapa kamu menolak?" To be continued ….
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD