2. Rumah Baru

1021 Words
Tujuh tahun lalu. Di sebuah restoran. "Maaf terlambat. Kamu sudah lama datang?" Hanna menengadahkan wajahnya ketika Adam baru saja sampai. Pria itu langsung menarik kursi, kemudian duduk di depannya. "Tidak. Kebetulan aku juga baru sampai." "Syukurlah jika begitu." Adam merasa lega. Dia lalu bertanya, "Kamu belum memesan?" "Nanti saja. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan." "Oh!" Adam merasa pembicaraan ini menjadi sedikit serius. Dia memperbaiki posisi duduknya. "Apa itu? Kamu bisa langsung mengatakannya." "..." Cukup lama Hanna diam seperti ingin memikirkan ulang tentang apa yang akan dikatakannya. Dia masih berpikir. Namun selama apapun Hanna berusaha mempertimbangkannya, tetap tidak ada lagi jalan bagi mereka untuk bersama. "Mari kita putus." "..." Alunan musik di sekitar seperti berhenti saat Hanna mengatakan tiga kata itu dengan lantang. Wajah Adam membeku. Matanya tampak menyipit tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Hanna ...." "Apa ini karena aku sempat melarang kamu bekerja di club? Kamu marah? Maaf! Aku tidak akan lagi melarang kamu. Kita tidak perlu putus. Aku tidak ingin kehilangan kamu." Hanna diam cukup lama sebelum tiba-tiba bangkit dari kursinya. "Itu bukan satu-satunya alasan. Alasan sebenarnya, aku sudah bosan. Aku tidak mencintaimu lagi. Aku ingin kita putus." "Omong kosong!" Adam berdiri dan mencekal tangan Hanna saat ingin pergi meninggalkannya. "Kenapa? Bilang padaku kenapa kamu tiba-tiba minta putus? Aku tidak percaya kamu sudah tidak mencintaiku. Semua yang kamu katakan tidak benar." "Apa mungkin ada kesalahan lain yang tanpa sadar aku lakukan? Bilang padaku Hanna! Aku minta maaf. Aku berjanji akan memperbaikinya." Tubuh Hanna bergetar saat Adam mengatakan semua itu. Tangannya berkeringat. Matanya memerah menahan tangis. Namun dia tetap tegar. Tidak ingin menunjukkannya di depan Adam. "Kamu harus melupakanku. Carilah wanita baik-baik yang setara denganmu. Aku tidak pantas." Hanna melepas tangan Adam. Kakinya berjalan pergi meski dengan berat hati. Dia tidak menoleh. Dia juga tidak berhenti saat Adam berusaha berteriak memanggilnya. "Hanna!" Air mata Hanna semakin deras. Kedua pipinya benar-benar basah. Namun Hanna terpaksa mengambil jalan tersebut meski bertentangan dengan perasaannya. ___ "Mbak Hanna!" "Mbak Hanna!" Hanna tersadar dari lamunannya ketika sopir taksi memanggil dengan sedikit keras. "Maaf ... Ini sudah sampai?" "Sudah sampai. Saya juga sudah membantu menurunkan koper Mbak Hanna." Hanna spontan melihat ke luar. Menemukan koper-kopernya ada di depan pagar salah satu rumah. Dia kemudian membangunkan Alex dan Axel yang rupanya tidur sepanjang perjalanan. Mengelus puncak kepala mereka dengan lembut. "Alex, Axel, ayo bangun! Kita sudah sampai." Dua bocah berusia enam tahun empat bulan itu perlahan membuka mata sambil menggeliat seperti anak kucing. "Mommy, apa kita sudah sampai?" "Iya. Kita sudah sampai. Jadi kalian cepat bangun atau paman sopir akan membawa kalian pergi ke tempat yang jauh." Alex dan Axel yang masih mengumpulkan sisa-sisa kesadaran langsung melebarkan mata. Rasa kantuk seolah hilang pada saat itu juga setelah mendengar ucapan mommy. Mereka tergopoh gopoh turun karena takut akan dibawa pergi sopir taksi. Hanna tertawa lirih. Benar-benar merasa lucu melihat tingkah mereka. Drt... Drt... Tiba-tiba ponsel di dalam tas berdering. Hanna segera mengeluarkannya untuk melihat siapa yang menghubunginya. Ketika melihat tag nama yang tertera itu ternyata Rayan, atasannya. Perlu diketahui jika Hanna sebelumnya bekerja di Gold Star. Sebuah perusahaan yang bergerak dibidang konstruksi dan desain interior yang berpusat di Kota B. Hanna bekerja sebagai desainer. Namun dia dipindahtugaskan ke kantor cabang (Red Star) dan menjabat jabatan baru sebagai ketua tim desainer interior. Meskipun berstatus kantor cabang, tapi Red Star memiliki skala yang tidak jauh berbeda. Dan menurut rencana jangka panjang yang dimiliki Rayan, Gold Star akan memindahkan kantor pusatnya ke Kota C dalam lima tahun ke depan. "Halo!" Suara lantang Rayan menyadarkan Hanna. "Hallo?" "Hanna, bagaimana perjalanan kamu? Sudah melihat rumahnya?" "Kebetulan kami baru sampai. Kami sudah melihat rumahnya." "Baguslah jika begitu. Kamu bisa bilang jika perlu sesuatu. Selain itu, ada mobil dinas untuk kamu di garasi. Kamu bisa gunakan itu agar lebih fleksibel entah urusan perusahaan atau yang lain." Hanna mengalihkan pandangannya menuju garasi. "Baiklah. Aku mengerti." Hanna sudah terbiasa bicara tidak begitu formal saat bersama dengan Rayan. Pria itu sendiri yang tidak memperbolehkannya bicara formal kecuali sedang bertemu klien atau rapat perusahaan. Meskipun awalnya Hanna kurang nyaman, tapi setelah lima tahun semua itu berlalu begitu saja. Mereka sangat akrab. Bahkan Alex dan Axel pun senang ketika Rayan berkunjung. Mereka sangat bersemangat, apalagi jika Rayan datang dengan membawa makanan atau mainan. "Kamu ada pertanyaan?" Rayan memberi kesempatan Hanna bertanya sebelum mengakhiri panggilan. "Emm ... Sepertinya tidak." "Baiklah. Aku rasa cukup sampai di sini. Sekadar informasi, untuk hari ini dan besok kamu bisa beristirahat terlebih dulu. Lusa baru datang ke kantor untuk menemui David." "Aku mengerti. Terima kasih untuk hari liburnya." "Tidak perlu berterima kasih. Kamu pantas mendapatkannya." Sambungan telepon berakhir. Hanna menyimpan ponselnya dan membuka gerbang rumahnya. Ralat, rumah milik perusahaan. "Alex, Axel, ayo bantu Mommy memindahkan barang. Ini adalah rumah kita sekarang." Hanna menarik koper masuk ke dalam rumah. Alex dan Axel mengikuti dengan patuh. Sesampainya di dalam, Hanna membantu menata barang-barang anak kembarnya. Mulai dari mainan hingga pakaian. Alex langsung mengeluarkan laptop. Satu-satunya barang yang ada dalam tas kopernya. Dia menaruh laptop di meja belajar yang ada di sudut ruangan. Sementara Axel menyusun mainannya dalam rak. Anak itu terlihat serius. "Robot di samping dinosaurus. Lalu McQueen di samping Buzz." Sejenak dia berhenti. Menatap mainan yang sudah disusunnya dari atas ke bawah, lalu menempelkan telunjuk di dagu lancipnya sambil menggelengkan kepala. "Oh tidak, ini tidak benar. Buzz di samping Budi, dan Dinosaurus sebaiknya tidak perlu diletakkan. Ya. Dinosaurus hanya akan mengganggu pemandangan." Alice memperhatikan kedua putranya yang begitu serius dengan kesibukan masing-masing. Dia mengeluarkan ponsel melihat jam. "Kalian tidak lapar?" Axel mendongak. "Lapar. Axel lapar!" Alex menutup laptopnya. "Sepuluh menit lagi makanan akan sampai. Mommy hanya perlu menyiapkan uangnya." "Hem?" Kata-kata Alex membuat Hanna tertegun. "Kamu sudah memesannya?" Alex segera memutar laptopnya. Menunjukkan bukti pesanan digital dari sebuah rumah makan. "Setelah perjalanan jauh Mommy pasti lelah. Jadi Mommy tidak perlu memasak. Cukup pesan makanan secara online." Hanna tidak tahu harus senang atau sedih dengan apa yang dilakukan putranya. Alex memang perhatian dengan memesankan makanan. Tapi di sisi lain Hanna sangat tahu jika putra sulungnya itu hanya tidak ingin mommy nya memasak dan menghidangkan makanan yang tidak dapat dimakan. "Ya, mungkin sudah waktunya aku mengambil kelas memasak."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD