Hujan tipis menyelimuti kota tempat Bima menempuh program masternya. Lampu-lampu jalan memantul di aspal basah, membentuk garis-garis cahaya yang berkeling dan dengan napas dingin musim gugur. Bima melangkah cepat keluar dari gedung fakultas, tas ransel berat menggantung di satu bahu, sementara pikirannya masih penuh dengan persamaan struktur dan sketsa desain jembatan.
Namun sore itu, bukan tugas atau deadline yang menguasai benaknya. Di genggaman tangan kirinya, ada selembar pamflet kusut yang sudah beberapa kali ia baca: seleksi pemain untuk tim sepakbola semi-profesional kota itu—klub yang sering ia lihat namanya di papan skor stadion kecil dekat apartemennya.
Bima berhenti di bawah kanopi halte, menatap pamflet itu lagi.
“Open Trial – Striker & Winger,” begitu tulisan besarnya.
Ia menarik napas panjang.
“Gila juga, ya… gue udah sejauh ini, tapi tetap aja kepikiran bola,” gumamnya lirih dalam bahasa Indonesia, yang kini jarang keluar kecuali saat ia berbicara dengan dirinya sendiri.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari ibunya masuk:
“Bima, jangan lupa jaga kesehatan. Ibu bangga sama kamu, Nak. Jangan terlalu capek.”
Bima tersenyum tipis, lalu membalas singkat, “Iya Bu, Bima baik. Doain terus ya.”
Setelah itu, ia membuka chat lain yang sudah lama ia hindari: Clara. Chat terakhir masih menggantung, tidak diakhiri dengan kejelasan, hanya dengan kalimat: “Bim, aku butuh waktu.”
Bima mengembuskan napas berat.
“Waktu, ya… sementara hidup nggak pernah mau berhenti ngebut,” desisnya.
Malam itu, di kamarnya yang sempit namun rapi, Bima duduk di tepi ranjang dengan laptop terbuka. Di layar, ada file laporan proyek, tapi kursornya justru berpindah ke tab lain: pendaftaran trial sepakbola. Formulir online menunggu untuk diisi.
“Kalau gagal, lo cuma buang waktu,” suara logis di kepalanya berbisik.
“Tapi kalau nggak nyoba, lo nggak akan pernah tahu,” suara lain membantah, membawa bayangan masa lalu: tribun sekolah, sorak penonton, final POPDA, dan duel sengitnya bersama Aiden di lapangan hijau.
Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan memori itu menggulung. Begitu banyak hal berubah sejak saat itu—universitas, negara, status akademik—tapi rasa ketika kakinya menyentuh bola, ketika jantungnya berlari seirama dengan laju permainan, tetap sama. Ada kebebasan di sana, sesuatu yang tidak bisa ia temukan di balik tumpukan laporan dan blueprint.
“Lo mau jadi insinyur yang cuma ngerti hitungan, atau orang yang pernah beneran ngejar semua mimpinya?” tanyanya pada diri sendiri, nyaris seperti suara pelatih lamanya.
Akhirnya ia mulai mengetik.
Nama: Bima Pratama.
Posisi: Striker.
Pengalaman: Sekolah sepakbola, kompetisi U-19, turnamen kampus.
Saat jarinya menekan tombol “Submit”, jantungnya berdegup sedikit lebih kencang. Ini bukan sekadar formulir, tapi pintu ke masa lalu yang tiba-tiba hadir kembali di kehidupannya yang baru.
Beberapa hari kemudian, pengumuman masuk melalui email.
“Congratulations, you are invited to attend the open trial session…”
Bima mengulang kalimat itu pelan, matanya berbinar.
“Gila… keterima juga,” bisiknya.
Sore itu, ia menatap cermin, melihat sosoknya sendiri dengan jaket kampus dan tas berisi sepatu bola tua yang ia bawa dari Indonesia—sepatu yang pernah menemaninya di banyak pertandingan.
“Baik, Bim,” ucapnya pada bayangan sendiri. “Kali ini lo bukan cuma tanding lawan orang lain. Lo tanding lawan diri lo sendiri.”
***
Lapangan latihan klub lokal itu terletak di pinggiran kota, tak jauh dari sungai kecil dan deretan rumah bata merah. Udara sore terasa dingin menggigit, namun hangat oleh teriakan pelatih dan suara sepatu yang menghantam bola.
Begitu tiba, Bima sempat merasa kecil. Para pemain lain tampak tinggi, cepat, dan terbiasa dengan ritme sepakbola Eropa. Bahasa yang mereka pakai campuran lokal dan Inggris yang cepat, dengan logat yang membuatnya harus berkonsentrasi ekstra untuk mengerti.
Seorang pelatih berkepala plontos dengan peluit menggantung di leher mendekatinya.
“Kamu Bima?” tanyanya dalam bahasa Inggris dengan aksen yang tegas.
“Yes, Coach,” jawab Bima.
“Striker?”
“Yes.”
Pelatih mengangguk singkat. “Good. Tunjukkan apa yang bisa kamu lakukan. Di sini, nama baik masa lalu tidak menjamin apa-apa. Hanya apa yang kamu lakukan hari ini yang kami lihat.”
Kalimat itu menampar, tapi juga menyetrum semangat Bima. Ia mengangguk mantap.
“Understood, Coach.”
Sesi latihan dimulai dengan lari sprint, passing cepat, dan finishing. Bima ditempatkan dalam kelompok kecil latihan kombinasi: satu sentuhan, gerakan tanpa bola, lalu penyelesaian. Ketika bola pertama kali mengarah ke kakinya, tubuhnya bereaksi lebih cepat dari pikirannya. Kontrol first touch-nya lembut, lanjut satu gerak tipuan, dan tembakan mendatar mengarah ke tiang jauh. Kiper terlambat bereaksi.
“Nice shot!” seru salah satu pemain.
Bima mengangguk sambil tersenyum, napasnya mulai berat, tapi adrenalin mengalir deras.
Namun tidak semua berjalan mulus. Di beberapa momen, perbedaan gaya bermain membuatnya terlambat membaca pergerakan rekan setim. Pola taktik yang dipakai pelatih berbeda dengan yang ia kenal. Ia beberapa kali salah posisi—terlalu dalam saat seharusnya menarik garis pertahanan, atau terlalu dekat dengan winger sehingga area tengah kosong.
Pelatih meniup peluit.
“Number 17! Bima!”
Bima menoleh, mendekat. “Yes, Coach?”
Pelatih menunjuk papan taktik kecil. “Lihat. Di sini kamu seharusnya tarik satu langkah ke belakang, buka ruang untuk second striker atau gelandang yang menyusul. Kamu terlalu cepat maju, sehingga bek mudah mengunci pergerakanmu. Pahami ruang, bukan hanya bola.”
Bima mengangguk serius. “I’m sorry, Coach. I’ll fix it.”
Pelatih menatapnya beberapa detik, lalu menghela napas singkat. “You have instinct, that’s good. But here, we play with brain and system. Use both.”
Malam harinya, di kamar, otot-otot Bima terasa remuk. Ia membentangkan buku catatan kecil, menggambar sketsa posisi pemain, menulis catatan: “Timing lari diagonal, perhatikan garis offside. Jangan terlalu cepat maju. Buka ruang untuk second line.”
Di samping catatan taktik itu, layar laptop menyala menampilkan software simulasi struktur. Tenggat tugas proyek akhir mata kuliahnya tinggal beberapa hari.
“Dua dunia yang sama-sama mintain tenaga dan fokus,” gumamnya, mengusap wajah.
Panggilan video masuk dari seorang teman kampus.
“Bim, lo lagi di mana? Proyek kita butuh revisi sebelum besok,” suara temannya terdengar.
“Gue lagi ngerjain kok,” jawab Bima. “Kasih gue satu jam, gue kirim revisinya.”
“Oke, tapi jangan kelamaan, bro. Dosen kita nggak main-main.”
Setelah panggilan berakhir, Bima menatap dua hal di hadapannya: buku catatan taktik sepakbola dan file proyek teknik sipil. Ia tertawa kecil, getir tapi juga bangga.
“Hidup lo unik juga, Bim. Siang jadi calon insinyur, sore jadi striker asing di negeri orang.”
Hari-hari berikutnya, ritme hidup Bima berubah total:
- Pagi hingga siang di kampus, menghadiri kuliah, praktikum, dan diskusi proyek.
- Sore menuju senja di lapangan, mengikuti latihan keras bersama tim.
- Malam hingga larut, mengerjakan tugas, laporan, dan membaca ulang materi kuliah.
Suatu malam, ia menerima pesan singkat dari Clara.
“Bim, apa kabar? Aku dengar kamu ikut seleksi tim bola di sana?”
Bima menatap layar cukup lama sebelum menjawab.
“Kabar baik. Capek, tapi senang. Iya, aku lagi coba. Nggak tahu hasilnya gimana. Kamu gimana?”
Balasan Clara datang beberapa menit kemudian.
“Aku bangga sama kamu. Kamu selalu berani ngejar dua mimpi sekaligus. Jaga diri, ya.”
Bima tersenyum samar, namun perasaan di dadanya campur aduk.
“Berani ngejar dua mimpi, tapi belum tentu berani nerima hasilnya,” gumamnya.
Beberapa minggu setelah latihan intensif, klub mengumumkan daftar pemain yang akan masuk skuad sementara. Ruang ganti terasa lebih dingin dari biasanya, meski udara di luar mulai menghangat. Pelatih memegang selembar kertas, wajahnya datar.
“Nama yang saya sebut, tetap bertahan di tim. Yang tidak disebut, terima kasih sudah berjuang. Jangan anggap ini akhir. Anggap ini penanda langkah berikutnya,” ucapnya.
Bima menelan ludah, jemarinya mengepal di sisi celana training. Satu per satu nama disebut. Jantungnya berdetak kencang.
“…Number 17, Bima.”
Seperti suara yang datang dari jauh, namun menembus langsung ke pusat dirinya. Beberapa pemain menepuk pundaknya.
“Congrats, man.”
“Nice, striker Asia masih lanjut!”
Bima menunduk, mengembuskan napas lega. Dalam hati ia berbisik, “Satu langkah lagi, Bim. Jangan kendor.”
Namun, bersamaan dengan rasa syukur itu, ia sadar konsekuensinya: jadwal makin padat, tuntutan makin tinggi, dan pilihannya semakin sempit. Ia tidak bisa lagi setengah-setengah dalam menjalani keduanya.
Malam itu, ia membuat daftar di buku catatan:
- Penyusunan jadwal yang lebih ketat.
- Mengurangi kegiatan sosial kampus.
- Fokus hanya pada sepakbola, kuliah, dan keluarga.
Di bawahnya, ia menulis pelan:
“Kalau suatu saat harus memilih, lo siap nggak?”
Pertanyaan itu tergantung di udara, tidak dijawab, tidak juga dihapus—seperti konflik yang diam-diam tumbuh di kedalaman hidupnya, menunggu saatnya meledak.
***
Hujan sore baru saja reda ketika Clara menutup pintu kecil ruang konseling mahasiswa di kampusnya. Aroma kayu basah bercampur dengan sisa wangi kopi dari mug yang belum sempat ia cuci. Di meja, berkas-berkas laporan praktik psikologi klinis menumpuk bersama jurnal yang ditandai stabilo warna-warni. Hari itu, ia baru saja selesai mendampingi seorang mahasiswi yang bergumul dengan kecemasan akademik.
Clara bersandar di kursi, mengusap pelipis.
“Orang lain datang dengan masalah yang jelas,” gumamnya pelan, “sedangkan aku sendiri masih nggak bisa jujur soal hatiku.”
Ponselnya bergetar di atas meja. Notifikasi email masuk. Ia meraihnya sambil berdiri, berniat sekadar mengecek jadwal supervisi. Namun sebuah subjek pesan lain menarik perhatiannya: foto yang dikirim Bima beberapa jam lalu—ia belum sempat membukanya.
Dengan sedikit ragu, Clara mengetuk layar. Muncul foto Bima di sebuah lapangan sepakbola, mengenakan jersey bernomor 17, napas terengah, namun senyumnya lebar. Di bawah foto itu, ada pesan pendek:
“Aku keterima di tim kota sini, Clar. Bukan level tertinggi, tapi cukup buat bikin aku ngerasa hidup lagi.”
Clara mematung. Dadanya menghangat sekaligus menegang.
“Dia… beneran ngejar bola lagi,” bisiknya.
Jempolnya melayang di atas layar keyboard, tapi tak satu pun kata terasa tepat.
“Harusnya aku senang… kan?” batinnya. “Tapi kenapa malah takut?”
Ia meletakkan ponsel di meja, lalu berjalan menuju jendela. Hujan menyisakan titisan di kaca, memecah cahaya lampu jalan jadi garis-garis rapuh. Clara menatap bayangan dirinya di sana: rambut yang diikat seadanya, mata yang lelah, dan senyum tipis yang lebih mirip garis bertahan hidup.
Beberapa menit kemudian, ia kembali duduk, ponsel di tangan. Kali ini ia memaksa dirinya membaca lagi pesan Bima, perlahan, seolah ingin mengukir setiap huruf di pikirannya.
“Aku keterima di tim kota sini, Clar…”
Di kepalanya, suara Bima menggema, bercampur dengan ingatan masa lalu: tribun kampus, sorakan penonton, dan sosok Bima yang selalu berlari tanpa kenal lelah, baik di lapangan maupun dalam hidupnya.
Clara mengetik balasan:
“Bim, selamat. Aku bangga banget sama kamu.”
Ia berhenti. Rasanya ada yang kurang. Lalu melanjutkan:
“Tapi… kamu yakin bisa jalanin dua hal sekaligus? Kuliah sama bola?”
Ia membaca ulang. Nada pesannya terasa seperti suara konselor, bukan suara seorang perempuan yang peduli sebagai Clara. Ia menghapus kalimat kedua, mengetik ulang:
“Bim, selamat. Aku bangga sama kamu. Ceritain ke aku gimana rasanya balik ke lapangan?”
Kali ini, ia menekan tombol kirim.
Beberapa menit kemudian, balasan datang.
“Capek. Sakit semua badan. Tapi aku ngerasa lebih jujur sama diri sendiri. Kayak… ini bagian yang nggak pernah benar-benar pergi dari hidupku.”
Clara menggigit bibir.
“Jadi selama ini… dia nahan itu?”
Ia menjawab:
“Kalau itu bikin kamu lebih jujur sama diri kamu sendiri, aku dukung.”
Pesan terkirim. Tapi di dalam dirinya, kalimat lanjutannya bergema, tanpa pernah tertulis:
“Tapi aku takut kamu makin jauh. Dari aku. Dari yang dulu.”
Malam itu, di kamar kos kecilnya yang penuh buku, Clara duduk di lantai dengan buku catatan di pangkuan. Sudah menjadi kebiasaan, ia menuliskan refleksi harian—bukan hanya untuk latihan profesional sebagai calon psikolog, tapi juga sebagai cara menata kekacauan di pikirannya.
Ia menulis:
“Bima kembali ke sepakbola. Aku tahu itu bagian dari dirinya. Kalau aku benar-benar peduli, seharusnya aku mendukung sepenuhnya. Tapi ada rasa takut kehilangan: takut dia tenggelam di dunia barunya, dan aku hanya jadi cerita samping.
Di sisi lain, Aiden juga menjauh dalam caranya sendiri—sibuk dengan riset, tenggelam di dunia teknologi dan etika yang aku kagumi sekaligus tak sepenuhnya mengerti. Aku merasa berdiri di dua dunia yang terus bergerak ke arah berbeda.
Aku belajar di kelas bahwa keputusan yang tertunda sering kali adalah bentuk mekanisme pertahanan: takut salah, takut menyesal. Mungkin itu aku. Seorang calon psikolog yang paham teori, tapi belum bisa menyembuhkan hatinya sendiri.”
Ia meletakkan pena, menatap tulisan itu lama.
“Kalau aku jadi klienku sendiri, aku pasti akan bilang: ‘Clara, kamu berhak memilih hidupmu, bukan jadi penonton di hidup orang lain.’ Tapi kenapa rasanya malah sulit banget?”
Ponselnya kembali bergetar. Kali ini dari salah satu dosen supervisi: pengingat tentang laporan kasus yang harus dikumpulkan lusa. Clara menegakkan punggung, rasa profesionalnya bangkit lagi.
Keesokan paginya, ia memulai hari di klinik kampus. Seorang klien muda duduk di hadapannya, bercerita tentang pacar yang sibuk, tentang rasa takut ditinggalkan, tentang bingung harus bertahan atau melepaskan. Clara mendengarkan dengan penuh atensi, mencatat, mengangguk.
“Jadi, yang kamu rasakan sekarang,” kata Clara lembut, “bukan cuma tentang dia yang sibuk, tapi juga tentang rasa kamu yang nggak yakin apakah kamu cukup penting di hidupnya. Betul?”
Gadis itu mengangguk, mata berkaca-kaca.
“Iya, Kak… aku takut kalau aku cuma pilihan samping. Dia punya mimpi, tapi aku nggak tahu posisiku di mimpi itu.”
Kata-kata itu menembus Clara seperti cermin yang tiba-tiba dihadapkan pada dirinya sendiri. Ia menelan ludah pelan, menjaga agar suaranya tetap stabil.
“Perasaan itu valid. Tapi kamu juga berhak nanya, dengan cara yang sehat, tentang posisi kamu di hidupnya. Karena hubungan itu bukan tebak-tebakan terus-menerus.”
Sesi berakhir dengan pelukan singkat dan senyuman hati-hati dari sang klien. Begitu pintu tertutup, Clara bersandar pada sandaran kursi, menghela napas panjang.
“Ngomong ke orang lain itu gampang ya,” gumamnya. “Giliran ke diri sendiri…”
Minggu berikutnya, Clara menerima pesan suara dari Bima. Suaranya terdengar lelah, namun mengandung semangat baru.
“Clar, tadi tim gue main uji coba. Gue nggak cetak gol, tapi gue bikin satu assist. Pelatih bilang gue mulai ngerti pola main mereka. Rasanya… lega, walau badan mau rontok.”
Clara memutar pesan itu dua kali, sebelum akhirnya membalas dengan panggilan video. Bima mengangkat setelah beberapa dering. Wajahnya muncul di layar—berkeringat, rambut berantakan, tapi senyum itu masih Bima yang ia kenal.
“Clara,” sapanya, sedikit terengah. “Sorry, lagi di ruang ganti. Tapi gue angkat, soalnya lo jarang nelpon.”
Clara tersenyum kecil. “Ngganggu nggak?”
“Kalau lo yang nelpon, nggak pernah ganggu,” jawab Bima, setengah bercanda, setengah serius.
Clara terdiam sepersekian detik, lalu mengalihkan tatapannya.
“Gimana rasanya?”
“Capek. Tapi… kali ini capek yang gue pilih sendiri,” jawab Bima. “Lo sendiri gimana? Klinik? Kuliah?”
Clara menghela napas. “Padat. Penuh kasus, penuh teori. Kadang aku merasa… aku ngerti semua pola orang lain, tapi nggak ngerti pola hidupku sendiri.”
“Kenapa ngomongnya berat gitu?” Bima mencoba tersenyum. “Lo baik-baik aja, kan?”
Clara menatap layar dalam diam beberapa saat.
“Bim,” katanya pelan, “waktu kamu bilang kamu keterima di tim, aku senang. Tapi juga… takut.”
“Takut?” kening Bima berkerut. “Takut kenapa?”
“Takut kamu semakin jauh,” jawab Clara jujur. “Dari aku. Dari… apa yang dulu kita punya. Kita semua sekarang punya dunianya masing-masing. Kamu dengan bola dan kampus. Aiden dengan risetnya. Aku dengan klinik dan pasien. Kadang aku bingung… apakah kita masih jalan di cerita yang sama, atau cuma kebetulan muncul di bab yang sama.”
Bima terdiam. Suara di ruang ganti, tawa dan teriakan rekan-rekannya, terdengar samar di belakang. Ia melirik sekilas, lalu kembali fokus pada layar.
“Clar… gue juga takut, sebenarnya,” akunya. “Takut gagal di lapangan. Takut nggak lulus tepat waktu. Takut… lo beneran pergi ke hidup yang nggak ada gue atau Aiden di dalamnya.”
Clara menunduk, lalu mengangkat wajah lagi.
“Dan aku… masih belum bisa milih,” katanya hampir berbisik. “Antara kamu, Aiden, atau… mungkin, milih diriku sendiri dulu. Itu salah nggak, Bim?”
Bima menghela napas panjang, kali ini tanpa berusaha menutupi lelah di suaranya.
“Kalau dari semua hal yang gue pelajari di hidup,” jawabnya, “yang paling sering bikin orang hancur itu justru karena dia nggak pernah milih dirinya sendiri. Jadi kalau lo mau milih itu dulu… gue nggak punya hak buat bilang itu salah.”
Clara terdiam, matanya berkaca-kaca.
“Tapi,” lanjut Bima, “gue juga punya hak buat jujur sama mimpi gue. Bola, kampus, hidup gue ke depan. Mungkin, di tengah jalan, lo bakal lihat kalau posisi gue di hidup lo bukan seperti yang lo bayangin. Atau bisa juga kebalikannya. Kita nggak tahu.”
“Jadi kita diapain, Bim?” tanya Clara, setengah putus asa. “Kita ini apa?”
Bima tersenyum pahit.
“Kita… lagi di persimpangan, Clar. Lo di persimpangan lo. Gue di persimpangan gue. Aiden juga. Mungkin, suatu hari nanti, ada jalan yang ketemu lagi. Mungkin juga nggak. Tapi kalau lo tanya sekarang, gue cuma bisa bilang: gue tetap peduli. Tapi gue nggak mau lagi ngejar sesuatu yang bahkan lo sendiri belum yakin buat pegang.”
Kalimat itu menancap dalam. Clara menggigit bibir, menahan air mata yang nyaris jatuh.
“Berarti… kita harus jaga jarak dulu?”
“Bukan ‘harus’,” kata Bima pelan. “Tapi mungkin ‘perlu’. Biar lo bisa denger suara lo sendiri tanpa kebisingan suara gue dan Aiden.”
Keduanya terdiam. Hanya suara nafas dan riuh kecil di belakang yang terdengar. Akhirnya, Clara mengangguk.
“Bim…”
“Ya?”
“Terima kasih udah jujur.”
“Lo juga,” jawab Bima. “Jaga diri, Clara.”
Panggilan berakhir. Clara menatap layar ponsel yang kini gelap, seolah menyimpan bayangan seseorang yang perlahan berjalan menjauh—bukan karena benci, tapi karena masing-masing harus mengejar sesuatu yang belum selesai di dalam diri mereka.
Malam itu, Clara kembali menulis di buku catatannya:
“Hari ini, untuk pertama kalinya, aku tidak hanya mendengarkan orang lain, tapi juga mendengarkan diriku sendiri. Rasanya sakit, seperti menarik perban dari luka yang belum kering. Tapi mungkin ini satu-satunya cara supaya aku tidak terus hidup dalam kebingungan.
Bima memilih mengejar mimpinya lagi di lapangan hijau. Dan aku… harus mulai berani mengakui bahwa hidupku bukan hanya orbit di sekeliling mimpi orang lain.
Entah nanti aku akan berjalan searah dengan Bima, Aiden, atau mungkin tanpa keduanya. Tapi untuk sekarang, aku harus belajar berdiri utuh sebagai Clara. Bukan ‘Clara milik siapa’, tapi Clara yang mengenali dirinya sendiri.”
Ia menutup buku itu pelan, memeluknya di d**a, lalu memandang ke langit malam di luar jendela. Bintang-bintang tertutup awan, tapi Clara tahu mereka tetap ada di balik gelap.
Begitu juga dengan perasaannya: tidak hilang, hanya belum tampak jelas bentuk akhirnya. Clara berdiri di persimpangan, bukan sebagai gadis yang harus memilih, tapi sebagai perempuan yang akhirnya belajar bahwa ia juga pantas—oleh dirinya sendiri.
***
(Notasi waktu: beberapa bulan setelah Bima resmi masuk skuad tim kota dan Clara mulai mantap menekuni klinik serta studinya.)
Malam di kota tempat Aiden menempuh studi magister selalu punya ritme sendiri: dingin yang tajam, lampu trem yang berkelebat di kejauhan, dan suara roda sepeda yang sesekali melintas di bawah jendela asramanya. Di meja belajar, dua layar monitor menyala: satu menampilkan deretan kode dan grafik performa model kecerdasan buatan, satunya lagi terbuka di laman media sosial.
Aiden menggeser kursi, mengusap mata yang lelah. Ia hanya bermaksud istirahat sebentar dari laporan riset ketika sebuah unggahan muncul paling atas di beranda: video pendek dari akun Bima.
Thumbnail-nya jelas: Bima dengan jersey nomor 17, sedang berlari menyambut umpan silang. Aiden mendadak menahan napas tanpa sadar, lalu menekan tombol play.
Dalam video itu, Bima melakukan gerakan yang sangat familiar—satu sentuhan mengelabui bek, lalu umpan cut-back ke rekannya yang datang dari second line. Gol. Kamera berguncang, suara sorakan terdengar samar. Di akhir video, ada sekilas wajah Bima: berkeringat, napas terengah, tapi matanya menyala dengan api yang sama seperti bertahun-tahun lalu.
Di bawah video, Aiden membaca caption singkat:
“Bukan gol, tapi rasanya kayak balik ke rumah. #MatchDay #17”
Aiden bersandar di kursi, menatap layar lama-lama.
“Lo beneran balik ke lapangan, Bim…” gumamnya pelan.
Ponselnya ikut bergetar—teman lama dari kampus dulu mengirim pesan:
“Den, lo lihat Bima? Gila, dia beneran main di luar negeri. Lo kapan nyusul?”
Aiden menatap pesan itu tanpa ekspresi. Bibirnya bergerak, namun tak ada suara.
“Kapan nyusul, ya…” ulangnya dalam hati. “Padahal gue bahkan udah nggak pengen lomba.”
Ia menutup chat tanpa membalas, lalu memandang kembali video Bima. Ada rasa aneh—bukan cemburu yang membakar seperti dulu, tapi lebih mirip campuran getir dan lega.
Di ujung meja, laptop risetnya menunggu. Deadline pengumpulan draft publikasi tinggal dua hari lagi. Aiden menoleh ke sana, lalu menghela napas panjang.
“Lo sekarang ada di dua dunia, Bim,” ucapnya lirih seakan Bima bisa mendengar. “Gue… cukup di satu dulu.”
Ia bangkit, berjalan ke jendela. Udara dingin menampar pipinya saat jendela sedikit dibuka. Dari lantai empat, ia melihat jalanan sunyi, kecuali beberapa mahasiswa yang pulang dari perpustakaan.
“Dulu gue pikir gue harus selalu ngejar lo,” kata Aiden pelan, bicara pada bayangan dirinya di kaca. “Kalau lo masuk kelas unggulan, gue harus masuk juga. Kalau lo juara di kolam, gue harus ngalahin lo. Kalau lo dapet kesempatan, gue harus punya yang setara.”
Ia terdiam, mengingat final renang, POPDA, kompetisi sepakbola U-19, hingga perebutan beasiswa dan cumlaude. Semua serasa maraton tanpa garis finis.
“Tapi sekarang…” ia mengusap embun di kaca, menggambar garis lurus kecil, “kayaknya gue udah capek lari dengan tolok ukur orang lain.”
Ponselnya kembali bergetar—kali ini notifikasi dari dosen pembimbing:
“Jangan lupa revisi terakhir model prediktifmu. Kita presentasi ke panel etika minggu depan.”
Aiden membaca pesan itu, lalu mengangguk pada dirinya sendiri.
“Ya. Ini dulu garis gue.”
Ia menutup jendela, kembali duduk di kursi, dan menyingkirkan tab media sosial ke samping. Di layar utama, ia membuka ulang kode yang tadi sempat terhenti. Jarinya mulai mengetik, kali ini lebih mantap.
Namun sebelum benar-benar fokus, ia membuka satu jendela chat lama—chat grup bertiga: dirinya, Bima, dan Clara. Grup itu sudah lama sunyi, hanya berisi percakapan singkat masa lalu, sebelum semuanya retak.
Setelah menimbang beberapa detik, ia akhirnya mengetik di ruang chat pribadi ke Bima.
Aiden:
“Gue lihat video lo. Keren, Bim. Selamat udah balik ke lapangan.”
Beberapa menit berlalu tanpa balasan. Aiden sudah hampir menutup chat ketika notifikasi muncul.
Bima:
“Den. Thanks. Nggak nyangka lo sempet nonton.”
Bima:
“Gue kira lo udah terlalu sibuk sama dunia cerdas buatan lo.”
Aiden tersenyum tipis.
Aiden:
“Dunia lo juga ‘cerdas’, bedanya lo pake kaki. Gue pake kode.”
Bima:
“Haha. Boleh juga.”
Hening sejenak. Lalu Bima menambah satu pesan lagi:
“Lo nggak kepikiran nyoba lagi? Bola?”
Aiden membaca pertanyaan itu dua kali. Ada getaran lama yang mencoba muncul—suara tribun, rasa lumpur di sepatu, napas yang terbakar saat sprint. Tapi yang datang berikutnya justru wajah-wajah lain: dosen yang percaya padanya, tim riset yang mengandalkan model buatannya, bayangan publikasi dan tanggung jawab etis yang sedang ia bangun.
Aiden menulis pelan:
“Gue seneng ngelihat lo di sana. Tapi buat sekarang, gue nggak mau hidup gue kebagi lagi buat balapan yang sama. Gue mau fokus di sini dulu. Di jalur gue.”
Typing…
Bima:
“Gue ngerti. Serius. Mungkin itu bedanya kita sekarang. Tapi Den…”
Bima:
“Gue seneng lo bisa nonton, walau dari jauh.”
Aiden menatap kata-kata itu, lalu membalas:
“Gue akan tetap nonton kalau lo upload lagi. Jangan berhenti kirim video.”
Obrolan berhenti di sana. Bukan rekonsiliasi penuh, tapi juga bukan dingin seperti dulu. Lebih seperti dua orang yang akhirnya berdiri di dua jalur berbeda, tanpa saling dorong.
Aiden mengembuskan napas panjang.
“Cukup jadi penonton kali ini,” katanya pelan. “Dan itu bukan berarti gue kalah.”
Lalu ia benar-benar menenggelamkan dirinya ke dalam riset—bukan untuk lari dari Bima, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar memilih dirinya sendiri.
***
Beberapa minggu kemudian, suasana kampus terasa berbeda. Poster konferensi internasional tentang “Ethical AI for Public Health” terpampang di setiap sudut gedung fakultas. Nama Aiden tertera di salah satu sesi presentasi paralel: “Predictive Models for Early Detection – Balancing Accuracy and Privacy”.
Pagi itu, Aiden berdiri di depan cermin kecil di kamar asramanya, merapikan dasi yang jarang sekali ia pakai. Di meja, ada kartu tanda peserta konferensi dengan namanya tercetak tegas.
“Dulu lo pakai nomor punggung,” gumamnya sambil menatap kartu itu. “Sekarang lo pakai name tag.”
Ponselnya bersuara—sebuah pesan masuk dari Clara.
Clara:
“Den, aku lihat postingan kampusmu soal konferensi. Selamat ya. Maaf aku nggak bisa ikut online, jadwal klinikku penuh hari ini.”
Aiden menatap layar beberapa saat. Ada rasa hangat yang menyelinap pelan.
Aiden:
“Thanks, Clar. Nggak apa-apa. Pasienmu lebih penting.”
Clara cepat membalas.
“Aku senang lihat kalian berdua… akhirnya mulai jalan di jalurnya masing-masing.”
Aiden menggertakkan rahang pelan.
“Kita,” ia menekankan dalam hati, “atau ‘kalian’?”
Namun ia tidak menuliskannya. Ia hanya menjawab:
“Aku juga lagi belajar buat berdamai dengan itu semua.”
Pause sebentar, lalu Clara mengirim satu pesan lagi:
“Den… kamu pernah nggak ngerasa bersalah karena kamu nggak lagi pengen ‘balapan’?”
Pertanyaan itu menampar lembut. Aiden menatap teks itu lama, merasa kalimat itu bukan hanya milik Clara, tapi juga miliknya sendiri.
Aiden:
“Sering. Dulu aku pikir kalau aku berhenti bersaing, berarti aku kalah. Tapi sekarang… aku lebih takut kalau aku terus lari tanpa tahu kenapa aku lari.”
Clara:
“Jadi sekarang kamu lari ke mana?”
Aiden:
“Bukan lari. Jalan. Pelan. Ke tempat di mana apa yang aku kerjakan beneran terasa penting. Buat aku. Bukan cuma buat nilai atau pengakuan.”
Ada jeda sebelum balasan datang.
Clara:
“Kalimat itu… ajaib juga buatku sekarang.”
Aiden tersenyum samar.
“Semoga aja,” batinnya.
Konferensi berjalan intens. Di ruangan presentasi, Aiden menjelaskan model yang ia kembangkan, diagram demi diagram, sambil sesekali menyinggung risiko bias algoritmik dan pentingnya izin data yang jelas. Di sesi tanya jawab, seorang profesor senior bertanya:
“Bagaimana Anda memastikan model ini tidak menjadi alat diskriminatif terhadap kelompok tertentu?”
Aiden menarik napas, lalu menjawab dengan tenang:
“Kami tidak hanya mengukur akurasi, tapi juga fairness metrics. Dan yang lebih penting, kami melibatkan tim multidisiplin—bukan hanya ilmuwan data, tapi juga ahli etika, dokter, bahkan perwakilan komunitas pengguna. Model ini bukan milik saya sendirian. Ia harus diuji oleh banyak kacamata.”
Seusai presentasi, beberapa peserta mendatanginya, mengajak diskusi. Di antara kerumunan, ia sempat melirik layar ponselnya—ada notifikasi dari media sosial. Bima mengunggah foto timnya usai pertandingan, kali ini dengan caption:
“Belum starter, tapi dapat menit main. Pelan-pelan aja. #StepByStep”
Tanpa berpikir lama, Aiden memberi tanda suka dan menulis komentar singkat:
“Proud of you, bro.”
Beberapa detik kemudian, ada balasan:
“Lo juga. Jangan lupa kirim link presentasi lo. Gue mau lihat.”
Aiden menahan senyum.
“Lo nonton gue dari jauh, gue nonton lo dari jauh. Fair,” gumamnya.
Malam hari, setelah semua sesi selesai, Aiden duduk sendirian di bangku taman kampus. Udara dingin mulai menyusup, tapi ia betah di sana, ditemani lampu taman dan suara langkah sesekali di kerikil.
Di kepalanya, banyak hal berseliweran: Bima dengan lapangan hijaunya, Clara dengan ruangan konselingnya, dan dirinya sendiri dengan layar penuh kode dan grafik.
“Dulu gue iri,” katanya pelan pada dirinya sendiri. “Kalau lo sukses, gue ngerasa harus lebih sukses. Kalau lo lari, gue harus lebih cepat.”
Ia menghela napas panjang.
“Tapi sekarang, gue rasa… cukup kalau kita semua selamat sampai tujuan masing-masing. Nggak harus finis bareng, nggak harus di podium yang sama.”
Ponselnya bergetar lagi—kali ini pesan dari dosen pembimbing.
“Presentasimu bagus. Tapi perjalananmu baru mulai. Jangan lupa, teknologi tanpa arah moral akan berbahaya. Pilih baik-baik apa yang ingin kamu perjuangkan.”
Aiden membaca pelan, lalu mengetik jawaban:
“Saya mengerti. Terima kasih sudah percaya, Pak.”
Begitu pesan terkirim, Aiden menatap langit malam. Bintang tidak terlalu jelas, tapi cukup untuk membuatnya mengingat satu hal: setiap orang punya orbitnya sendiri.
“Bima,” bisiknya, seolah ada di sampingnya. “Lo kejar mimpi lo di rumput hijau. Gue akan terus di sini, di antara kode dan pertanyaan-pertanyaan etis yang belum selesai. Kali ini gue nggak akan datang buat ngerebut posisi lo. Gue cuma mau jadi saksi, bahwa lo akhirnya berani jujur sama diri lo sendiri.”
Ia menunduk, menatap telapak tangannya—tangan yang dulu terbiasa menggenggam bola, sekarang lebih sering menggenggam mouse dan papan ketik.
“Dan gue… juga lagi belajar jujur sama diri gue.”
Sedikit rasa perih masih ada ketika ia sadar: di antara dirinya, Bima, dan Clara, tidak ada satu pun hubungan yang benar-benar “selesai”. Tapi untuk saat ini, ia merasa anehnya lebih tenang dengan keputusan: tidak ikut lagi ke dalam arena yang sama, tidak memaksakan babak baru dari persaingan lama.
Bagi Aiden bukan tentang mengalahkan, melainkan tentang melepaskan hak lama untuk selalu membandingkan—dan memberi izin pada diri sendiri untuk hidup, bukan sekadar berlomba.