Selamat Tinggal, Vitto!

1312 Words
"CATE, AWAS!" Tristan langsung memeluk Caterina erat, mencoba melindungi, hingga keduanya terguling di atas lantai rooftop tersebut. "Kurang ajar!" umpat Jevano begitu melihat bidikannya meleset. Amunisi dari selongsor shotgun-nya itu gagal mengenai Caterina dan Tristan. Ia bersiap untuk kembali melontarkan tembakan kedua. Netranya memicing sempurna mencoba membidik agar tidak meleset jauh seperti sebelumnya. Suara tembakan begitu memekakkan telinga. Caterina dengan dadanya yang sudah berdebar kencang itu segera mengalihkan atensinya kepada sang tunangan. Di saat bersamaan, Tristan juga tengah menatapnya. "Kamu tidak apa-apa?" Keduanya berucap serempak dan memaku setelahnya. Hanya beberapa sekon kedua obsidian itu saling beradu pandang, karena setelah itu Tristan buru-buru melengos, mendongak ke arah Jevano dan ia langsung melebarkan netranya. Ketua komplotan musuh yang tidak ia ketahui namanya yang ternyata 'Jevano' itu baru saja menjatuhkan shotgun-nya. Darah segar mengalir dari perut lelaki bertopi hitam tersebut dan seketika ambruk ke badan lantai rooftop. "SIR! CEPAT!" Atensi Tristan dan Caterina kini teralih pada suara tenor yang baru saja memendar nyaring merasuki rungu keduanya. "Gericho?" Tristan pun bangkit dan juga membantu Caterina menegakkan torsonya. "Gericho datang, cepat ke helikopter Cate," ucap Tristan pelan. Namun, Caterina hanya memaku sekarang. Bergeming dengan tatapan terus terkunci pada Tristan. Ia enggan untuk sekedar melangkah memenuhi panggilan anak buah calon suaminya tersebut. "Cate? Kenapa masih diam? Cepat naik ke helikopter itu. Kamu dengar aku, kan?" Tristan mendadak kembali kesal. "Aku tidak mau ke sana jika hanya sendirian," jawab Caterina kemudian. Tatapannya begitu sendu dan sarat akan ketakutan besar. Takut kehilangan lagi, seperti dulu. Caterina memberanikan diri menggenggam tangan Tristan. "Kita akan pergi bersama kan, Tristan?" Tristan mendadak terenyuh, ia balas menggenggam tangan tunangannya yang terlihat masih sangat cantik sekalipun dengan penampilan sekacau sekarang. "Ya, tentu saja. Aku akan menyusul setelah aku menyelesaikan ini," jelas Tristan. Sungguh itu bukan jawaban yang diharapkan Caterina. Ia menggeleng cepat. Tidak mau menuruti Tristan kali ini. "Jangan membantah!" Suara Tristan naik satu oktaf. Caterina cukup tersentak. Netranya berkaca-kaca sekarang. "Maaf, Cate. Aku harus melakukan ini. Aku tidak bisa kembali dengan tenang ke Palermo sebelum menyelesaikan semua ini. Tolong jangan membantah lagi. Tolong jangan buat aku semakin terlihat jahat di sini." Tristan menguar tatapan dalam. Caterina pun mengangguk pelan. Kali ini tanpa sebuah jawaban apalagi bantahan. Ia melangkah gontai menghampiri helikopter yang dikendarai Gericho. Namun, tiba-tiba saja ia berhenti. Lebih tepatnya ada yang menghentikannya. Caterina segera menunduk saat merasa kakinya ditahan oleh sebuah tangan. Ternyata itu adalah tangan milik Jevano. Cate berusaha melepaskan cengkeraman tangan tersebut. "Arghh!" Jevano mengaduh kesakitan. Tristan baru saja menendang tangannya dengan kuat hingga cengkeraman tangannya itu terlepas dari kaki Caterina. "Tidak ada waktu lagi, Cate! Cepat lari ke helikopter!" Lagi-lagi Tristan membentaknya. Caterina menahan buliran bening yang tengah memaksa turun dari pelupuk matanya itu, dan segera berlari ke arah helipad di mana helikopter Gericho kini mengambang di atasnya. Tristan kini membungkuk untuk mencengkeram kerah baju Jevano. Ia menatap menatap nyalang. Dadanya naik turun menahan diri untuk tidak menembakkan revolver hitam yang kini kembali ia genggam kuat di tangannya, setidaknya sampai ia mendapatkan sebuah jawaban dari pertanyaan yang begitu menganggu pikirannya. "Dengar, Sialan! Sekarang aku bertanya padamu, apa kau benar-benar telah menghabisi anak buahku yang tinggal di lantai bawah? JAWAB!" Tristan berharap ada jawaban yang melegakan, akan tetapi ia semakin murka saat lelaki itu hanya menguar kekehan sarkas ke arahnya. "JAWAB AKU SIALAN ATAU PELURU REVOLVER-KU INI AKAN MELEDAKKAN KEPALAMU!" Tristan benar-benar kehilangan kesabaran. "Oh, maksudmu Vitto?" tanya Jevano dengan suara melemah dengan tatapan yang tidak jauh berbeda. Begitu sekarat. "Kau mengenalnya?" tanya Tristan lagi. Masih dengan tatapan yang sama. "Apa yang tidak aku ketahui tentangmu, Tristan? Bahkan aku tahu apa yang tidak kau ketahui," balas Jevano, mulai menantang Tristan. Tentu saja hal ini semakin menyulut emosi lelaki pemilik nama asli Donathan Moreno tersebut. Tanpa menunggu lagi, Tristan langsung mengarahkan ujung revolver-nya tepat ke kepala Jevano. "Kau pikir aku bercanda, hah?! Aku bisa menghabisimu hanya dengan tangan kosong saja jika aku mau," ucap Tristan menggebu. "Benarkah? Kenapa aku jadi penasaran. Ayo lakukan kalau begitu. Lakukan apa pun yang kau mau padaku, Tristan." Jevano semakin menantang Tristan. Padahal keadaannya begitu lemah sekarang, dan tentu tidak akan bisa melawan pimpinan klan Moreno tersebut. "KAU SUDAH BERMAIN-MAIN DENGAN TRISTAN SELVAGIO, SIALAN!" teriak Tristan tepat di wajah Jevano. Musuhnya itu terlihat bernyali besar. Sedari tadi terus saja mencoba menguji kesabarannya. Dalam gerakan cepat, Tristan segera menyimpan revolver hitam itu kedalam jas navy-nya lanjut mengepalkan tangan dengan rahang yang mengeras sempurna. Satu bogem mentah melayang ke wajah Jevano. Lelaki yang memang sudah melemah itu kini terhuyung ke belakang. Dengan cepat tangan kekar Tristan kembali menangkapnya. Tanpa terduga satu pukulan kuat kembali diterima Jevano. Hingga membuat sudut birainya mengeluarkan bercak darah segar. Tristan menguar smirk andalannya lagi sekarang. "Apa yang barusan itu cukup untuk membuatmu menjawab semua pertanyaanku, berengsek?!" tanya Tristan bersama tatapan kebencian dalam kilatan manik kecoklatannya. "Apa yang ingin kau ketahui, Sialan?" Wajah Jevano yang sudah lebam kembali mendongak ke arah Tristan. Kali ini begitu tajam tanpa ada kekehan seperti sebelumnya. Merasa umpannya ditangkap dengan baik oleh musuhnya tersebut, Tristan kembali mengeratkan cengkeramannya. "Di mana Vitto?" tanya Tristan dengan hati sakit tak terkira. "Bukankah aku sudah menjawab pertanyaanmu yang itu? Anak buahmu itu sudah aku lenyapkan." Jevano berucap pelan. "Kurang ajar! Di mana jasadnya jika benar telah kau lenyapkan, Sialan!" Demi apa pun, Tristan begitu hancur saat mengatakan semua itu. "Jasadnya? Tentu saja sudah menjadi puing abu saat aku meledakkan kamarnya." Kali ini kekehan devil memendar jelas di wajah Jevano. "BERENGSEK! SIALAN!" Rasanya umpatan itu tidak cukup menggambarkan kemarahan Tristan sekarang ini. Matanya memerah pun memanas. Dalam kehancuran itu, Tristan langsung menghajar Jevano tanpa ampun. Tidak ada sedikitpun pemaafan. Semua harapan untuk keselamatan Vitto melebur bersama amarahnya yang tidak tertahan. Jevano langsung ambruk kembali ke badan lantai dengan kondisi mengenaskan. Tidak ada lagi pergerakan dari musuhnya itu. Netra kuyu itu benar-benar sudah terpejam sempurna. Tristan sudah tidak peduli lagi dengan kepalan tangannya yang kesakitan. Ia meluapkan kemarahannya dengan terus menghajar Jevano. Tiba-tiba ia berhenti, sesuatu menubruknya dari belakang. Memeluknya erat. Tristan melirik kecil dan berakhir menghela napas berat. "Kenapa kamu di sini?" tanya Tristan dingin. "Cukup, Tristan. Jangan menjadi psikopat seperti ini. Sadarlah. Yang kamu lakukan sekarang ini tetap tidak akan bisa mengembalikan Vitto. Dia sudah tenang di sana, Tristan. Ini memang berat. Aku mengerti perasaanmu. Ja—" "KAMU TIDAK MENGERTI!" teriak Tristan sekali lagi. "Kamu tidak akan mengerti, Cate." Suara Tristan bergetar dan mulai melemah. Ia mendongak untuk menahan buliran hangat di matanya yang terus memaksa untuk jatuh melesat. "Apa kamu tahu? Vitto bukan hanya seorang anak buah atau pun sahabat bagiku. Vitto itu adalah adikku. Dia seperti adikku, Cate." Suara Tristan semakin bergetar dan Caterina semakin erat juga memeluknya dari belakang. Berat untuk membiarkan tunangannya itu hancur seorang diri. Tiba-tiba saja suara ledakan dahsyat di ikuti getaran hebat pada lantai rooftop tersebut. Caterina langsung melepaskan pelukannya berikut Tristan yang sudah memutar torsonya menghadap Caterina. Ia tidak menatap Caterina melainkan mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut rooftop. Semua musuh sudah terkapar. Namun, suara sumbang derap langkah kaki di lantai bawah membuatnya melebarkan netra. "SIR! KITA HARUS SEGERA PERGI DARI SINI! GEDUNG INI AKAN DIHANCURKAN! MUSUH KEMBALI BERDATANGAN ENTAH DARI MANA!" Gericho kembali berteriak nyalang di dalam helikopternya. Tristan yang semakin terdesak pun langsung menarik tangan Caterina dan berlari ke arah helikopter. Keduanya kini menaiki helikopter dengan terburu-buru. Gericho segera menerbangkan pesawat udara tersebut meninggalkan landasan helipad. Tidak berselang lama setelah kepergian mereka, ledakan dahsyat pun meruntuhkan gedung apartemen tujuh lantai milik pimpinan mafia itu. Tristan yang masih bisa melihat semua itu kini memejamkan netra, tepat saat selusur Caterina meraih tangannya lembut. Mencoba menyalurkan kekuatan. Hati Tristan pun bergetar. Hari itu adalah titik terendah dalam hidupnya. Di mana ia kehilangan saudara dan juga anak buah kepercayaannya. Itu adalah harta yang paling berharga baginya melebihi semua limpahan materi yang ia punya. "Selamat tinggal, Vitto ... Terima kasih untuk semua pengorbananmu. Aku tidak akan pernah melupakannya sepanjang hidupku," batin Tristan, sesak. *** To be continued ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD