Bagian 2

2020 Words
“Kenapa nggak ikut makan malam disini sih kalian?” tanya Kak Nirma yang tampak kecewa karena Dygta mau pun aku menolak ajakan makan malamnya saat ini. Bukannya ingin menolak, tapi sore ini aku harus les bahasa inggris. “Kanya ada jadwal les bahasa inggris hari ini, Nirmala,” jawab Dygta mewakili aku. Saat ini laki-laki itu sedang menyusun Lego bersama Jordan, anak laki-laki kak Nima yang berumur empat tahun yang sangat mirip sekali dengan Dygta. Bukan wajahnya saja, tapi tengil dann jahilnya juga sama. Jordan sangat lucu dan anak yang cukup bijak. Dygta bahkan mengklaim kalau Jordan ini adalah anaknya dengan Bang Restu. Sinting kan? “Yah…kakak kira kalian bisa tinggal disini lebih lama,” kata Kak Nirma yang sedang memasak. “Maaf ya Kak, next time deh kami kesini lagi,” ucapku segan sambil memotong daun seledri karena kak Nirma sedang membuat sup ayam. “Weekend nanti main kesini ya Nya? Nggak usah ajak Dygta juga nggak apa-apa kok.” “Woi!” protes Dygta. Sementara Kak Nirma memasang wajah tengil pada adiknya. Melihat interaksi kakak beradik ini membuatku tertawa. Aku kenal dengan kak Nirma ketika Dygta membawaku kerumahnya. Itu adalah hari pertama masuk sekolah. Saat itu kami pulang cepat karena ada waktu seminggu untuk penyesuaian sebelum kegiatan belajar dimulai sepenuhnya. Hari itu adalah hari yang sangat absurd. Karena pulang cepat, aku dan Dygta pergi makan mie level yang dijual dekat sekolah. Siang hari mendung membuat aku dan Dygta memilih mencari makanan berkuah dan pedas karena kebetulan kami mempunyai selera yang sama. Aku memesan level lime sebagai permulaan sementara Dygta memesan mie dengan level kepedasan paling tinggi yaitu nomor sepuluh. Sudah paling tinggi, anak ini malah sok-sokan menambahkan satu sendok lebih cabe rawit ke dalam mangkuknya. Awalnya kami baik-baik saja sampai di suapan terakhir, Dygta merasa perutnya sakit dan mulas membuatnya ingin buang air besar. Karena melihat kamar mandi di warung mie level tidak sesuai standar Dygta, dia memilih untuk menuntaskan hajatnya di rumahnya karena rumah Dygta paling dekat dengan sekolah. Aku yang saat itu mendadak ikut panik akhirnya ikut pulang bersamanya. Menempuh hujan yang tiba-tiba turun dan Dygta memacu motornya dengan kecepatan yang lumayan bikin aku menggetok helmnya berkali-kali. Setelah sampai dirumahnya, Dygta berhasil pulang dan membuat kak Nirma yang saat itu sedang libur kuliah dan tante Sonya –mamanya Digta– khawatir. Dygta mengeluarkan seluruh isi perutnya sampai benar-benar habis mengakibatkan dia jatuh pingsan ketika keluar dari kamar mandi. Alhasil, tiga perempuan yang berhasil dibuatnya panik dan repot membawa Dygta kerumah sakit. Dan ternyata Dokter yang merawat Dygta saat itu adalah ayahku. Beliau mengatakan kalau lambungnya Dygta hampir meradang karena makanan pedas dan selain itu, si tengil Dyta ternyata melewatkan sarapan paginya karena takut terlambat ke sekolah. Saat itulah kak Nirma memberiku amanah untuk menjauhkan Dygta sebisa mungkin dari musibah yang diciptakan adiknya sendiri. “Nya, pulang yuk?” ajak Dygta. “Yaudah yok,” aku mencuci tanganku terlebih dahulu sebelum menyalam tangan kak Nirma. “Kak, Kanya sama Dygta pulang dulu ya?” “Yaudah hati-hati yaa, Nya,” ujar kak Nirma. “Doain aja Dygta nggak kesetanan bawa motornya kak,” ujarku bergurau. Kak Nirma tertawa, tapi setelah melihat adiknya langsung pergi tanpa pamit, ia berteliah “Lah, Ta! Main pulang aja kau! Dasar kadal gurun!” Dygta malah membalasnya absurd, “Nimala! Abang Dygta pulang dulu yaaa! Jaga rumah sampai Bang Restu pulang! Assalamualaikum!” “Adik kurang ajar memang! Walaikumsalam!” balas kak Nirma. Aku hanya tertawa melihat tingkah keduanya.    Kak Nirma mengantarku sampai pintu depan bersama Jordan dalam gendongannya. Aku meraih tangan Jordan dan meletakkan punggung tanganku ke pipi tembamnya. “Nyam-nyam pulang dulu yaa Jordan,” kataku pada si anak lucu itu. “Tiati,” balasnya menggemaskan. “Jordan! Papa Dygta pulang dulu ya nak!” teriak Dygta dari yang sudah berada duduk diatas motornya sambil melayangkan flying kiss untuk keponakannya yang dibalas Jordan dengan cara yang menggemaskan mengikuti Omnya itu. Aku naik boncengan motor Dygta sambil memegang paperbag berisi Gunpla yang akan menjadi koleksi terbaru anak ini. Dygta membawa motornya membelah jalan dengan kecepatan sedang. Coba aja kalau dia berani kebut-kebutan, akan kulempar Gunplanya ke jalan. “Nya! Hari nggak usah les kuy?” kata Dygta dari balik helm full face nya. Kami sekarang sedang berhenti di persimpangan karena lampu merah. “Sembarangan! Enak aja nyuruh aku nggak les,” jawabku. “Satu hari doang loh Nya…lagian, bahasa inggrismu kan udah cerdas kali!” “Kalau yang kamu maksud lebih cerdas dari kemampuanmu, benar memang.” Dygta tertawa keras, “Iya ya Nya? Bolosnya untuk hari ini aja.” “Kamu mau ngapain nyuruh-nyuruh aku nggak les?” tanyaku. “Main ke Timezone yuk? Lagi pengin nih. Sekalian beli Chatime punya kamu. Gimana? Gimana?” tawarnya. Aku berpikir sejenak. Bolos les sesekali kayaknya nggak apa-apa deh ya? Lagian, hari ini jadwalnya cuma belajar listening. Nggak masalah kali ya kalau aku menerima ajakan Dygta. Soalnya sejak kuliah kami udah agak jarang main ke Timezone. “Yauda deh, ayo.” “Yes!” seru Dygta. Ketika lampu berganti hijau, Dygta memasukkan gear motornya dan melaju, “Pegangan Princess! Tujuan kita selanjutnya adalah Timezone!” Dygta membuatku tertawa geli. Saat itu juga aku mencengkram jaketnya dengan satu tangan sementara satu tangan lainnya memegang Gunpla kesayangan Dygta. - Aku sudah bilang kan, kalau Dygta ini orangnya loyal. Tak hanya loyal sebenarnya. Dia ini royal juga dalam artian buruknya BOROS! Dygta mengisi kartu Timezoneku sebanyak tiga ratus ribu hanya untuk memuaskan hasrat bermainnya. Sendirian! Aku? Dengan teganya si tengil cuma memperbolehkan aku menontonnya mulai dari Maximum Tune, sok bergaya seperti pembalap professional sampai Street Basketball sementara aku berdiri sendirian sambil memperhatikannya dengan Chatime yang tadi dibelikannya. “Tega banget kamu emang! Aku udah bela-belain bolos les buat nontonin kamu main Timezone aja?” ucapku kecewa. Dengan santai dan tak berdosanya Dygta mengapitku dengan lengannya sambil berjalan. “Yaudah, main Hockey aja yok.” Mendengar ajakannya aku langsung melepaskan diri dari rubuhnya dan langsung berjalan cepat menuju meja Hockey. Dygta yang melihat tingkahku hanya bisa menggeleng-geleng sambil tersenyum geli. Buru-buru aku mengambil dua stricker sambil menunggu Dygta menggesek kartu Timezonenya dan chip keluar dari bagian Dygta “Ready?” Aku mengangguk dengan semangat, “Yass!!” Permainan meja Hockey adalah salah satu permainan yang tidak pernah kami lewatkan. Tak peduli dia mau main permainan apapun sebanyak yang dia inginkan, tap aku akan memusuhi Dygta jika dia melewatkan yang satu ini. Seperti biasa, di round pertama aku mengalahkan si tengil itu. Biasanya, kami akan selalu memasang taruhan, yang memenangkan permainan ini akan di treat secara istimewa. Biasanya kalau Dygta yang menang, anak itu akan memintaku untuk mengerjakan tugas-tugasnya dan membawakannya bekal makanan. Tapi kalau aku yang menang, aku akan meminta untuk mentraktirku makanan apapun yang aku suka. Untuk menentukan pemenangnya, biasanya kami akan main sampai lima ronde, membuat pengunjung lain mengantri lama. “Hari ini aku akan membuatmu bangkrut Pradygta Wardana!” ucapku bersungguh-sungguh. “Tahan princess, siap-siap aja ngerjain critical journal report ku nanti malam!” Setelah menghabiskan berpuluh menit di round kedua, Dyga mengambil satu poin yang artinya kami seri membuat Dygta tertawa bahagia. “Okay, make it fast! Satu ronde lagi dan kita akan dapat pemenangnya, setuju?” ujar Dygta. “Yeah sure.” Ketika Dygta menggesek kartunya ke mesin, chipnya keluar dari arah mejaku. Aku cepat-cepat menembaknya ke gawang Dygta sehingga menambah satu poin untukku di ronde ketiga ini. “Eh, curang ah! Aku kan belum siap,” sahut Dygta memprotes. Aku tertawa licik. Masa bodoh dengan curang yang penting aku harus menang darinya. “Ayo! Buruan!” Dengan muka sebalnya Dygta kembali membawa permainan hingga berpuluh menit kemudian poin di board menunjukkan Dygta keluar sebagai pemenang. Membuatku melemparkan stricker ke atas meja dengan kesal. Aku meninggalkan Dygta dan berjalan menunju vending machine minuman. Chatime ku habis dan aku perlu minum setelah mengalahkan Dygta. Nasib…sepertinya aku harus bergadang malam ini. “Hayo…yang adil ya… nanti malam jangan lupa kerjain jurnalku, oke princess?” Dygta menyusulku, tangannya sudah bertengger di bahuku. Aku menyikutnya kasar dan duduk si sebuah kursi dekan mesin capit besar. “Pastikan kau mengirimkan jurnalmu nanti malam,” ucapku kesal. Dygta hanya tertawa geli melihatku. Seperti tak ada istirahatnya, Dygta menggesekkan kartu Timezonenya ke permainan capit besar. Hadiah di dalam tubenya adalah boneka-boneka yang berukuran besar. Aku membiarkannya saja melakukan apapun karena aku agak kelelahan. “Nya! Pilih tuh! Mau boneka warna apa?” tanya Dygta sambil menunjuk ke dalam tube. Aku asal menunjuk ke arah boneka beruang berwarna cokelat. Kulihat Dygta beberapa kali gagal sehingga wajahnya mulai terlihat bete. Kalau dihitung mungkin ada sampai lima kali, atau lebih ya? Entahlah. Aku hanya fokus menikmati wajah jengkelnya. Diam-diam aku merekam wajahnya dari ** dan aku terkejut tiba-tiba mesin itu berseru “You Win!” Aku langsung berdiri ketika Dygta mengeluarkan boneka beruang berwarna putih dan menyodorkannya padaku. “Sori ya, bisanya cuma dapat yang putih.” Ketika boneka beruang itu sudah sampai di pelukanku, aku memberikan Dygta senyum terbaikku. Anak ini memang kebanyakan membuat aku jengkel. Tapi kalau sudah bersikap manis, manisnya minta ampun. “Makasih Pradygta.” Dygta mengangguk kemudian mengelus puncak kepalaku. “Pulang yuk, biar kamu punya waktu buat ngerjain jurnal aku.” Jika tidak ada si beruang putih ini mungkin aku akan memukul bahu Dygta sekeras-kerasnya. Pengecualian untuk hari ini karena dia sudah memberikanku si putih. - Saat ini aku dan Dygta sedang duduk di ruang keluarga bersama yumi yang sedang mengerjakan PR. Ayah belum pulang karena ada pertemuan dengan beberapa rekan dokternya. Sesuai taruhan di Timezone tadi, akhirnya aku dengan terpaksa aku mengerjakan tugas si tengil Pradygta Wardana. Jangan tanyakan apa yang dilakukan si tengil itu disaat aku sedang mengerjakan tugasnya. Dengan asyiknya dia main PUBG di ponselnya sambil mengambil sepotong demi sepotong martabak keju yang kami beli sepulang dari Timezone. Suara klakson mobil yang sudah tidak asing terdengar menandakan kalau Ayah sudah pulang. Karena Yumi tidak ada niatan untuk membukakan pintu pagar, akhirnya aku yang melakukannya. “Dygta main kerumah?” tanya Ayah. Mungkin karena melihat motor Dygta yang terparkir di halaman. “Iya Yah, nemenin Kanya ngerjain tugas,” jawabku tak sepenuhnya berbohong. Aduh, maafkan Kanya ya Tuhan. Kami berdua sama-sama berjalan kedalam rumah. “Malam Om, baru pulang kerja?” sapa Dygta ketika melihat kehadiran ayah. Anak itu menyalami tangan ayah dan meninggalkan ponselnya diatas sofa. Satu-satunya hal yang tidak akan membuat Dygta lepas dari gamenya adalah ketika aku yang menyuruhnya. Kampret kan? “Iya Ta, udah lama disini?” tanya Ayah. “Satu jam lebih lah Om.” “Yaudah, kalian lanjutkan aja. Om mau beres-beres dulu ya. Kalian udah makan malam?” “Udah kok Yah,” jawab Yumi. “Yasudah kalau begitu,” kemudian ayah berlalu ke kamarnya setelah mengelus rambut Yumi yang masih sibuk menulis esainya. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam ketika aku sudah mencetak dan menyatukan  tugasku dan Dygta dengan klip. Sementara Dygta sedang menonton video otomotif yang tidak aku mengerti dari Youtube. “Nih tugasmu!” aku meletakkan tugas Dygta yang sudah selesai ke atas pangkuannya. Dygta langsung berhenti menonton dan memasukkan ponselnya ke dalam saku lalu mengambil tugasnya. Dia membaca tugasnya yang telah aku kerjakan kemudian mengangguk puas. Menandakan kalau tugasnya sesuai dengan apa yang diharapkannya. “Oke, kalau gitu aku pulang ya?” Setelah berpamitan dengan ayah dan Yumi, aku mengantarkan Dygta sampai depan. Menunggu anak itu menyalakan motornya dan pergi dari rumah sehingga aku bisa beristirahat. “Hati-hati dijalan,” kataku sambil menggetok helm yang sudah digunakannya. Dygta meringis tapi tetap memberikan senyumnya. “Kiss nya mana?” ucapnya sambil menunjuk pipinya yang tertutup helm. Aku mendengus geli. Sebagai gantinya, aku menguncupkan jari-jariku dan menyentuhkannya ke arah yang tadi dia tunjuk. Dygta tertawa karenanya. “Kalau udah nyampe rumah langsung kabari.” “Oke, oke.” “Makasih ya, buat hari ini. Boneka beruangnya juga.” Dygta mengangguk kemudian menunjuk bagian pipinya yang lain. Aku mendengus geli namun tetap melakukan seperti apa yang kulakukan tadi. Setelah mendapatkan apa yang dia inginkan, Dygta melajukan motornya keluar dari rumahku. Aku segera menutup pintu pagar dan masuk ke dalam rumah. Once again, he made my day.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD