MS. 11: Bekas

1513 Words
“Haruskah kau menciumnya untuk menghukumnya?” tuding Eva pada Andreas saat melihat pria itu keluar dari kamar istrinya dan membanting pintu. Andreas memunggungi gadis itu untuk mengunci pintu. “Cara itu efektif, toh!” sahut Andreas. “Aku tidak mungkin memukulnya, Eva, dia bakalan remuk dengan sekali tepukan.” Andreas lalu berjalan menghindari tatapan Eva. Gadis itu berlari kecil mengiringinya. “Kau menciumnya, kau mencium banyak wanita, kau mencium siapa saja, tetapi kenapa kau tidak pernah menciumku?” debat gadis itu. “Eva, kau perempuan spesial bagiku, aku tidak mungkin memperlakukanmu seperti wanita biasa ....” Eva merengek kesal. “Aku tidak mau menjadi spesial. Aku ingin menjadi wanita biasa bagimu! Aku ingin kau menciumku dan meniduriku!” “Eva, kau masih terlalu muda ...,” ucap Andreas tanpa menoleh sekilas saja pada gadis itu. “Sylvia seumuran denganku. Bahkan lebih muda, tetapi kau menciumnya, bahkan menikahinya.” “Situasinya berbeda, Eva ....” Andreas heran sekaligus kesal kenapa Eva bersikap sangat cemburu sejak Sylvia hadir padahal bukan hal baru bagi Eva melihatnya main perempuan. Eva berada di depan Andreas sehingga langkah Andreas terhenti dan mata mereka bertatapan. “Di mananya yang berbeda? Aku wanita, dia wanita. Kenapa kau tidak pernah menyentuhku seperti kau menyentuhnya?” Kesabaran Andreas mulai habis. Ia membentak gadis itu sambil menunjuk ke arah kamar istrinya. “Karena aku bisa membuangnya dengan mudah, sedangkan kau ...,” Andreas menurunkan tangannya dan berkata lebih pelan, “aku tidak akan pernah membuangmu. Kau akan selamanya bersamaku.” “Bersamamu ... tetapi tidak cintamu. Itu menyakitkan, Andreas .... Kau kejam! Hiks ....” Eva pun berlari menjauhi Andreas. Andreas hanya menggerutu pelan. “Dasar perawan! Merepotkan saja!” Sementara itu, di kamar, juga ada yang menangis. “Heu hu hu huuuuu ....” Sylvia menangis sesenggukan di tempat tidur setelah Andreas mengunci kamar dan terdengar langkah berat menjauh. Dia meremas sebelah payudaranya yang terasa nyeri bekas lumatan pria itu dan melirik di balik bantal, geligi Andreas tercetak di seputaran tonjolan merah muda pucuk buah dadanya.. Bagaimana jika bekas itu tidak mau hilang? Selamanya dia akan teringat pria paling berengsek di dunia pernah menggigitnya di bagian paling dibanggakannya sebagai perempuan. Sylvia menangis lebih kencang lagi. “Heu hu hu huuu, Andreas berengsek!” makinya. Gaun terbaik yang dimilikinya telah rusak oleh tangan pria itu, begitu juga pakaian dalamnya. Sylvia merasa harga dirinya telah ditindas dan keinginannya untuk lepas dari Andreas semakin besar. Namun kali ini dia harus sabar agar rencananya tidak gagal lagi. Sylvia pun berusaha menguatkan diri. Dia menahan tangisnya, turun dari ranjang dan memperbaiki penampilannya dengan mengganti pakaian. Dia mengenakan gaun panjang warna merah muda yang sudah memudar. Dia kembali ke tempat tidur lalu meringkuk sambil mendekap bantal. Tangisannya pun mereda seiring dengan khayalannya mengembara keluar melalui jendela yang terbuka lebar. Tampak jalan setapak setidaknya 1 km sampai ada bangunan lain dan jalan umum. Dia bisa berlari menempuh jarak itu sampai ke jalan umum dan dari sana dia bisa menemukan tumpangan ke kota lalu mencari stasiun kereta api dan pulang ke Remington. Tantangan terberatnya berarti hanya jalan panjang menuju kediaman Bournemouth serta biaya perjalanan. Dia tidak punya uang sepeser pun. Sylvia teringat peti harta Bournemouth di ruangan di bawah. Ya, dia bisa mencuri dari sana. Namun untuk melakukan itu dia harus mewaspdai Dante. Pria itu raja pengintai, tetapi ia pasti juga memiliki saat lengah. Sylvia yakin dia akan menemukan momen yang tepat. Keadaan sunyi senyap. Tidak ada lagi suara tamu pesta Andreas membuat suara-suara lain terdengar. Sylvia mendongak ke langit-langit kamar karena terdengar derak kayu seperti ada orang berjalan di atasnya. Suara langkah itu bervariasi, ada yang lambat, ada yang cepat, lalu kembali sunyi. “Mungkin tikus,” gumam Sylvia sambil berbaring dengan lebih santai. Rumah besar dan sekumuh kediaman Bournemouth sudah pasti banyak tikusnya dan Sylvia juga yakin tikusnya juga besar-besar seperti pemilik rumah. Membayangkan Andreas serupa tikus raksasa membuat Sylvia bergidik jijik. Dia pun menyelimuti tubuhnya. Menangis dan berpikir membuatnya kelelahan. Sylvia mengisi waktu menunggu waktu makan berikutnya dengan tidur siang. Sylvia rupanya pakar tidur. Ketukan di pintu dan panggilan orang menyebut namanya tidak bisa membangunkannya. Latanza harus masuk ke dalam kamar dan mengguncang tubuh Sylvia. “Nyonya, bangun, Nyonya! Saatnya makan siang.” “Aaah, jangan ganggu aku, aku masih ingin tidur. Pergi sana! Pergi!” erang Sylvia dalam tidurnya sambil menepis tangan Latanza. Latanza mendengkus lelah. Tiba-tiba dia punya ide cemerlang untuk membuat Sylvia terjaga. “Nyonya, Tuan Andreas datang untuk mencium Nyonya!” Dalam tidur Sylvia muncul lembu besar berambut gondrong siap menyeruduknya, lembu itu mendengus sambil mengangkat potongan daging panggang. Lembu itu memakan daging kaumnya sendiri. Sylvia seketika terbangun, duduk dengan mata terbuka lebar, menatap berkeliling. “Apa? Di mana dia? Jangan sampai Andreas mendekatiku lagi!” ujarnya panik. Latanza tertawa. “Saya hanya mengerjai Anda, Nyonya. Tidak ada Tuan Andreas di sini. Tuan sedang sibuk di ruangannya.” Sylvia merengut pada wanita itu. Latanza menyodorkan baki makanan. “Saatnya makan siang, Nyonya. Saya datang untuk mengantarkan makanan Anda. Ini, daging panggang.” Lagi-lagi daging panggang. Meskipun enak, setiap kali makan daging panggang rasanya jadi eneg. “Kenapa daging panggang melulu? Apa kalian tidak bisa masakan lain?” Latanza tertawa lagi dan menanggapinya santai. “Tuan Andreas makan ikan saja selama di laut. Jadi begitu di darat, Tuan Andreas akan makan hewan darat.” Oh, ya ampun. Alasan yang aneh lagi. Sylvia memutar bola matanya. “Setidaknya variasikan menunya. Mungkin dengan roti lapis atau roti isi dan sup.” Latanza langsung tersenyum terpaksa. “Ini menu kesukaan Tuan Andreas, Nyonya. Tuan Andreas memakan apa saja yang ditemukannya selama melaut dan kadang kala tidak layak dimakan. Saat di darat Tuan Andreas akan memakan apa yang disukainya.” Oh, lagi-lagi. Sylvia mendelikkan mata mencemooh. “Ya sudah! Karena dia tuan rumah aku harus menyesuaikan dengannya,” tukas Sylvia sambil memangku baki makanannya. Lagi pula dia tidak akan berlama-lama di rumah Bournemouth. Sylvia pun menyantap menu kesukaan suaminya itu. Latanza meninggalkannya dan akan kembali untuk mengambil peralatan bekas makan. Saat makan Sylvia mendengar lagi suara langkah, benda diseret serta gumaman orang bicara. “Mungkin Andreas di atas bersama anak buahnya,” gumam Sylvia seorang diri. Maka sesuai janjinya dia tidak akan mencampuri urusan pria itu. Sylvia pun mengabaikan suara-suara apa pun yang didengarnya. Setelah berhari-hari memberi makan Blacky dan Darky, kedua anjing itu pun menjadi akrab dengannya. Mereka tidak menggonggong lagi padanya, bahkan menggoyangkan ekor dan menjulurkan lidah dengan senang melihatnya. Agar Dante tidak curiga, Sylvia sengaja tidak melongok lagi di jendela atau keluar rumah lagi. Merasa usahanya membuahkan hasil, Sylvia ingin memberi dirinya sendiri hadiah. Makan malamnya, dia meminta segelas anggur sebagai teman makan. Bournemouth cukup royal soal makanan rupanya. Sylvia mendapat sebotol penuh anggur yang sudah bertahun-tahun disimpan keluarga itu. Sylvia pun bersulang seorang diri di tempat tidurnya. Dia menikmati minuman layaknya bangsawan. Malam belum terlalu larut, anggur membuat Sylvia mengantuk. Gadis itu pun tertidur pulas di ranjangnya. Saking pulasnya sampai Sylvia berjalan dalam tidur. Pelan-pelan Sylvia turun dari ranjang. Rambut kecokelatannya yang panjang tergerai berantakan. Gadis itu mengenakan gaun tidur panjang berwarna putih dengan bahan tipis sehingga cahaya temaram menerawangkan lekukan tubuhnya. Dia berjalan dan membuka pintu kamar yang kebetulan tidak dikunci. Sylvia berjalan terseok di selasar rumah tua itu sambil bersuara lirih. “Pipis ... aku ingin pipis ....” Sylvia memang sering berjalan dalam tidur, terutama jika dia kehausan atau ingin buang air. Biasanya di rumahnya dan di rumah Paman George, dia sudah hapal lokasi ruangan yang dicarinya. Dan di rumah Bournemouth saat pintu terkunci, dia akan berjalan ke sana kemari sampai menemukan pintu toilet. Karena pintu kamar tidak terkunci, dia memasuki selasar. Sylvia menubruk dinding beberapa kali, tetapi itu tidak membangunkannya. Dia pun terus berjalan tidak tentu arah, menubruk sana sini hingga menimbulkan kegaduhan. Mendengar suara gaduh itu, Andreas yang sedang membaca sebuah buku di ruang belajar di lantai dua beranjak dari kursinya dan menengok ke selasar. “Sylvia?” gumamnya keheranan melihat sosok gadis berambut kecokelatan itu berada di selasar tidak seperti biasanya. Gadis itu berjalan ke arah Andreas, menubruk tubuh bongsornya dan melengos masuk ke ruang baca. Melihat matanya terpejam, Andreas segera menegur gadis itu. “Sylvia, kau mau ke mana?” Gadis itu berhenti dan menoleh padanya dengan mata tertutup lalu menunjuk tegas. “Jangan ikut campur! Aku mau pipis!” Gadis itu lalu lanjut berjalan lagi, menuju tumpukan buku di sudut ruangan. Mata Andreas terbelalak melihat Sylvia menaikkan gaun hingga ke pinggang lalu menurunkan celana dalamnya, membiarkan kain halus itu teronggok di lantai. Gadis itu mengangkat gaunnya lagi memperlihatkan lekukan lembut membentuk celah halus tempat muara air seninya keluar. “Woi, apa yang kau lakukan?” bentak Andreas, tetapi diabaikan gadis itu. Sylvia hendak berjongkok membuang hasratnya, akan tetapi Andreas segera menyadari niatnya. Ia bergegas mengangkat tubuh Sylvia, menggendongnya sambil berlari menuju ke kamar tidur sang Nyonya. Ia duduk memangku tubuh mungil istrinya di toilet dan memandu pipisnya. Suara desiran halus air mengalir yang membuat sekujur tubuh Andreas menggelinjang tidak karuan. “Ah, leganya ....” Sylvia mendesah tenang. Gadis itu bersandar damai di da.da Andreas yang tengah mengasuhnya. “Ah, sialan!” gerutu Andreas. Celananya terkena cairan hangat gadis itu, meresap hingga terasa mengguyur moncong saluran kencingnya sendiri. Hal itu menimbulkan dorongan yang tidak bisa ditahan dari dalam diri Andreas. Ia pun ingin kencing juga. Andreas tidak punya pilihan lain kecuali melepas seluruh celananya dan menyalurkan hasratnya. * Bersambung .... (05/12/2020) (/^-^(^ ^*)/ Heheheee . Pernah gak pipis dibantu pasangan? Hehehe add story ke library dengan tap (❤️) dan download episode buat baca offline. Terima kasih dan sampai jumpaa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD