2. Bermula Di Sini

1270 Words
Semua berawal ketika dua bulan lalu Alisha mengiyakan ajakan dari sang kekasih untuk merayakan kelulusannya di salah satu villa milik keluarga Dwisastro yang ada di puncak Bogor. Tak hanya berdua, tapi dengan beberapa teman dekat Arya juga. Sekitar tiga pasang sahabat Arya yang mengajak pasangannya masing-masing dalam acara dadakan itu. "Kamu sering ngadain party-party gini ya, Mas?" tanya Alisha begitu Arya mendekat setelah kalah main billiards melawan Rakha. "Nggak sering sih, sesekali aja kalau ada moment special. Wisuda aku kan special," jawab Arya menerima uluran s**u cokelat hangat dari kekasihnya. "Kemarin kan udah ngerayain wisuda sama keluarga, naah kalau hari ini giliran sama bocah-bocah itu." Arya mengendik pada Rakha dan Dimas, dua temannya yang masih asik melanjutkan permainan billiard. Sedang seorang lainnya sedang bergurau dengan kekasihnya. "Ngerayain berdua sama kamu belum juga kan? sibuk belajar terus sih kamunya." Arya mencubit pipi kanan kekasihnya. "Ya harus dong, biar nanti lulusnya tepat waktu, nggak molor kayak Mas Arya," jawab Alisha terkikik pelan. Selain harus lulus tepat waktu, Alisha juga ingin menunjukkan pada sang ayah dan kakak satu-satunya kalau ia bisa dibanggakan meskipun bersikukuh kuliah di luar kota dan jauh dari mereka. Alisha ingin menghapus predikat gadis manja kesayangan yang selalu dikekang ayahnya karena tak mampu hidup secara mandiri. Padahal sebenarnya hal itu sangatlah wajar terjadi. Alisha adalah anak perempuan satu-satunya dalam keluarga, Airlangga, kakak lelakinya sudah menikah dan hidup terpisah meski masih terbilang dekat dengan rumah kedua orang tuanya. Sedangkan sang ibu, sudah menghembuskan napas terakhir dua tahun silam setelah menyerah dengan penyakit diabetes yang sudah lama menyerang tubuhnya. "Iya, bener. Jangan ditiru bagian yang molornya ya. Mahasiswi rajin dan serba sempurna kayak kamu harusnya lulus tepat waktu dengan predikat terbaik, jangan kebanyakan bolos kayak aku." Arya tergelak lantas mengacak rambut Alisha. Arya memang terbilang malas dan mengulur waktu saat menempuh kuliah. Terlalu sering dimanja membuat pemuda itu kerap kali seenak hati saat menjalani studi. Malah dengan santinya lebih sering menghabiskan waktunya untuk nongkrong dengan teman-temannya yang sudah lulus mendahului dirinya. Sampai di satu titik, kedua orang tuanya mulai geram dan menarik separuh dari fasilitas mewah yang selalu ia terima. "Jangan mentang-mentang udah dijamin pegang Galeea, kamu malah sepelekan kuliah kayak gini, Dek." Arya teringat sangat sang ibu yang mendadak mengomel saat mendapat lapiran dari asiaten piribadinya tentang kenakalan putra bungsunya. "Aku nggak pernah sepelekan, Ma. Dosen-dosen itu aja yang nggak ada belas kasih sama sekali kalau ngasih tugas." Arya tak suka disalahkan, jadi ia tuduh saja kalau dosen-dosennya itu yang kurang mumpuni dalam memberi materi. “Kamu aja yang malas, Dek. Jangan sampe mama dapat laporan dari Ghidan kalau kamu asik pacaran mulu sampe kuliah keteteran! Kalau tahun depan belum lulus juga, mama hapus nama kamu dari kartu keluarga!” Salah satu ancaman Hanami yang membuat Arya patuh seketika. Ghidan, ajudan yang selama ini mengikutinya dari jauh memang orang kepercayaan Hanami. Tak ayal, kegiatan Arya yang sering berganti kekasih dari satu gadis ke gadis lainnya sering bocor ke telinga sang mama. Syukurlah tak lama setelahnya Ghidan diperintahkan untuk mengawal Irawan, kakak keduanya, sehingga mau tak mau Arya memilki ajudan baru yang bisa ia sogok dan ancam sesuka hati agar hanya patuh padanya saja. Namanya Yoshi, pemuda berkulit gelap yang usianya hanya terpaut tiga tahun di atas Arya. Bisa jadi karena jarak usia yang tak terlalu jauh itu pulalah, ia dan Yoshi bisa lebih akrab layaknya teman. “Sampe lo bilang ke nyokap tentang hubungan gue sama Alisha, gue jamin kerjaan lo yang sekarang tinggal kenangan, jangan lupakan juga kalau elo bakalan gue tuntut ratusan juta karena penyebaran informasi pribadi.” Arya mulai memainkan perannya saat pertama kali Yoshi tahu tentang hubungan dekatnya dengan Alisha. Gadis manis nan lugu yang ia kenal lewat Marissa, teman satu angkatan yang menjadi kekasih Henry. “Dari sini paham ka—” “Emang dibolehin gitu sama orang tua Mas Arya?” lamunan Arya pecah saat suara Alisha kembali mengalun di indera pendengarannya. “Eh, gimana-gimana?” “Emang sama orang tua Mas Arya dibolehin gitu ngadain acara gini di villanya?” Alisha sama sekali tak tahu menahu perihal latar belakang keluarga Arya yang tersohor di kalangan pebinis tanah air. Gadis itu hanya tahu kalau kekasihnya itu berasal dari kalangan berada yang disegani di kampus mereka. “Astaga, Sha. Aku udah gedhe lho ini, hampir 24 tahun. Ya kali apa-apa masih ijin sama orang tua kayak anak balita. Asalkan mereka tau aku aman dan nggak aneh-aneh, semuanya sih aman.” Arya menjeda kalimatnya ketika menandaskan cokelat hangat di tangannya. "Lagi pula ya, kita tuh perlu lebih banyak menghabiskan waktu berdua kan, Sha? Beberapa bulan lagi aku terbang ke New York, tadi pagi kamu lihat sendiri gimana hasilnya. Aku berhasil lolos S2 di NYU." Alisha mengangguk pelan seraya mengeratkan tautan jemarinya di tangan Arya. "LDR-an dong kita ya… duuh, berat kayaknya, Mas," seru gadis itu lirih, "baru juga jalan bareng berapa bulan udah ditinggalin aja aku." "Nggak ditinggalin ah, cuma jarang ketemu aja nanti. Akan aku usahakan tiap beberapa bulan balik ke Indo biar kita bisa ketemu." Semudah itu Arya mengucap janji yang langsung dihadiahi lengkungan lebar di bibir merah muda kekasihnya. "Janji nih?!" Alisha mengangkat jari kelingking. “New York ke Jakarta jauh lho, bukan kayak Jakarta –Bandung.” "Apa sih yang nggak buat kamu, Sha. Terus, apaan deh ini, janji kelingking tuh kayak anak SD.” Arya malah terkikik melihat tingkah kekasihnya yang kekanakan dan cenderung menggemaskan. “Kalau udah segede kita, janjinya tuh kayak gini.." Tanpa basa-basi Arya langsung menunduk dan menempelkan bibirnya ke bibir mungil Alisha. Membuat gadis itu terkesiap dan merona seketika. Apalagi setelah mendengar sorak sorai dari teman-teman Arya yang masih ada di sekitarnya. "Woii, kamar kosongnya banyak kali!" teriak Rakha dan Henry semakin membuat Alisha malu dan salah tingkah. "Mas ih," Alisha sontak mendorong d**a Arya agar sedikit menjauh. "Sorry, sorry … sampe lupa sih kalau masih ada-ada di sini," gelak Arya langsung pecah juga. "Udah ah, aku mau ke kamar dulu. Ngantuk banget." "Masih jam segini, Sha," cegah Arya setelah melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. "Beneran ngantuk atau malu sama anak-anak tengil itu? nggak usah didengerin mereka," lanjut Arya menahan senyum saat melihat pipi Alisha semakin merah bak tomat masak. "Dingin banget, Mas. Dari pada aku beku cuma jadi penonton billiard di sini mending aku ke kamar aja sama Mbak Marissa." Sejak tiba di villa kemarin sore, Alisha memang berpasangan dengan Marissa menempati kamar di lantai atas. Sedangkan dua gadis lainnya menampati kamar tamu di lantai bawah. “Paling Marissa masih sibuk pacaran sama Henry tuh,” Arya melirik Henry yang berjalan menghampiri Marissa di teras sebelah. “Nggak apa-apa, aku tunggu di kamar aja,” pungkas Alisha langsung melesat pergi dari hadapan Arya. Memang ia menikmati ciuman singkat dengan kekasihnya, tapi tidak dengan ledekan dan canda tawa dari sahabat-sahabat Arya. Menurutnya itu adalah hal yang sangat memalukan. Melihat kekasihnya memilih kabur karena malu Arya hanya bisa tergelak kecil. Baru kali ini ia berhubungan dengan gadis cantik yang selugu Alisha. Kekasih-kekasihnya yang terdahulu malah bisa dibilang lebih ‘berani’ memulai kontak fisik dengannya. Alisha ini satu-satunya gadis yang mudah sekali merasa salah tingkah dan merona. Alisha yang sudah sampai di kamarnya, memilih langsung merebahkan diri di tepian tempat tidur. Tak berniat menunggu Marissa, gadis itu memilih memejamkan mata demi menjemput lelap. Hingga menjelang tengah malam, ia merasakan ranjang yang ia tempati memantul pelan. ‘Itu pasti Marissa.’ Alisha mengumam pelan karena masih berat membuka mata hanya untuk memastikan siapa sosok di balik punggungnya. Namun ternyata ia salah terka begitu merasakan lengan kekar yang dengan pelan melingkari perutnya dari belakang. Ini jelas bukan lengan Marissa, melainkan lengan milik pria yang ia cinta. Arya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD