Yumi yang Rumit

1222 Words
Yumi membuka matanya perlahan, dia agak kaget saat mendapati wajahku tengah dekat dengan wajahnya. Bahkan dia langsung mengambil jarak dariku. Aku tak bermaksud apa-apa, aku hanya memastikan dia masih bernapas atau tidak. Sebuah pikiran gila yang menakutkan, karena bisa saja dia meminum sesuatu dan mencoba bunuh diri lagi. "Kau sudah tak apa-apa?" tanyaku memastikan. Yumi yang mengubah posisi berbaring menjadi duduk bersandar ke kepala ranjang menggeleng sekilas. "Aku baik-baik saja." "Ayo kita ke Dokter!" "Tidak," sahutnya dengan suara tinggi nyaris membentak, aku melihat kepanikan dan ketakutan saat aku menyebut kata Dokter. Selain takut disentuh, apa dia juga takut dengan dokter? Aneh sekali. "Yumi, kondisimu lemah, aku takut terjadi apa-apa dengan kandunganmu, kita belum pernah konsultasi, kan?" Yumi tak bergeming, tatapan matanya yang sayu hanya menikmati pemandangan dinding berjarak beberapa meter di depannya. "Apa aku bisa meninggalkanmu sendiri? Maksudku ... Aku takut kau pingsan lagi sementara tak ada orang di rumah." Yumi menoleh padaku, menatapku agak lama, seakan menembus apa yang ada dalam hatiku. Ditatap begitu, aku merasa tak nyaman, Yumi terlihat misterius. "Siapa yang kau khawatirkan, Mas? Aku atau anak ini?" Pertanyaan yang tak penting menurutku, akan tetapi Yumi memasang raut menunggu seakan jawaban itu berharga baginya. "Tentu saja kalian berdua." "Jika diberikan pilihan, antara aku dan anak ini, kau pilih yang mana?" "Apa maksudmu?" "Jawab saja!" "Kenapa harus memilih, kalian berdua sama-sama penting. Anak itu bergantung padamu, karena kau adalah ibunya. Sementara, kau takkan digelari sebagai seorang ibu jika tak ada anak itu dalam perutmu." Yumi tersenyum hambar. "Kau benar." Dia menghindari tatapanku lagi. "Aku berharap, kau menjaganya baik-baik, Yumi. Aku sangat mengharapkan anak itu, jangan lagi bertingkah konyol dengan memakai benda-benda tajam untuk bunuh diri." Yumi diam saja, seakan ucapanku adalah angin lalu. "Yumi ...." "Aku mendengarmu." Aku menghela napas. Berusaha untuk sabar dengan sikap Yumi. Bukankah mengabaikan lawan bicara itu amat tak sopan? "Aku tahu, kau wanita yang baik, kau akan menjadi ibu yang baik." "Jangan terlalu memandangku sempurna, Mas. Kau tahu pasti apa kekuranganku, memaksakan mulut bicara yang tak sesuai kenyataan itu amat menyiksa." Ya, aku salah lagi. Semua salah di mata Yumi. Ya sudahlah. "Baiklah, aku harus bekerja. Jaga dirimu baik-baik, nanti sore kita akan ke mall membeli buah dan s**u untuk ibu hamil, aku tak bisa memilih yang sesuai dengan seleramu. Lebih baik kau pilih sendiri." Yumi kembali diam. Ya, mungkin dia merasa terganggu dengan mulutku yang dari tadi nyinyir padanya. Apa yang kulakukan murni karena mengkhawatirkan keadaannya, melihatnya pingsan beberapa saat yang lalu, sungguh pemandangan yang meresahkan. Dia terbiasa terlihat sehat dan kuat. *** "Yumi muntah-muntah," kataku pada Danil, kami tengah makan siang bersama di kantin kantor. Danil pria tampan beranak dua, teman dekat yang selalu jadi tempat curhatku. "Orang hamil ya muntah-muntah, kalau kamu yang muntah-muntah baru aneh, perlu dibawa ke rumah sakit." "Aku serius!" "Aku juga serius, wanita hamil sebagian besar memang begitu. Tidak aneh lagi." "Tapi dia pingsan, Dan." "Nah, itu baru masalah, artinya istrimu bisa jadi kehilangan nutrisi. Hati-hati, bayimu bisa kekurangan gizi." "Jangan menakut-nakutiku, Dan." "Aku serius. Hamil muda itu, suami harus ekstra perhatian, kamu harus tanya, dia maunya apa, karena selera orang hamil kadang menginginkan makanan yang berbeda dari biasanya. Oh ya, apa dia meminta sesuatu? Mengidam?" Aku berpikir sejenak, sejauh ini, Yumi tak pernah meminta apa-apa padaku. "Tidak." "Kau sudah tanya maunya apa? Mana tahu dia menunggu ditanya dulu." "Tidak," "Nah, itu salahnya. Kau harus perhatian. Hamil itu sulit, begitu kata istriku. Hanya perhatian suami yang akan membuat rasa sulit itu membaik." Aku mengangguk-angguk saja, walaupun kami sebaya, yang jelas Danil telah berpengalaman dariku. "Eh, ngomong-ngomong, kau pakai cara itu, kan?" Danil menatapku dengan tatapan selidik. "Cara apa?" "Obat." "Aku menyesal menggunakannya." Terbayang lagi semua ingatan buruk yang membuat kami semakin renggang. Setelah itu, Yumi memutuskan untuk tidur di kamar tamu, meninggalkanku sendiri di kamar utama kami. "Yang penting, dia hamil, Bro." Danil terkekeh, sedangkan aku merasa semuanya membingungkan. Yumi yang tak perawan, yang tertutup dan pernah berniat mengakhiri hidupnya. Yumi yang tak pernah membuka dirinya sedikit saja padaku, lalu bagaimana dengan anak kami kelak? Akan jadi apa dia jika dibesarkan oleh orangtuanya yang bersikap layaknya orang asing. Aku takut memikirkannya. Di sudut hatiku yang paling dalam, aku merasakan kekosongan, impian mendapatkan istri seperti orang-orang sirna sudah. Bagaimanapun, aku telah mendapatkan bekas orang lain, orang yang tak kutahu siapa, aku hanya orang ke sekian yang pernah memiliki Yumi. Jika memang dia adalah lesbian, kenapa dia tak perawan lagi? "Dit," "Eh? Ya?" Aku terbangun dari lamunanku sendiri. "Waktu makan siang telah habis." "Ya," sahutku singkat lalu bangkit meninggalkan kantin. *** Berulang kali aku bersin, entah virus siapa yang menular padaku. Aku langsung merasakan kepalaku berat dan hidungku tersumbat. Aku tahu, sebentar lagi akan demam, karena rasanya suhu tubuh sudah mulai naik. Sesampai di rumah, aku mendapati Yumi tengah duduk di depan televisi sambil menonton drama kesayangannya. Saat menonton inilah dia kelihatan lebih hidup, sesekali dia tersenyum samar, binar matanya berubah-ubah, kadang ceria, kadang bersedih. "Maaf, aku tak mendengar kau pulang." Wajah datar itu terpasang lagi. Selanjutnya dia berdiri. Dia terbiasa menyajikan air putih setiap kali aku pulang bekerja. Setiap aku meminta kopi, dia melarangnya, katanya kopi hanya untuk pagi hari. "Bikinkan aku teh jahe," perintahku padanya, selain flu, aku merasakan perutku kembung. "Kau tak apa-apa?" Sebuah keajaiban keadaanku ditanyakan Yumi. Apakah dia tahu bahwa aku sedang tak enak badan? Hebat, biasanya dia tak peduli. "Aku flu, siapkan juga air hangat untuk mandi." "Baik," sahutnya. Setelah mandi dan minum teh jahe buatan Yumi, kami duduk di sofa berdua, mengambil jarak dua meter tapi mata sama-sama tertuju pada drama yang kami tonton. Aku tak tahu, yang jelas ini drama Korea. Sebuah drama yang sama sekali bukan seleraku. Aku penggemar film laga, bukan cinta-cintaan. "Maaf, sepertinya pergi ke mall membeli s**u dan buah untukmu gagal malam ini, aku merasa tak enak badan." "Tak apa-apa." Tak ada lagi percakapan kami. Kami sama-sama memandang lurus ke televisi, sampai pada adegan romantis si pria yang memeluk kekasihnya di bawah hujan dan berlangsung ke adegan ciuman. Aku membuang muka ke arah lain, dengannya Yumi salah tingkah. Aku bahkan melihat pipinya merona samar. Dia malu. "Maaf, aku duluan tidur, aku mengantuk." Dia buru-buru bangkit meninggalkanku. Aku melepaskan napas berat, menatap lelah pada pemeran drama yang saling menangis di bawah hujan. "Kalian ini," kataku sebal lalu mematikan televisi. Mungkin menggulung diri di dalam selimut lebih menarik dari pada duduk sendirian di ruang tengah. *** Entah jam berapa, aku merasa bahuku diguncang, kepalaku amat sakit. Mata yang enggan terbuka itu, kupaksa juga. "Ayo makan malam! Kita belum makan malam, sepertinya kau demam tinggi, kau harus minum obat sebelum tidur kembali." Ini adalah salah satu perhatian dan kalimat terpanjang Yumi. Sejak kapan dia masuk? Aku memaksakan tubuhku yang meriang untuk bangkit. Di meja makan, sudah tersedia ayam goreng, sayur bayam dan kerupuk. Kalau masalah memasak, jangan ditanya, Yumi juaranya, dia layak digelari chef karena rasa yang dia ciptakan. "Aku merasa air ludahku pahit." "Atau aku buatkan bubur saja?" "Jangan terlalu repot, aku akan makan sayur dan sedikit nasi, setelah itu minum obat." "Kau yakin?" "Ya. Ini sudah larut, jam dua belas malam. Kau tak boleh kekurangan tidur." Sempat kilihat Yumi terpaku dengan ucapanku. Lalu buru-buru menguasai dirinya kembali. "Kau tidak makan?" tanyaku. "Tidak, aku kenyang." "Aku tak melihat kau makan, apa kau menginginkan sesuatu?" "Aku ingin rujak yang pedas." Aku terdiam. Apakah aku harus memaksakan diri mencari rujak malam-malam begini?

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD