KonPers (2)

1130 Words
Tt..tidak... Memangnya ada berita apa sampai harus melakukan konferensi pers?" Gadis itu benar benar tidak tahu apa yang sedang di bicarakan keluarga terpandang itu. Heri dan Lina menghela nafas bersamaan, jika Lina menghela nafas lesu, Heri justru menghela nafas kasar. Laki laki paruh baya yang baru saja pulang dari luar kota itu terlihat menyimpan amarah di balik sorot mata tajamnya. "Scandal hubungan antara kedua calon suami istri yang merupakan dokter sukses sekaligus anak dari konglomerat terkenal Heri Darmawan." Veldian mempraktekkan cara membaca ala ala media gosip. "Ya, kirang lebih seperti itulah judul yang tertera pada paragraf awalnya," sambungnya sembari terkekeh dan menunjukkan pada Sherin sebuah berita yang tersebar dari dalam ponsel canggih miliknya. Terlihat jelas dari dalam ponsel Veldian beberapa gambar gambar mereka di antaranya Sherin bersama Kevin yang sedang memasangkan jaket untuknya dan Tiara yang tengah menggandeng mesra Adrian saat berada di sebuah kedai minuman beberapa hari lalu. Ternyata berada di lingkungan orang terkenal seperti keluarga Heri Darmawan membuat Sherin benar benar tak menyangka hidupnya akan di kelilingi banyak mata yang memperhatikan gerak geriknya. Apalagi yang akan terjadi setelah ini? Bahkan Sherin tak bisa membayangkan hidupnya seperti apa kedepannya setelah benar benar menikah dengan Adrian yang merupakan dokter yang dikenal banyak orang karena kesuksesannya di usia muda, juga embel embel nama Heri Darmawan yang tidak bisa lepas darinya membuat Adrian mempunyai pesona tidak kalah dari seorang artis. Mata gadis itu membulat sempurna, sekedar untuk menelan salivanya saja terasa begitu sulit. "Ii...itu..." "Aku sudah mengatakan untuk tidak pergi sendirian dan jangan berbuat hal di belakangku. Kenapa kau melanggarnya?" Suara Heri mendominasi seluruh ruang makan hingga membuat Sherin menundukkan kepalanya. "Mm...maafkan aku tt...tuan... A-" "Apa kau benar benar ingin kabur?" bentak Heri pada Sherin di iringi dentingan suara pisau dan garpu yang berjatuhan di atas piring yang berisi menu sarapannya. Gadis itu terkejut, hingga membuat tubuhnya terperanjat. Matanya terpejam takut, ketakutan akan sosok Heri yang terlihat mengerikan terjadi lagi. Peluh peluh kecil meulai keluar membasahi permukaan dahinya. "Tt...ttidak tuan." Sambil menggelengkan kepalanya cepat. "Aku tidak mau tahu, jika kau ingin pria itu selamat. Maka jangan pernah kau temui pria itu. Apa kau dengar?" bentak Heri lagi. Sherin mengangguk cepat, satu satunya hal yang bisa di lakukannya. "Pa, kenapa kau berteriak padanya. Lagian kau juga tahu kalau aku memang mempunyai hubungan dengan Tiara. Dan dia... Dia ti-" "Diam kau." Heri bangkit dari duduknya memukul meja makan yang terbuat dari kaca hingga menimbulkan suara. "Semua ini terjadi juga karena ulahmu sendiri." Sambungnya dengan wajah yang memerah padam. Veldian memutar kedua bola matanya, malas. Heri dan Adrian seperti anak dan ayah tiri yang tidak pernah sepemikiran. Hingga akhirnya Lina turun tangan melerai perdebatan antara keduanya. ***** Adrian, Sherin, Heri, Lina dan juga Veldian telah tiba di sebuah hotel yang akan menjadi tempat konferensi pers mereka. Di liputi rasa cemas dan gugup, Sherin memberanikan dirinya untuk tampil elegan dan tetap tersenyum di hadapan banyak awak media yang telah menunggu kehadiran keempatnya. Peristiwa seperti ini bukanlah hal yang biasa untuk Sherin, jangankan untuk terekspos media, melihat wartawan mendekstinya saja tidak pernah. Heri dan Adrian dengan tenang secara bergantian meluruskan tentang berita panas yang sedang marak di bicarakan di kalangan pebisnis dan juga dokter. Sesi tanya jawab dimulai, kini giliran Sherin yang harus bersiap di lempari pertanyaan pertanyaan pedas dari para awak media. "Benarkah anda sebelumnya bekerja di salah satu club malam terbesar di kota ini sebagai karyawab biasa?" Salah satu wartawan wanita yang sedang memegang sebuah buku kecil dan pena di tangannya melemparkan pertanyaan pada Sherin. Adrian dan lainnya terkejut dengan pertanyaan itu. Heri bersiap untuk berdiri dari duduknya dengan mata yang benar benar mengerikan menatap wartawan perempuan itu, namun gerakan tangan dan kepala Sherin nyatanya mampu menggagalkan niat Heri. "Terimakasih untuk pertanyaannya. Saya akan menjawab dengan sejujurnya. Saya seorang yatim piatu, dan dulunya memang hanya seorang karyawan biasa yang bekerja di club malam. Dan keluarga pak Heri yang telah mambawa saya pergi dari sana." Sherin menjelaskan dengan tenang. Memangnya untuk apa menutupi semua kebenaran? Lagipula, tanpa di beri tahupun rasanya kecanggihan awak media akan mengetahui dengan jelas latar belakang Sherin saat ini. Dari beberapa pertanyaan yang di ajukan oleh para wartawan itu, ada satu pertanyaan yang membuat Sherin tak mampu untuk menjawabnya. "Nona, apa benar terbunuhnya seluruh anggota keluargamu karena berhubungan dengan bisnis gelap?" Pertanyaan yang meluncur begitu saja dari bibir wartawan lainnya berhasil membuat tubuh Sherin bergetar. Aliran darahnya terasa terhenti begitu saja mendengar sesuatu yang sebelumnya sama sekali tidak di ketahuinya. Adrian dan Veldian terkejut mendengar pertanyaan yang di lontarkan untuk Sherin. Bagaimana bisa wartawan itu mendapatkan informasi terkait kematian kedua orang tua dan kakak Sherin yang terjadi beberapa tahun belakang. Bahkan mereka sendiripun tidak mengetahui penyebab kematian kedua orang tua Sherin hingga saat itu. Adrian yang duduk di sebelah Sherin segera menarik tangan Sherin yang terlihat gemetar. Di tatapnya wajah nanar Sherin persis seperti kejadian malam itu saat ia mengalami mimpi buruk. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Adrian segera menarik tangan Sherin untuk berdiri dari duduknya dan meninggalkan tempat itu. Bersamaan dengan itu, Veldian mengekori keduanya untuk melindungi dari kejaran para awak media yang selalu haus akan berita dan menjadikannya sebagai konsumsi publik. "Saya rasa konferensi pers hari ini cukup sampai disini. Terima kasih untuk semuanya." Tutup Heri dengan amarah yang ditutupinya lalu pergi bersama Lina yang mengikuti dari belakang. Di dalam mobil pribadi milik Adrian, Sherin terlihat tengah duduk dengan tatapan kosong serta tangan yang masih gemetar. Tidak tahu apa yang sedang di rasakan gadis itu, tapi Adrian bisa menyimpulkan bahwa Sherin tengah di hantui bayang kelam kematian kedua orang tua dan kakak kandungnya itu. "Sher... Lihat aku..." Adrian memberikan perintah pada Sherin sembari menggoyangkan tangan gadis itu. Beberapa kali Adrian melakukan hal yang sama tapi tak kunjung mendapat respon dari Sherin. Bahkan saat ini Sherin meneteskan air mata tanpa suara ataupun isakan sedikitpun. "Sher, apa kau mendengarku? Lihat aku, aku Adrian. Hei..." Sambil menarik wajah Sherin untuk melihatnya. Gadis itu semakin tertunduk. Kini kedua kakinya dijadikannya tumpuan untuk menopang dagu dan melingkarkan kedua tangannya. Seperti orang yang sedang ketakutan. "Ma... Pa... Kaaaak..." Hanya itu yang bisa Sherin ucapkan dengan suara yang bergetar. 'Apa yang sebenarnya terjadi, kenapa kau tidak menceritakannya Sherin?' Batin Adrian merasa iba. Adrian melepaskan kedua tangan Sherin dari kakinya dan menurunkan kaki gadis itu perlahan. Dilihatnya wajah menyedihkan Sherin, lalu di peluknya dengan hangat. "Tenanglah, aku bersamamu." Sambil mengelus elus pucuk kepala Sherin. Adrian meyenderkan tubuh Sherin perlahan di kepala kursi mobil. Lalu melepaskan jas berwarna navi yang di pakainya untuk menutupi tubuh Sherin. "Pejamkan matamu. Aku akan membawamu pulang." 'Siapa sebenarnya kau? Apa kau juga merupakan anaka dari pengusaha hebat? Aku penasaran, kenapa papa bisa membawamu pulang hanya karena kejadian malam itu. Pasti ada hal lain yang tersembunyi. Jika benar, itu artinya kau...' Batin Adrian curiga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD