Jabatan tangan Derwwin menandakan awal bahwa Arfeen benar-benar sudah diterima di negeri ini tanpa ada sedikitpun keraguan di dalam hati ksatria yang juga merupakan pemimpin sementara Tyrion itu.
“Kenapa kau menjabat tanganku?” tanya Arfeen, dia masih kebingungan. “Apa ada hal yang belum aku ketahui? Jika itu bukan suara Althaia lalu suara siapa?”
“Niscala memanggilmu,” katanya yang membuat dahi Arfeen semakin mengerut. “Ternyata Niscala sudah memanggilmu sejak lama sekali dan kami masih meragukanmu karena tidak mengetahui apapun. Aku minta maaf, Arfeen Tierra, aku minta maaf karena sudah meragukan kemampuan dan Niscala yang sudah ada di dalam dirimu.”
“Niscala di dalam diriku?” Arfeen ikut berdiri. “Kenapa kau mengatakan tentang itu dengan kalimat yang sulit aku mengerti? Tolong jelaskan dengan lebih pelan dan lebih jelas lagi jadi aku tidak perlu bertanya berulang-ulang kali.”
Derwin menatap Arfeen. “Tie- tidak, maksudku, Arfeen,” laki-laki yang sekarang menjentikkan jarinya dan membuat semua Althaia berkumpul mengelilingi kami berdua itu tersenyum.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Arfeen, dia merasa ketakutan karena dikelilingi oleh hewan-hewan yang terlihat mengintimidasi dan terlebih mereka semua sangatlah besar. “Kau tidak sedang memberi mereka perintah untuk membunuhku, bukan?”
“Kau pikir mudah memberi perintah untuk membunuh?” Derwin terkekeh. “Arfeen, Althaia juga memiliki akal meskipun terbatas, mereka mengetahui siapa musuh mereka dan kapan saat yang tepat untuk menyerang. Mereka tidak akan gegabah membunuhmu ketika kau memiliki bagian Niscala di dalam dirimu. Suara yang kau dengar di Saujana tidak semuanya merupakan suara Althaia atas perintahku, tetapi itu adalah panggilan Niscala untukmu, orang yang sudah diramalkan.”
“Siapa yang mendapat panggilan Niscala? Dan apa ini, Kak? Kenapa kalian berada di tengah-tengah kumpulan Althaia? Apa yang sedang kalian berdua lakukan sampai kami tidak bisa melihat kalian?”
Itu adalah suara Isolde, mendengar kata ‘kami’ yang dilontarkannya saja Arfeen sudah tahu bahwa dia datang dengan Varoon dan Denallie. Tetapi yang perempuan itu katakan benar, Althaia terasa seperti temboh raksasa yang mengelilingi Derwin serta dirinya sehingga tidak memungkinkan untuk mereka bertiga melihat Arfeen dan Derwin.
“Tetaplah di sana, ada yang ingin aku coba lakukan,” ujar Derwin, memberi perintah kepada adiknya. “Tugasmu hanyalah mengobati Althaia ketika salah satu dari mereka ini sudah tidak bisa menyembuhkan diri mereka sendiri.”
“Oy, Derwin, kau tidak akan melukai Arfeen, bukan?” seru Varoon. “Dia adalah harta berharga kita, jangan sampai latihanmu membuat dia terbunuh.”
“Kau pikir aku ceroboh?” decak Derwin kesal, ekspresinya berubah masam ketika mendengar suara Varoon. Mereka berdua terlihat seperti Tom and Jerry, selalu saja ada sesuatu yang memicu mereka untuk kesal kepada satu sama lain. “Aku juga mengetahui di mana batasanku, bodoh.”
“Apa yang akan kau lakukan?” tanya Arfeen. “Apa kau akan melukai salah satu Althaia?”
“Mereka adalah milikku, kenapa aku harus melukai milikku?” Derwin tersenyum. “Maksudku itu adalah kau, Arfeen, kau memiliki potensi untuk melukai mereka semua.”
“Apa maksudmu?”
“Kerahkan semua kekuatan yang ada di dalam dirimu, Arfeen Tierra. Buat dirimu merasa panik karena terancam, anggap aku sebagai seseorang yang akan membunuhku dan lawan aku dengan tenaga apapun yang ada di dalam dirimu.”
Ucapan Derwin bukan hanya pancingan biasa, dia sedang mencoba untuk memastikan apa yang ada di kepalanya mengenai sihir milik Arfeen yang tidak memiliki warnanya tertentu. Ini adalah hal paling luar biasa yang bahkan tidak dimiliki oleh penyihir sekelas Tierra dari ribuan tahun yang lalu.
Derwin menjentikkan jarinya dan salah satu Althaia bergerak dari posisinya dan mendekat ke arah Arfeen sementara yang lain langsung mengisi posisi Althaia tadi sehingga seluruh akses tetap terkunci.
“Apa.. apa ini?” Arfeen mundur selangkah demi selangkah dan terjatuh ketika mendengar Althaia yang mendekatinya itu melolong kuat. “Derwin, apa yang kau lakukan? Minta dia untuk berhenti mendekatiku!”
“Derwin, kau membuat kami penasaran!” teriak Denallie tetapi Derwin hanya diam dan mengamati bagaimana Arfeen akan melawan Althaia yang mendekatinya.
“Bukankah kemarin kau sudah belajar cara menggunakan sihir, Arfeen Tierra?” cibir Derwin. “Jika kau terus mundur dan menghindar seperti itu, mereka akan mencabik-cabikmu tidak lama setelahnya. Seperti penampilannya, Althaia bisa menjadi hewan yang tidak sabaran.”
“Ba-bagaimana bisa?” Arfeen mengambil batu dengan tangannya dan mencoba melemparkan batu itu ke arah Althaia yang mendekatinya, tetapi batu itu sama sekali tidak mengganggu hewan besar itu. “Aku tidak mengerti apa yang ada di dalam otakmu tetapi hentikanlah! Aku tidak tahu cara melawan!”
Derwin tidak menyerah, dia terus membuat Althaia itu mendekat dan menunjukkan taringnya yang tajam tepat di hadapan wajah Arfeen sehingga laki-laki itu langsung berteriak ketakutan dan langsung menutup matanya yang tadi sempat bertatapan dengan Althaia karena terkejut. Jantungnya berdegup kencang dan keringat dinginnya keluar.
Aish, Arfeen tidak ingin mati karena dimakan oleh hewan buas seperti ini.
“Isolde!” panggil Derwin.
Arfeen tidak tahu lagi apa yang terjadi, dia hanya merasa udara mulai masuk dari yang sebelumnya dia merasa seperti tercekik. Dia mendengar suara terkesiap tetapi dia tidak berani membuka matanya, bayangan gigi taring Althaia tadi masih lekat di ingatannya.
“Arfeen Tierra!” seru Varoon. Ya.. itu suara Varoon. “Sadarkan dirimu, Arfeen!”
Rasanya Arfeen sekarang sudah berpindah tempat sesaat setelah Varoon menyentuh bahunya. Hanya saja dia belum ingin membuka mata, seluruh tubuhnya gemetar karena takut dan terkejut.
“Kalau begini dia harus bisa mengontrol sihirnya, bisa terjadi sesuatu yang menghebohkan jika banyak yang tahu bahwa Arfeen memang memiliki sihir mematikan yang masih belum bisa dikontrol,” ujar Denallie dengan nada cepat. “Lagipula apa yang sebenarnya kau coba lakukan, Derwin? Dia terlihat sangat ketakutan dan hewan kesayanganmu itu menjadi batu karena perbuatanmu.”
“Ini di luar dugaanku, aku pikir dia akan menggunakan sihir yang mengandalkan kekuatan tangannya. Siapa yang menyangka bahwa dia benar-benar mewarisi kemampuan yang dimiliki oleh Niscala dari ribuan tahun lalu? Aku tidak menduga tatapan matanya bisa menjadi menakutkan,” jelas Derwin. “Bagaimana? Kau bisa meluluhkan sihirnya?”
“Tidak,” jawab Isolde. “Aku tidak tahu caranya. Lebih baik kita tunggu Arfeen tenang dan kita cari solusinya bersama-sama karena jika dia kembali menatap objeknya yang sudah menjadi batu dengan emosi yang tidak stabil seperti sekarang, maka objek itu akan menjadi abu.”
“Aku bersyukur kemarin aku tidak menjadi batu ketika mencoba untuk melawannya,” sahut Varoon, dia menepuk-nepuk punggung Arfeen. “Arfeen Tierra, tenangkan dirimu.”
Entah berapa lama Arfeen tenggelam dalam ketakutannya, dia tidak bisa mendengar apa yang dikatakan teman-temannya itu dengan jelas karena sibuk meredakan ketakutannya. Jantungnya yang berdegup kencang membuat telinganya kesulitan fokus untuk mendengar apapun. Jadi ketika degupan jantungnya mulai mereda dan kembali seperti semula, Arfeen memberanikan diri untuk membuka mata.
“Wah, kau memang penakut yang parah ya, Arfeen Tierra?” ledek Denallie. “Kau tenggelam dalam ketakutanmu selama lebih dari dua jam dan sekarang matamu masih terlihat ketakutan.”
“A-apa.. apa yang terjadi?” tanya Arfeen. “Di mana yang lainnya?”
“Minumlah dulu!” Denallie meletakkan gelas dari kayu di hadapannya yang sudah berisi air. “Itu akan membuatmu lebih tenang. Setelah itu kita akan kembali ke hutan.”
Benar. Arfeen sedang berada di hutan tetapi siapa yang memindahkannya ke ruangan miliknya? Bagaimana bisa saat tersadar dia sudah meringkuk ketakutan di atas ranjangnya dan bukannya di atas bebatuan tempatnya bersama kawanan Althaia tadi?
“Kau tidak ingat apa yang sudah terjadi, Arfeen?” tanya Denallie.
“Aku..” Arfeen berusaha mengulang apa yang terjadi. “Althaia itu menunjukkan taringnya dan aku berteriak ketakutan dan menutup mataku. Aku tidak tahu apa yang terjadi setelahnya dan aku tidak bisa mendengar apapun dengan jelas.”
“Menurutmu bagaimana cara membuat benda atau makhluk yang sudah berubah menjadi batu bisa kembali ke keadaannya yang semula?”
“Huh?” Arfeen menatap Denallie. “Apa maksudmu?”
“Arfeen Tierra,” Denallie tersenyum. “Benar kata Derwin, kau menjadi semakin menarik hari demi hari. Baru berapa hari kau ada di sini dan kau sudah membuat kami takjub dengan kekuatan sihirmu yang berada di level atau tingkatan yang berbeda dengan kami.”
Arfeen masih menunggu penjelasan yang lebih bisa dimengerti.
“Kau tidak sadar, ya? Kau itu sudah membuat Althaia yang mendekati dan menunjukkan taringnya kepadamu berubah menjadi batu- tetapi tenang saja, dia hanya menjadi batu tetapi dia masih hidup karena bola matanya masih bergerak, sama seperti Kasdeya yang kau buat membatu di udara,” Denallie mendekat untuk mengambil gelas kayu tadi. “Tetapi kami tidak tahu apakah jika kau menatapnya sekali lagi, dia akan hancur dan menjadi abu seperti para Kasdeya yang kau lawan itu.. intinya, ayo kembali ke hutan dan selesaikan apa yang sudah kau mulai.”
***