Pavilliun

1047 Words
"Selesai." Sherin berkecak pinggang di depan meja rias yang telah di isi dengan semua barang pribadinya, mulai dari parfum, lips, pita rambut dan lainnya. "Tempat ini jauh lebih nyaman di banding kamar itu. Walaupun tidak terlalu besar, tapi aku sangat menyukai desainnya yang unik." Sambil mengedarkan matanya ke seluruh ruangan. Ruangan yang di d******i kaca itu begitu terasa sejuk karena posisinya yang berada di dekat taman belakang yang di penuhi dengan berbagai macam tanaman serta bunga bunga cantik. Di dalamnya terdapat satu ranjang beserta kasur berukuran besar, lengkap dengan nakas di sisi kiri dan kanannya, satu lemari pakaian yang juga cukup besar, satu set meja rias dan sebuah sofa panjang beserta meja persegi melengkapi paviliun itu. "Seperti inikah rasanya menjadi keturunan konglomerat? Semua fasilitas mewah bisa di dapat hanya dengan memejamkan mata saja." Sherin menjatuhkan dirinya di atas kasur. "Seperti ini." Sambil menggerakkan kaki dan tangannya yang terlentang dengan mata terpejam. Gadis itu perlahan tertidur dengan posisi yang tak berubah sedikitpun. Perang batin yang di alaminya membuat gadis itu semakin mudah lelah dan melupakan jadwal makan teratur. Seperti saat ini, Sherin tidur dengan kondisi perut kosong yang hanya di isi dengan air minum sebelum ia pergi menemui Alika. Senja hampir menghilang untuk berganti dengan malam. Tapi gadis cantik itu masih tertidur dengan nyenyak, tanpa ada gangguan sama sekali. Di rumah utama terdengar suara Veldian yang begitu mendominasi di antara para pelayan rumah tangga yang sengaja di panggilnya. "Kenapa kalian membiarka Sherin menempati paviliun itu? Apa kalian pikir dia orang lain atau tamu di rumah ini? Hah?" bentaknya pada dua pelayan wanita salah satunya Rika. Kedua pelayan muda itu menundukkan kepalanya sopan, ada raut kekhawatiran menyelimuti keduanya saat melihat sang majikan begitu emosi. "Mm-maafkan kami, Tuan. Nona Sherin mengatakan sudah mendapat izin dari Nyonya besar," ucap Rika tertunduk. Veldian berjalan menuju sebuah kamar besar yang merupakan kamar utama sebuah rumah mewah itu. Tok... Tok... Tok... "Ma, ma, mama..." panggil Veldian dengan satu tangan yang mengetuk pintu kamar Lina. Tak perlu menunggu lama, Lina dengan santainya membuka pintu kamarnya. "Ada apa Vel?" tanya Lina dengan suara lembutnya. "Ma, kenapa mama memberi izin pada Sherin untuk menempati paviliun belakang?" Menatap Lina dengan wajah seriusnya. Lina tersenyum, perempuan paruh baya itu menutup pintu kamarnya dan berjalan menuju kursi yang ada di pinggir kolam renang tepat di bagian sebelah rumah itu. "Sherin sepertinya butuh ketenangan dari gangguan kakakmu itu. Biarkan saja, selama dia masih berada di rumah ini tidak masalah dia ingin memilih tempat untuknya beristirahat." Lina memberikan pengertian pada Veldian. Setelah mengetahui Sherin akan menjadi bagian dari keluarga itu, Veldian memang terlihat antusias untuk melindungi Sherin. Terlebih ia telah mengetahui siapa Sherin sebenarnya, walaupun masih ada beberapa hal yabg harus di pastikannya kembali. Di banding Adrian, Veldian terlihat lebih perhatian pada Sherin. Putra bungsu Heri dan Lina itu bahkan lebih cocok untuk di sandingkan dengan Sherin karena sifatnya yang sedikit lebih lembut di bandingkan Adrian. Dan juga, Veldian tidak memliki pasangan lain seperti Adrian yang memiliki Tiara. Tapi entah kenapa kedua orang tuanya justru memilih untuk menyandingkan Sherin bersama Adrian. "Adrian itu, memang kelewatan. Kalau dia tidak ingin menikah dengan Sherin setidaknya jangan perlakukan gadis itu seperti ini." Veldian berkecak pinggang dengan wajah masamnya. "Apa Sherin sudah keluar dari sana?" tanyanya. "Sepertinya belum, tadi mama sudah meminta Rika untuk melihatnya ke sana, sepertinya dia masih tertidur." "Biar aku saja yang melihat langsung," sahutnya lalu berjalan meninggalkan Lina. Langkah kaki Veldian menyusuri bahian belakang rumahnya, melewati taman indah yang di tunbuhi berbagai macam buah buahan serta bunga bunga yang sangat indah hingga terhenti di sebuah bangunan kecil yang terpisah dari bangunan utama rumah tersebut. "Sherin, Sher..." teriak Veldian dari luar pintu kaca paviliun tempat Sherin tinggal. Beberapa detik Veldian berdiri namun tak kunjung mendapat jawaban dari Sherin. Veldian terus menggedor kaca bangunan itu hingga akhirnya pintu kamar terbuka. Dari balik pintu kaca yang terbuka, terlihat Sherin yang tengah berdiri lesu dengan mata yang masih tertutup akibat rasa kantuk. "Siapa?" ucapnya terdengar parau karena belum tersadar sepenuhnya. Sherin bertahan pada pintu kaca itu sembari menyenderkan kepalanya dengan sebelah kaki yang sedikit terangkat karena terkilir. "Astaga, kau belum bangun juga? Matahari sudah tenggelam kau belum juga bangun. Apa kau sudah makan?" tanya Veldian sembari menggoyangkan tangan Sherin. Gadis itu menggelengkan kepalanya lesu, "Aku tidak ingin makan, aku hanya ingin tidur saja." "Ya sudah kalau kau tidak mau bangun, aku tidak jadi memberitahumu mengenai Gallen." Bersiap untuk pergi dari hadapan Sherin. "Eh... Tunggu tunggu, kau jangan pergi. Aku sudah bangun, iya sudah." Sembari mengusap wajahnya agar terlihat segar. Veldian tersenyum puas melihat Sherin yang segera menyadarkan dirinya. Tangan Sherin di tarik oleh Veldian untuk mengikutinya. "Aww... Sakit," rengek Sherin saat kakinya yang terkilir tersentak akibat mengikuti langkah Veldian yang cepat. Veldian menghentikan langkahnya. Pria itu spontan membalikkan badannya untuk melihat yang terjadi di belakangnya. "Kau kenapa Sher?" tanya Veldian panik. "Tidak, hanya saja kakiku masih belum bisa bergerak cepat." Sembari menahan sakit dengan mata yang sedikit terpejam. Veldian segera berjongkok untuk melihat pergelangan kaki Sherin yang terkilir, tanpa aba aba pria itu mengangkat tubuh Sherin dan membawanya hingga tiba di kursi makan. Veldian menurunkan Sherin dengan sekali hentakan secara perlahan, "Kau harus makan, setelah itu akan ku beritahu semuanya," titah Veldian sembari menyodorkan beberapa makanan berat di hadapan Sherin yang sedang duduk patuh. Walau tak mempunyai selera untuk makan, Sherin memaksakan dirinya untuk tetap meghabiskan makanan yang telah di sediakan untuknya. Ia tak ingin karena ini, ia akan melewakan informasi yang sangat penting baginya. "Kau tidak makan Vel?" tanya Sherin melirik Veldian yang terus menatapinya dengan tatapan tak terbacanya. Pria itu menggeleng, matanya tak terlepas dari sosok Sherin yang sedang mengunyah makanan dengan mulutnya yang penuh. "Buka mulutmu," pinta Sherin sembari menyodorkan sendik yang telah berisikan makananan yang sama dengannya. "Aku tidak mau," sahut Veldian datar. Sherin merubah posisi duduknya menghadap Veldian, lalu secara paksa membuka mulut calon adik iparnya itu dan menyuapkan sendok kedalan mulutnya. "Aa-aku tidak mau..." Veldian menutup mulutnya dengan tangan kanannya. "Tidak, kau harus makan juga. Jika kau sakit kau tidak bisa membantuku lagi. Hehehe..." Sherin terkekh sembari memaksa mulut Veldian untuk terbuka. Keduanya terlihat saling bergurau, hingga akhirnya Sherin berhasil menyuapkan sendok yang berisikan makanan ke dalam mulut Veldian. Tiba tiba keduanya terdiam saat mendengar suara dari belakang. "Eheem... Apa yang kalian lakukan?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD