Antara Kevin dan Adrian.

1009 Words
"Ini, makanlah. Kau istirahat dahulu." Alika memberikan sebungkus roti dan minuman dingin pads Sherin. Sherin masih setia duduk di samping pamannya yang belum sadarkan diri. Dalam hatinya terus berharap untuk kesembuhan sang paman. "Terimakasih Alika, tapi aku tidak lapar." Sahutnya lembut. Bagaimana Sherin bisa menelan makanan disaat seperti ini. Melihat tubuh sang paman yang terbaring tak sadarkan diri dengan luka pada bagian perut dan wajah yang masih sangat sembab. Berbanding terbalik dengan Sherin, Alika justru menaruh kekesalan saat melihat wajah Romi yang sedang tak berdaya seperti itu. "Cih... Jika aku yang berada di posisimu. Lebih baik aku tidak punya keluarga sekalipun dari pada harus makan hati karena ulah pamanmu ini." Sambil menatap Romi dengan tampang jijiknya. Wajar saja jika Alika berfikir seperti itu. Sebagai sahabat Sherin, dirinya sudah terlalu sering melihat Sherin tersiksa akibat ulah pamannya sendiri. Apalagi saat mengingat Sherin nyaris saja di perkosa di depan matanya sendiri karena Romi yang berada di bawah pengaruh alkohol. Beruntung Alika memukul punggung Romi menggunakan sapu, sehingga Sherin bisa menyelamatkan dirinya. Berulang kali Alika mengajak Sherin untuk tinggal bersamanya, namun selalu di tolak oleh Sherin dengan berbagai alasan. Sherin bukan tak mau, hanya saja ia takut merepotkan Alika dan ibunya yang hidup juga pas pasan, mengingat ibu Alika menggantungkan hidupnya dari hasil berjualan nasi goreng dan pecel lele di malam hari. Sementara Alika masih kuliah dan kerja sambilan di hari libur saja. "Minumlah ini, setidaknya bisa membuat tenggorokanmu basah." Lagi lagi Alika memaksa Sherin dengan mata yang membesar. "Baiklah, baiklah, mana bisa lagi aku menolaknya jika sudah seperti ini." Sahut Sherin sambil mengambil minuman dari tangan Alika dan meneguknya perlahan. Sherin kembali terdiam, kata kata petugas administrasi itu masih terngiang di telinganya. 'Siapa yang sebenarnya telah membayar biaya perawatan paman?' Batinnya bertanya tanya. "Sherin, hei... Apa yang sedang kau pikirkan?" Tanya Alika. Sherin akhirnya mengajak Alika untuk keluar dari ruang rawat inap Romi, karena ada pasien lain yang harus beristirahat di dalam ruangan itu. "Kau kenapa, Sherin?" Tanya Alika lagi saat mendaratkan bokongnya di kursi luar ruangan. Sherin menceritakan keheranannya pada Alika. * Flashback On * "Nona, anda tidak perlu khawatir. Semua biaya pasien atas nama Romi telah di bayar penuh." Ucap petugas perempuan itu. Kali ini kaki Sherin justru semakin lunglai dan terasa tak bertulang saat mendengar fakta lain dari mulut sang petugas administrasi itu. "Haa? Mm..maksudnya? Ini semua sudah lunas?" Petugas perempuan itu menganggukkan kepalanya seraya tersenyum. "Tt...tapi... Jika boleh, aku ingin tahu siapa yang telah bersedia membayar uang dalam jumlah sebanyak ini? "  "Maafkan aku, Nona. Aku tidak bisa memberitahukan identitasnya, karena yang bersangkutan tidak ingin namanya di ketahui. Aku hanya menjalankan tugas saja." Sahut perempuan itu jujur. "Emm... Baiklah kalau begitu. Terimakasih." Sherin melangkah kembali dengan rasa penasaran yang teramat besar.  * Flashback Off * Sherin menghela nafas panjang setelah menceritakan pada Alika. Sherin benar benar ingin bertemu dengan dermawan yang telah membantunya itu.  "Beruntung sekali pamanmu itu. Padahal ulahnya sendiri, tapi masih saja ada yang membantunya menyumbangkan uang sebanyak itu untuk biaya perawatannya selama disini." Ucap Alika ketus. Kedua iris coklat bening milik Sherin melirik Alika dengan tatapan lesu. "Alikaaaa... Dia tetap pamanku."  "Iya iya iya... Dia pamanmu, pamanmu yang sangat saaaayaaang padamu." Seraya memutar matanya malas. Seketika sebuah senyuman terbit di wajah Sherin mendengar ucapan Alika yang pada dasarnya justru sebaliknya. Tapi Sherin tak perduli, yang jelas ia sangat bahagia jika ada yang mengatakan bahwa sang paman begitu menyayanginya. ***** Sore ini Sherin berniat untuk pulang ke kediaman Heri dan Lina, karena sejak pagi ia tak memberi kabar pada Lina. Ia juga berniat meminta izin pada calon mertuanya itu untuk menginap di rumah sakit menjaga sang paman. "Ya tuhan, aku lupa membawa tas dan dompetku. Bagaimana caranya aku bisa pulang? Dan juga aku tidak mengetahui persis alamat rumah tuan Heri." Sherin mendengus kesal sembari mengacak acak rambutnya. "Oh iya, Veldian kan tadi meninggalkan nomor ponselnya. Aku akan meminta tolong sekali lagi dengannya." Bergegas mencari nomor Veldian, matanya berbinar saat mendapati nomor yang akan dituju.  Sialnya saat gambar gagang telfon berwarna hijau baru akan disentuhnya, ponsel miliknya tiba tiba saja mati, karena kehabisan daya. "Aaahh... Sial sekali... Aaaaa... Bagaimana caranya aku pulang..." Rengeknya seperti anak kecil dengan kepala yang menyender di dinding. Dari kejauhan, Adrian yang baru saja keluar dari ruang kerjanya tak sengaja melihat Sherin yang merengek menghentakkan kakinya sambil mengucapkan kata kata 'Bagaimana aku pulang' berulang kali. "Bocah, apa yang kau lakukan?" Suara Adrian yang datang tiba tiba dari arah belakang benar benar mengejutkan Sherin. "Astaga... Kaget aku." Ucapnya sambil mengelus dadanya beberapa kali. "Ayo cepat." Tanpa melihat wajah Sherin. "Kemana?" Tanya Sherin dengan dahi yang berkerut. "Pulang."  "Memangnya siapa yang akan pulang denganmu?"  "Terserah, pulang saja sendiri kalau kau yakin akan sampai di rumah ku." Adrian berjalan meninggalkan Sherin yang masih berlagak sombong pada Adrian. "Kau... Kau... Iiihh..." Sekali lagi, Sherin berhasil di buat kesal oleh Adrian. "Adrian, tunggu aku." Sambungnya sambil berlari menyusul langkah Adrian yang lebar. Ketika keduanya tiba di parkiran mobil, tiba tiba saja Sherin kembali di kejutkan dengan kehadiran Kevin secara tiba tiba.  "Sherin, tunggu." Mendekati Sherin dan Adrian. "Kevin. Kenapa dia bisa disini?" Ucapnya pelan. "Tsh, pangeran berkuda putih telah tiba." Adrian menyela dengan wajah meremehkan. Tatapan mata Sherin pada Adrian terlihat begitu tajam, jika saja yang memanggilnya bukan Kevin ia tak akan tinggal diam mendengar perkataan Adrian yang secara tidak langsung mengejek Kevin. "Bagaimana keadaan pamanmu? Kenapa kau tidak memberitahuku, Sherin?" Seperti itulah Kevin, selalu mencemaskan Sherin dalam keadaan apapun. "Kenapa kau disini?" Bukannya menjawab pertanyaan Kevin, Sherin justru balik bertanya. "Tentu aku akan datang. Aku khawatir jika paman akan menyakitimu kembali." Jawaban yang sama dengan yang di ucapkan Alika. Sherin lagi lagi menggelengkan kepalanya dengan senyuman tipis di bibirnya. "Aku ti-" "Terima kasih telah mengkhawatirkan Sherin. Dia tidak apa apa, selama aku di sampingnya." Menarik pinggang Sherin hingga mendekat dengannya. Sherin yang siap dengan perlakuan manis Adrian itu tak sengaja menjatuhkan kepalanya di d**a bidang Adrian. Hal itu semakin membuat Kevin terbakar api cemburu. "Sherin... Ikut denganku." Ajak Kevin sambil menarik lembut tangan Sherin. "Tolong berlaku sopan." Adrian menegaskan suaranya hingga membuat Sherin kembali menatapnya tajam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD