BAB 4

1980 Words
Author Pov. Mayra memasuki ruangannya, ia melihat Rahmadi tengah berbincang dengan Sonia, pujaan hatinya, Rahmadi memang sangat menyukai Sonia, sampai rela melakukan apa pun demi Sonia, entah, cinta itu berbalas atau tak berbalas, hanya Sonia dan Rahmadi yang mengetahuinya, Mayra berdehem dan menghentikan obrolan keduanya. “Sonia, kamu ada jadwal hari ini?” tanya Mayra. Sonia meneguk teh hangat yang sudah Rahmadi buat, “Iya, May, aku ada jadwal siang ini.” “Baiklah.” jawab Mayra, lalu duduk di kursi kerjanya, menyalakan CPU dan duduk menatap layar komputernya yang baru ia nyalakan. “May, kamu tidak ada niat menjadi pramugari saja? Kamu, kan, tinggi, putih dan menarik menurutku, kalau kamu jadi pramugari, itu akan lebih baik.” kata Sonia, membuatku tertawa sejenak. “Bagaimana bisa aku menjadi pramugari, Son, aku saja tidak tahu berbahasa Inggris.” Aku menggeleng, itu lah kekuranganku yang sebenarnya. “Kamu, kan, bisa belajar, aku saja, ya, awalnya gak tahu loh berbahasa asing. Namun, karena giat belajar aku bisa, meski masih banyak kurangnya.” kata Sonia. “Aku juga gak ada niat jadi pramugari, Son, aku lebih suka seperti ini, pulang tepat waktu dan tidur tepat waktu.” “Iya, sih, enak banget, aku juga mah mau kayak kamu, May.” “Kamu lebih baik menjadi pramugari, Son, kamu cantik dan menarik, pintar juga, jadi kamu emang lebih cocok jadi pramugari, serius deh.” “Ya sudah … aku harus mempacking barangku, aku pergi dulu, ya.” kata Sonia, lalu beranjak dan berlalu meninggalkan Mayra dan Rahmadi. Mayra lalu membuka satu persatu dokumen yang ada di meja kerjanya, dokumen yang setiap pagi harus ia kerjakan dan ia stor kepada Pak Harjum, pekerjaan ini memang sedikit membosankan. Namun, lebih baik di bandingkan harus menghabiskan waktu di rumah. Mayra menoleh ketika melihat sosok pria berseragam pilot, pria itu adalah Rafael, pria asing yang Mayra kenal sebagai sosok yang acak-acakkan, hidupnya sederhana. Namun, jorok, itu menurut wanita dengan rambut sebahu itu, sepulang bekerja, Mayra harus langsung ke apartemen Rafael untuk memulai tugas barunya. Rafael hendak menoleh melihat Mayra. Namun, dengan cepat Mayra memalingkan wajahnya agar tak sampai ketahuan sejak tadi ia menatap gerakan pria asing itu. Mayra merasa agak senang ketika melihat Rafael ada jadwal penerbangan pagi ini, sudah bisa di pastikan Rafael akan pulang sangat malam. Rafael berlalu dan tak terlihat lagi, ia sudah memasuki landasan pesawat untuk memulai tugasnya sebagai seorang pilot, para pramugari yang satu penerbangan dengannya terlihat begitu antusias karena mereka akan terbang bersama pilot tampan yang berasal dari Jerman. Tari masuk ke ruangan Mayra, melihat sahabatnya tengah menginput sesuatu, Tari berdehem, membuat Mayra menoleh sejenak, lalu melanjutkan pekerjaannya. “Tari? Bukannya jadwal penerbanganmu sore nanti? Kenapa kamu ke kantor?” tanya Mayra, sedangkan sudah sangat jelas, semalam Tari mengatakan akan ke kantor siang hari. “Aku bete di kost sendirian, aku pengen banget tahu melihat Pak El.” kata Tari. “Ngefans banget, ya, kamu?” “Tentu, dia itu sosok yang sangat berbeda tau.” “Iya. Namun, Pak El sudah berangkat, sekarang mungkin sudah di dalam pesawat.” “Aishh .. gak adil banget, sih, kenapa gak samain jadwal Pak El denganku coba?” “Aku udah menyesuaikannya, Tari Sayang, hanya saja belum giliran kamu.” kata Mayra, tanpa melihat ke arah Tari duduk dan ia masih sibuk menginput sesuatu. “Emang siapa saja yang terbang bersama Pak El?” tanya Tari dengan wajah manyun, Tari memang tipe wanita yang cepat mengagumi seseorang. Namun, juga cepat melupakan. “Sonia, Hery, Sasmita, Vica, Juan dan Winda.” “Ishh … ada si Sasmita? Tentu saja dia akan histeris dan antusias.” “Apaan, sih, kalian, seharusnya kalian bersikap profesional donk dalam bekerja, ngapaian juga coba saling mengatai, Pak El juga belum tentu melihat perjuangan kalian mendapatkan perhatiannya.” “Karena itu aku harus ikut kamu ke rumah Pak El nanti pas aku free.” Mayra menggeleng, “Iya, Tari. Namun, minggu ini kamu jadwalnya full.” “Namun, aku bisa lebih dekat dengan Pak El, jika aku ikut kamu nanti.” kekeh Tari, membuat Mayra menggeleng, karena sikap sahabatnya itu selalu di luar dugaannya. “Aku bisa di sini, ‘kan?” tanya Tari, lalu berbaring di sofa. “Kenapa gak pulang saja, sih? Istirahat sana.” “Gak mau ah… pengen nungguin jadwal aja.” Tari keukeuh ingin tetap di kantor, meski jadwal penerbangannya masih beberapa jam lagi. “Baiklah, asalkan kamu bisa diam dan gak ngajakin aku ngomong, aku harus menyelesaikan pekerjaan ini sebelum Pak Harjum memintanya.” kata Mayra. “Gak bosen kamu, May?” “Bosen kenapa?” “Ya, bosen, siapa tahu saja pekerjaanmu membuat kamu muak, ‘kan?” “Awalnya aku emang muak, sih, kerjain ginian mulu. Namun, aku mulai terbiasa seiring berjalannya waktu, gak kerasa juga jadi kebiasaan.” kata Mayra. “Gak pengen jalan-jalan kamu? Nyari pacar, kek atau apa kek gitu.” “Nyari pacar? Buat apa? Buat nyakitin lagi?” “Jangan mengambil patokan pada masa lalumu, May, gak semua loh pria kayak si b******k Raihan.” “Iya, aku tahu. Namun, semuanya ku pasrahkan saja pada takdir Tuhan, ngapain nyari juga? Yang harus ku cari tuh ya nafkah buat keluargaku, Tari Sayang.” kata Mayra. “Gak pengen nikah kamu?” “Siapa, sih, yang gak kepengen nikah?” “Siapa tahu saja, kamu, kan, lebih milih berkarir dan gak kepengen bersantai meski sebentar, nikmatin waktu juga donk, May, meski kamu memiliki banyak tanggung jawab.” kata Tari, membuat Mayra menyerendengkan kepalanya di kepala kursi kerjanya dan memutar dirinya. “Pengen, sih. Namun, untuk bersantai sendirian gak kepengen aku, lagian sepulang kerja pun, aku juga sudah nyantai.” “Bukannya kamu nambah pekerjaan lagi? Gak ada waktunya santai loh.” “Aku yakin, Tari, Tuhan pasti memiliki rencana yang baik untukku. Dan, itu pasti indah.” “Baiklah, kamu memang selalu saja mengatakan hal itu, kamu emang selalu berhasil membuatku mengalah.” kata Tari, membuat Mayra terkekeh. **** Seperti biasa, sepulang bekerja Mayra langsung ke apartemen Rafael dan mengerjakan pekerjaannya, kesepakatan itu memang lebih mengarah pada semua penekanan. Namun, demi kelangsungan hidup, Mayra setuju dan tak masalah akan penekanan yang ia terima dari Rafael, menjadi seorang pembantu dengan gaji halal tak ada yang salah. Pembantu juga, kan, manusia, semua bisa menjadi orang sukses. Namun, mendapatkan uang tak semudah mendapatkan kesuksesan bagi yang mampu. Mayra menyapu, mengepel, membuang sampah, merapikan kamar, melipat pakaian yang berhamburan di sofa, pakaian yang sudah ia cuci kemarin dan tak di lipat, jorok sekali. Namun, tugasnya memang harus menghilangkan kejorokan di apartemen ini. Mayra juga menyetrika seragam pilot milik Rafael dan menggantungnya di kamar, sikapnya kali ini, seperti seorang istri saja. Beginikah seorang pria yang hidup sendirian? Serba siap dan serba instan? Namun, tak semua pria seperti Rafael, kemungkinan Rafael di lahirkan dengan sendok emas, karena itu ia terbiasa dengan semua ini. Setelah merapikan semua tempat, Mayra membuka lemari es dan melihat apa saja yang bisa ia masak untuk seorang Rafael, pria yang memberinya upah untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah. Mayra berkutat di dapur dengan celemek yang sudah di siapkan, Mayra harus menyelesaikan semuanya sebelum Rafael pulang. Tak banyak yang tahu, Rafael ternyata seorang pewaris tunggal maskapai penerbangan yang kini telah menjadi tempatnya meniti karir sebagai seorang pilot, Rafael mengaku hanya seorang karyawan pindahan dari Jerman, ia tak mengaku jika perusahaan ini adalah miliknya, semua harus ia kerjakan rapi, sebelum kembali ke Jerman, mengambil semua yang sudah menjadi hak miliknya. **** Malam menunjukkan pukul 2, membuat Rafael mengucek matanya beberapa kali karena merasakan kantuk luar biasa menyerangnya sejak tadi, untung saja kantuk itu tidak datang di saat ia sedang mengoperasikan pesawat. Kantuk itu menyerangnya ketika ia sedang mengemudi, Rafael masuk ke apartemennya dan melihat rumah sudah begitu rapi dan tak ada pakaian atau pun bekas minuman yang berhamburan di lantai, Rafael hendak masuk ke kamar. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat makanan di atas meja yang sudah siap dengan secarik kertas di sampingnya. Saya sudah menyiapkan makan malam untukmu, silahkan makan jika kamu sudah pulang, jika memang makanannya sudah dingin, kamu bisa memanaskannya. Secarik kertas yang berisi ungkapan keikhlasan Mayra mengurus semua yang berkaitan dengan Rafael. Rafael kembali melanjutkan langkah kakinya menuju kamar dan melihat seragam pilotnya sudah bergantung di dekat lemari, sudah di setrika begitu pun dengan sepatunya, Mayra mengerjakan pekerjaan yang sangat bagus dan teliti, membuat Rafael menyunggingkan senyumnya, setidaknya ia lega jika masuk ke apartemennya dalam keadaan rapi. Rafael mendapatkan telpon dari seseorang, telpon dari Damian sahabatnya. “Hallo, Dam!” “Hallo, Kawan, apa kamu sudah di apartemen?” “Iya, aku baru saja sampai, ada apa?” “Ayahmu meminta untuk bertemu denganmu, semoga saja kau bersedia menemuinya.” “Apa lagi yang ingin di katakannya? Aku sudah memilih Indonesia sebagai tempatku meniti karir, kenapa harus di permasalahkan lagi?” “Aku tidak mempermasalahkannya, hanya saja ayahmu ingin menemuimu, mungkin dia rindu pada putra tunggalnya.” “Apa? Rindu? Jangan berlebihan, Dam, aku dan ayahku tidak seakrab itu untuk bisa saling merindukan.” kata Rafael, membuat Damian mendengkus tak percaya. “Sebenarnya, apa alasanmu ke Indonesia?” “Menjauh dari semuanya, kau sudah tau itu, ‘kan?” “Baiklah, kau ingin menjauh dan melepas tanggung jawabmu pada perusahaan?” “Aku tidak bilang akan melepas tanggung jawab, Dam, aku hanya butuh waktu.” “Sampai kapan?” “Sampai aku bisa menetapkan pilihanku.” “Kenapa tak menikah saja?” “Dengan siapa?” “Sofhie.” “Jangan mengada-ngada, aku dan Sofhie bukan pasangan.” “Aku hanya ingin kau lebih menetapkan pikiranmu ketika sudah menikah dengan Sofhie, bukankah itu akan lebih baik? Demi kelangsungan perusahaan?” “Kau pikir kita sedang hidup di jaman kuno? Di mana ada pernikahan politik di dalamnya? Sudahlah, Dam, aku tidak ingin membahasnya, beritahu saja pada ayahku, aku akan pulang jika sudah waktunya.” “Kau memang keras kepala.” “Kau akan selalu mendapatkan jawaban yang sama meski seberapa keras usahamu membujukku pulang.” kata Rafael, membuat Damian hampir menyerah karena setiap hari harus berurusan dengan Rafael yang tetap keukeuh untuk tetap di Indonesia. “Baiklah, aku tidak akan memaksamu. Namun, menjadi seorang pilot terlalu beresiko, El, aku tidak ingin sampai kau salah dalam mengoperasikannya, karena semua itu berkaitan dengan nyawa banyak orang.” “Aku harus mandi, sudahi dulu telponannya.” kata Rafael, lalu mengakhiri telfonnya. Rafael memang pria yang keras kepala, yang tidak akan pernah bisa mengubah pendiriannya. Namun, bukan berarti ia menolak mengurus perusahaan, ia tidak memikirkan bagaimana perusahaannya kelak. Ia hanya membutuhkan waktu berpikir dan sendiri. Rafael sangat tahu apa saja tanggung jawabnya sebagai seorang pilot, sebelum mengambil pendidikannya, Rafael sangat tahu apa saja resiko yang akan mengorbankan dirinya jikalau sesuatu terjadi. Pesawat yang diterbangkan sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya sebagai seorang pilot. Keselamatan pesawat tersebut ada di tangan sang penerbang karena ia seharusnya sudah mampu menerbangkan pesawat dengan profesional dengan memperhatikan cuaca dan teknik. Selain mengoperasikan pesawat, pilot juga sudah harus menjaga keselamatan penumpang. Bagi pilot komersial atau pilot yang bekerja pada maskapai penerbangan dan menerbangkan pesawat untuk di bayar, tanggung jawab terbesarnya adalah membuat penumpang nyaman dan menjaga keselamatan mereka.Selain itu, pilot pun harus menjaga kesehatan diri sendiri. Hal yang sudah menjadi tanggung jawab siapa pun termasuk Rafael sebagai pilot adalah menjaga kesehatan diri sendiri. Namun, pilot harus ekstra dalam menjaga kesehatannya karena saat bekerja, ia harus fit dan bekerja semaksimal mungkin tanpa rasa ngantuk dan lelah. Sungguh tak mudah bukan menjadi seorang pilot. Namun, Rafael suka akan tantangannya. Tantangan mengoperasikan pesawat, bukan roda empat atau roda dua. Mengemudikan pesawat terbang adalah tugas utama dari seorang pilot. Kemampuan yang memerlukan tuntutan keahlian tinggi ini memerlukan lisensi sendiri dan di dapatkan melalui ujian yang di selenggarakan sekolah pilot dan juga otoritas yang mengatur penerbangan. Seorang pilot mempunyai tanggung jawab yang besar dalam pekerjaannya, sehingga tidak sembarang orang bisa begitu saja mengantungi lisensi. Dalam sekolah penerbangan, selain kemampuan teknis, calon pilot diharuskan untuk mengetahui etika dari profesi ini. BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD