Bukan Sebuah Akhir

1253 Words
“TRISTAN! Aku beri kesempatan sekali lagi! Jika kau masih tidak melepaskan Paballo, maka ucapkan selamat tinggal pada calon istrimu ini!” Teriakan dari laki-laki bertopi hitam yang tengah menyandera Caterina itu tetap membuat Tristan bergeming pada posisinya. Hanya beberapa sekon. Karena setelah itu, ia yang sebelumnya mencengkeram kerah jaket kulit hitam Paballo—anak buahnya yang berkhianat tersebut, kini mundur satu langkah dengan tangan beralih mengunci leher lelaki bertubuh gempal itu dari belakang. Ia pun menyeringai samar. Memajukan wajahnya mendekat pada kepala lelaki dengan torso yang tidak lebih tinggi darinya itu, Tristan menggerakkan bibirnya dalam kalimat yang menguar samar, berbisik kecil pada rungu Paballo, sehingga membuat lelaki itu bergetar dengan peluh yang memencar di kening tan-nya. Terlihat ketakutan. “Kau ternyata mengujiku, Tristan! Kau pikir aku tidak akan berani menembakkan revolver-ku ini hingga menembus otak cerdas mahasiswimu?! Okay! Aku hitung mundur dari sekarang seperti yang kau mau. Sepuluh!” Tristan mulai mengeraskan rahang dan semakin mengeratkan tangannya yang melingkar pada leher Paballo. Tidak berniat melepaskan. “Sembilan!” Suara laki-laki misterius itu kembali memendar bersama keringat Caterina yang mengucur deras hingga mengalir ke bawah pelipisnya. “Delapan!” Demi apa pun Caterina terus merutuk calon suaminya itu di dalam hatinya. Berpikir bahwa Tristan tidak menyayangi nyawanya. Apa ia memang tidak dianggap sebegitunya oleh dosen yang dalam hitungan hari nanti akan berubah status menjadi suaminya? “Tujuh!” Tristan menarik satu sudut birai dengan tatapan elang tertuju pada gadis cantik yang kini menajamkan netra ke arahnya. “Enam!” “Kurang ajar, Tristan. Dia sedang bermain-main dengan nyawaku,” batin Caterina yang bergeming pun memaku dengan keringat dingin karena tubuhnya dikunci oleh laki-laki misterius bertopi hitam tersebut. “Laki-laki itu tahu terlalu banyak tentangku dan juga Cate. Dia bukan musuh yang bisa diremehkan. Aku mau lihat, sampai di mana puncak permainannya dan aku akan dengan senang hati ikut bermain dengannya.” Tristan ikut membatin sembari mengulas senyuman miring andalannya sekarang. Ia sudah memikirkan rencana gila untuk bisa meninggalkan Giardini Naxos secepatnya. “Lima ....” “Empat ....” “Tiga ....“ Netra Caterina sudah mulai berkaca-kaca. Membayangkan amunisi revolver hitam itu akan menghancurkan kepalanya. Pundaknya kini bergetar dalam ketakutan. “Dua ....” Lelaki bernama Jevano itu menguar smirk ke arah Tristan. Merasa sudah diambang kemenangan. “Satu! Kau akan menyesal karena menyia-nyiakan kesempatan yang aku berikan tadi, Tristan. Kasihan sekali, Cantik. Tristan tidak pernah mencintaimu,” tekan laki-laki bertubuh atletis dengan manik hitam yang sudah melirik Caterina tajam. Dengan gerakan tangan cepat ia menarik pelatuk revolver miliknya tersebut. Namun, lelaki bernama Jevano itu menghentikan aksinya begitu mendengar pendaran suara bariton Tristan yang menarik atensinya. “Ya, kau benar. Aku tidak mencintai tunanganku itu. lenyapkan saja dia! Percuma juga jika dia hidup bersama bos mafia yang tidak bisa memberikan cinta untuknya. Lenyapkan gadis itu seperti yang kau mau. Aku sudah tidak peduli!” balas Tristan dengan suara yang sudah naik satu oktaf. Kalimat yang memendar dalam kekehan sarkas dari Tristan sontak membuat Caterina mendelik kaget. Tidak percaya dengan apa yang ia dengar. “Benar-benar sialan pimpinan klan Moreno itu. laki-laki macam apa yang padre pilihkan untukku. Astaga, tidak bisa kupercaya. Tristan ... aku menyesal sudah menaruh kepercayaan besar padamu. Kali ini, aku akan berjuang sendirian. Aku juga tidak peduli lagi denganmu. Kurang ajar!” rutuk Caterina di dalam hatinya. Tatapan gadis dalam balutan dress coklat nude itu begitu nyalang ia tujukan kepada tunangannya yang dianggap sebagai pengkhianat saat itu. Caterina yang tengah dipenuhi emosi memuncak sudah mengeraskan rahang dan mengepalkan tangan ringkihnya di bawah sana. Ia sudah tidak tahan untuk meledakkan amarahnya segera. Menghela napas berat, Caterina pun melirik kecil ke arah lelaki yang tengah menyanderanya tersebut, dengan tangan terkepal Caterina menyikut lelaki itu dengan segenap kekuatan yang ia punya, tepat di pusat otot abdominis hingga lelaki itu limbung ke belakang. Kesakitan seraya memegang perutnya dengan sebelah tangan yang masih menggenggam revolver. Tidak cukup sampai di sana, karena Caterina sekarang menendang dengan kekuatan penuh pada pusat tubuh bagian bawah Jevano sampai lelaki itu mengerang dan terjatuh ke atas pasir. Setelah melakukan semua itu, Caterina malah mematung. Tidak tahu lagi apa yang akan ia lakukan. Berlari ke apartemen meningalkan Tristan? Atau pergi sejauh mungkin meninggalkan tempat tersebut di mana sang tunangan tidak bisa menemukannya? “Gadis kurang ajar! Berani sekali kau menyerangku!” Jevano mencoba untuk bangkit dengan tangan yang tidak terlepas dari miliknya yang terasa sangat sakit akibat tendangan yang diterima dari tunangan musuh bosnya itu. Namun, saat ia mengarahkan revolver-nya ke arah Caterina sekali lagi, sebuah amunisi revolver berkaliber 22 yang lebih mematikan telah dilontarkan ke arahnya terlebih dahulu. Tepat mengenai lengan kanannya hingga revolver yang ia pegang terjatuh. Pelakunya langsung menyeringai sekarang. Itu Tristan Selvagio . “AMBIL REVOLVER-NYA, CATE!” teriak Tristan tidak sabar. “UNTUK APA AKU MENDENGARKANMU, PENGKHIANAT?!” balas Caterina cepat seraya memicing tajam. “AMBIL ITU!” bentak Tristan dengan suara baritonnya yang menggelegar. Sukses membuat Caterina menelan salivanya cepat dan segera menunduk untuk meraih revolver hitam yang tergeletak pasrah di ujung kakinya. Jevano sudah berhasil bangkit di saat Caterina sudah menggenggam benda mematikan itu dengan tangannya yang bergetar. Saat sikunya hendak menubruk kuat kepala Caterina, tanpa ia duga sesuatu berukuran besar menimpuknya. Ia pun kembali terjatuh ke atas hamparan pasir putih di belakangnya. Itu Paballo, sosok yang baru saja didorong Tristan sekuat tenaga untuk merobohkannya. “Ayo cepat lari ke apartemen, Cate!” perintah Tristan yang sudah menarik kuat pergelangan Caterina. “Tidak!” Caterina menepis kuat tangan Tristan dengan kemarahan yang terukir jelas pada wajahnya. “Aku tidak mau. Aku tidak akan ikut de—“ “TRISTAN, APA YANG KAU LAKUKAN?! LEPASKAN AKU!” Caterina kembali berteriak saat sesuatu yang tidak terduga membuatnya ingin melenyapkan Tristan sekarang juga. “Diam dan nikmati perjalananmu. Dan jangan jatuhkan revolver-nya.” Tahu-tahu Tristan sudah mengangkat Caterina. Membopong di atas pundak kirinya sembari berlari masuk ke apartemen. Ia curiga ada sesuatu yang terjadi pada Vitto di dalam sana. Tidak biasanya lelaki dengan loyalitas tinggi itu bergerak lamban seperti sekarang. *** “Vitto! VITTO!” Menurunkan Caterina dengan cepat setelah ia tiba di lantai tujuh, tepat setelah keluar dari elevator, Tristan kembali berteriak mencari keberadaan sahabat sekaligus anak buahnya itu. Suasana di lantai tujuh itu begitu sunyi. Tidak ada suara apa pun. Terlalu tenang hingga Tristan bergerak semakin perlahan seraya memberi kode kepada Caterina agar tidak bersuara sedikitpun. Caterina pun mendadak menjadi penurut dengan mengikuti Tristan yang sudah mengendap-endap. Bersiaga satu. Revolver milik musuh yang berada dalam genggaman tangan kanannya itu ikut menjadi saksi, bagaimana denyutan nadi miliknya itu seketika kacau seperti ritme debaran jantungnya yang terus memacu tak terkontrol. Tristan kembali memerintahkan Caterina untuk bersembunyi di belakang punggungnya, sedangkan ia memimpin di depan saat gagang pintu kamar Vitto ia tarik perlahan dan mendorongnya dengan gerakan senada. Awalnya tidak ada yang mencurigakan saat Tristan mengedarkan tatapan elangnya ke seluruh penjuru kamar Vitto. Namun, saat netranya menunduk untuk memeriksa lantai, Tristan dikejutkan oleh bercak garis kemerahan yang mengukir di sepanjang lantai marmer putih itu dan berakhir di depan pintu kamar mandi. Tristan menarik Caterina dan berjalan tergesa-gesa mengikuti jejak merah yang ia yakini adalah darah. Tristan berdebar, ia sudah membayangkan yang tidak-tidak tentang Vitto. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia merasa takut. Begitu takut kehilangan sosok sahabat yang sudah ia anggap seperti saudara kandungnya sendiri. Pintu kamar mandi itu ia buka terburu-buru dan seketika terperanjat mendapati sosok Vitto yang sudah terikat tangan dan kakinya pun ditambah mulut terlakban, tengah berada dalam bathtub penuh air. Benar-benar dibuat tenggelam. To be continued ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD