Kesepakatan

1361 Words
Aku merasa sedang berada di suatu tempat yang asing. Aromanya pun berbeda, namun ini membuatku sangat nyaman. Perlahan kedua kelopak mataku terbuka. Hal pertama yang kulihat adalah d**a telanjang seseorang. Mataku melotot sangking terkejutnya. Secepat angin berlalu ku larikan mataku ke atas untuk melihat siapa pemilik d**a bidang yang membuat jantungku melompat nggak karuan ini. "Mampus!!" teriakku sepontan. Sementara yang diteriaki tengah menarik sebelah alisnya ke atas membentuk kernyitan yang menyebalkan. "Kok aku di sini?" tanyaku ketus. Dia yang ku beri tanya malah berdecak sambil mengalihkan tatapannya ke arah lain. Aku mengikuti arahan itu dan terkejut saat melihat telapak tanganku dengan kurang ajarnya bertengger di perutnya. Oh astaga aku meluk orang ini? Aku segera menarik tanganku. "Beberapa jam yang lalu kamu sangat agresif," mulainya. Aku mengernyit tanda kebingungan. Nggak terima dibilang begitu, aku berusaha mengingat sesuatu dan...?? Matilah aku. Ingatan-ingatan yang nggak masuk akal berseliweran dalam otakku. Ya Allah apa salah hamba? Kenapa aku jadi gitu? Ngapain aja aku sama orang ini? Berarti aku udah nggak perawan lagi dong? Tok "Jangan kebanyakan mikir," asli sakit banget ketokan di kepalaku. Siapa lagi pelakunya kalau bukan manusia yang punya seribu pesona ini. Ah iya aku belum menyebutkan namanya. Hell, bahkan mungkin kalian sudah bisa menebak siapa dia yang ku maksud. Ya, dia Hiro Admaja. Si ganteng yang pelit senyum. "Kamu boleh agresif tapi sorry to say aku nggak selera sama tubuh kamu yang semuanya rata, karena kamu bukan tipe aku," Sialan. Aku menganga mendengar perkataannya itu. Memangnya aku serata itu? Enak saja. Aku punya aset tau! Dasar Hiro yang buta. Tapi untunglah kalau aku nggak di apa-apakan sama si minim ekspresi ini. "Pakai baju dan kita bahas kesepakatan," What? Aku telanjang? Sambil mangap-mangap kayak ikan kehabisan air, aku mengintip sedikit ke dalam selimut. "Aaaaaaaaaaa," pekikanku dibalas gelak tawa Hiro di luar pintu kamar yang baru saja ditutup sendiri olehnya. Jadi apa yang terjadi??? *** Setelah lebih dari tiga puluh menit menangis di dalam kamar yang aku duga milik Hiro, akhirnya aku keluar dengan mata yang membengkak. Pergi ke ruang tamu tapi kosong. Sama halnya dengan dapur, nggak ada satupun penghuninya. Kemana dua laki-laki ganteng itu? Kruk kruk Hehe itu suara perutku. Aku kelaparan dan harus segera diisi, nggak boleh ditunda atau aku akan pingsan lagi. Maka ku sampingkan rasa malu ini, ku buka tudung nasi yang di dalamnya terdapat makanan yang masih hangat. Ya Allah enak banget kayaknya. Sikattt. "Ternyata kamu bukan cuma wartawan aneh tapi juga suka makan sembarangan," suara itu terdengar saat aku memasukan suapan terakhir ke dalam mulutku. "Kamu?? Sejak kapan kamu disitu?" tanyaku. Sangking keasyiknya aku makan sampai nggak sadar ada Hiro didekat kulkas sana. Dia mengedikan bahunya. Menghampiriku, menatap piringku yang sudah kosong. Aku pun menatap ke sana, "maaf aku sangat lapar," cicitku. "Kalau nggak makan aku bisa pingsan lagi," lanjutku nggak yakin. Masa sih aku pingsan gara-gara belum makan? "Jadi kamu benar-benar berpikir kalau kamu pingsan itu karena belum makan?" Aku mengernyit, "maksudnya?" tanyaku. Tapi lagi-lagi si datar ini hanya mengedikan bahu. Lantas aku mati-matian mengartikan maksudnya itu sendirian dan saat sudah mulai menemukan jawaban dengan mengumpulkan beberapa clue, akhirnya aku tahu jawabannya. Kenapa aku pingsan, kenapa aku berubah jadi gila, bahkan dalam ingatanku di kamar tadi aku tiba-tiba berubah jadi penggoda untuk membuat Hiro meladeni mauku. Itu juga yang membuatku sesegukan menangis. Aku malu, tapi masih untung Hiro benar-benar nggak tergoda denganku meskipun aku hampir nggak berpakaian. Astaga. "Jadi kalian buat aku mabuk dan mencampurkan sesuatu dalam minumanku?" iya aku ingat tadi siang aku minum sesuatu di apartement ini. "Lebih tepatnya Badu yang melakukan itu, aku hanya kebagian merekam aksimu setelah mabuk," "Di mana si gila itu? Aku mau nuntut dia," teriakku. "Apa itu penting? Lebih baik sekarang kamu pikirkan agar rekaman yang ada ditanganku ini nggak bocor ke mana-mana," katanya. Rekaman katanya? Jadi dia merekam adegan aku goda dia itu? Aduh gawat kalau sampai tersebar. Bisa viral aku kalau begini. Malah bisa ngalahin keviralan berita hubungan antara Hiro, Anastasya dan Badu. Nggak! Aku nggak boleh biarin orang ini nyebarin aibku. "Jadi mau kamu apa?" inikan yang dari tadi dia tunggu? Hiro benar-benar menyebalkan. Muka aja yang ganteng tapi kalakuannya bikin nggak mau dekat-dekat lebih lama. Emang dia mau dekat sama kamu, Liti? Aishh dewi batinku ikut nyebelin. Hiro menyodorkan kertas yang sejak tadi di depannya itu. "Cukup tanda tangan ini dan urusan kita selesai," "Kamu baca dulu kalau mau lebih jelas," lanjutnya. Ku ambil kertas itu dan k*****a tulisan yang ada di kertas itu dengan kencang. Intinya itu surat perjanjian antara aku dan Hiro. Tapi tentu saja lebih menguntungkan Hiro. Disitu tertulis aku harus menerima uang 1 Milyar untuk tutup mulut atas informasi yang aku dapatkan. Kalau sampai masalah hubungannya dengan si Anastasya itu tersebar maka rekaman aku yang lagi mabuk dan berperan sebagai penggoda akan diviralkan. Duhh minta ditimpuk emang si Hiro ini. Aku kalau bukan karena takut Hiro macam-macam maka ogah banget jual info beginian meskipun diiming-imingi uang 1 Milyar. Huhh mau nggak mau aku menganggukkan kepala. Membubuhkan tanda tanganku di atas surat perjanjian itu dengan wajah cemberut. "Udah!" kataku sambil menyodorkan kertas itu. Apes banget sih, kenapa musti ketemu kakak beradik Admaja gini?? Coba aja mangsanya tepat. Nggak bakal aku berurusan sama mereka. Lagian kemana Papa tiriku itu pergi sampai-sampai aku nggak bisa mergokin dia yang lagi ena-ena. "Terimakasih dan silakan pergi!" ucapan Hiro menarik lamunanku. Ya Allah benar-benar ni orang minta di sleding. Siapa juga yang mau lama-lama satu ruangan sama orang ganteng yang nggak tau caranya tersenyum. Tanpa peduli sama piring kotor bekas makanku itu, aku langsung berdiri dan membalikan badan untuk menuju pintu keluar. Belum lima langkah tapi suara Hiro menghentikanku, "Litia," dia nyebut nama aku? Serius? Dengan rambut yang sengaja aku kibaskan ala Anastasya yang lagi iklan shampo, aku membalikan badan untuk manatap Hiro. "Kenapa?" tanyaku sok nggak penasaran. Dia malah mengernyitkan dahi. Ck. Aku berbalik lagi karena merasa Hiro hanya iseng. "Yakin pulang dengan pakaian seperti itu?" tanyanya. Aku jadi berhenti lagi dan menatap diriku sendiri. Oh astaga aku lupa. Aku sedang memakai kameja Hiro dan nggak pakai celana lain selain dalaman!!! Berbalik lagi ke hadapan Hiro, "pakaianku nggak ada di sana," cicitku. "Sudah saya buang karena muntahan kamu," jawabannya sukses membuat aku kesulitan bernapas. Aduh, masalahnya tu baju pemberian Dilo, sahabat kesayanganku. Bisa sedih dia kalau sampai tau pemberiannya dibuang oleh orang yang nggak dikenal dan nyebelin macam Hiro. "Kok kamu buang sih??" protesku. Iya kali dibuang cuma gara-gara terkena muntahan. Kan bisa dicuci. Lagian aku nggak nyuruh dia juga yang nyuci. Hiro mendengus, "suka-suka saya!" katanya. Nah kan pengen gigit itu mulut biar nggak pedes-pedes ngomongnya. Enak aja suka-suka dia! Yang punya baju siapa yang sok ngatur siapa?? Bodoh amatlah. Berhubung dia udah buang pakaianku, jadi aku nggak peduli juga sama kamejanya yang sedang aku pakai ini. Bawa aja, yang penting bisa nutupin sampai paha. Berbalik lagi sambil membawa selembar cek ditanganku karena tasku ketinggalan di kantor tadi siang. "Lepaskan! Itu kameja saya," baru juga mau buka pintu, Hiro malah menahannya dari belakang dan nyuruh aku lepasin kamejanya ini. Apa nggak gila dia? Ck. Kesal juga jadinya. "Terus aku pakai apa?" ketusku masih memunggunginya. "Diruang tamu ada paper bag yang isinya nggak jauh beda sama pakain kamu yang saya buang. Tapi harganya lebih mahal!" ucapnya sambil memundurkan tubuhnya sendiri sampai ada jarak diantara kami. Aku berbalik dan sedikit berjinjit untuk melihat kearah ruang tamu. Memang ada paper bag di sana, berarti Hiro nggak bohong. Tapi ngapain juga dia repot beli pakaian segala? Jangan-jangan...? "Jangan mengkhayal! Saya cuma nggak mau kameja saya dipakai sama kamu." Hahahaa belum juga selesai berspekulasi, dia udah nyerobot aja kayak orang yang lagi balapan. Lagian ngapain sih Liti mikir yang nggak-nggak! Tanpa berniat membalas ucapan Hiro, aku segera meninggalkannya. Ke ruang tamu sebentar lalu ke toilet terdekat. Mengganti baju secepat yang aku bisa. Selesai dan kembali ke depan untuk pulang. Tapi gimana caranya? Aku kan nggak bawa tas, hp dan dompet. Semua itu tertinggal di kantor. Aku bingung. Serius. Hiro juga udah hilang entah ke mana. Apa aku tunggu aja sampai itu makhluk muncul? Terus merengek minta diantar atau minta dipinjemin uang dulu? Nah udah kayak penggoda beneran kan aku? Ahh peduli amat yang penting bisa pulang. . . TBC.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD