Reon menatap Arthur tidak suka, dia baru saja mendengar bahwa Raja dan Ratna akan memberikan posisi untuk Arthur di perusahaan mereka sebagai pemegang kedua perusahaan itu. Dan yang paling Reon tidak suka adalah, orang tuanya bahkan tidak menyebut namanya sama sekali untuk ikut andil dalam mengurus perusahaan. Arthur selalu menduduki posisi yang nyaman dan enak—seperti menjadi penerus bisnis kedua orang tuanya, pikirnya.
Reon selalu merasa iri setiap kali Raja mengagungkan nama Arthur di depan kolega-kolega bisnisnya. Tidak jarang Raja mengatakan jika Arthur adalah penerus yang bisa diharapkan. Reon berulang kali menawarkan diri dan berniat untuk masuk universitas agar bisa menduduki salah satu posisi di perusahaan keluarganya—mungkin perusaahan Raja atau Ratna.
Sayangnya, Raja maupun Ratna tidak tertarik memakainya sebagai penerus perusahaan. Mereka terfokus kepada Arthur—membentuknya sebagai sang penerus. Mengajaknya untuk pergi ke acara-acara besar, mengikuti banyak event di perusahaan cabang, bahkan sudah pernah mengikuti rapat yang bersifat internal di perusahaan.
Ketika acara pertunangan itu, semua teman-temannya datang dan memuji Arthur yang cocok bersanding dengan Seina. Padahal mereka tidak tahu jika Seina berada di sana karenanya. Reon tidak mengerti mengapa tidak pernah muncul tanggapan buruk tentang pertunangan itu. Bahkan banyak sekali orang yang mendukung keputusan Arthur dan Seina untuk bertunangan—menurut mereka langkah yang diambil Arthur dan Seina sudah benar.
Karena beberapa masalah dan juga terlalu banyaknya infotainment yang membahas tentang Arthur, Reon tidak bersemangat melakukan semua pekerjaannya. Reon memilih untuk vakum beberapa hari dan berada di rumah. Namun, hari ini dia akan memulai fokus kembali dengan pekerjaannya. Memulainya dengan menjadi model dalam pemotretan majalah.
Ketika membuka pintu kamar, tidak sengaja bersamaan dengan Arthur. Laki-laki itu berjalan lebih dulu dan tanpa menyapa Reon sama sekali.
"Heh, Elo bisa enggak sih sopan sama gue? Gue ini Kakak Lo!" Tegur Reon dengan wajah kesal. "Terus satu lagi, cewek gue 'kan udah gue kasih secara cuma-cuma buat Lo. Ah iya, ditambah sama anak pula. Bukannya harusnya Lo senang karena tiba-tiba bakalan punya istri cantik dan anak yang lucu. Walaupun bekas gue sih!" Sindirnya.
Arthur diam saja, tetap menuruni anak tangga rumahnya untuk sampai ke meja makan. Selama ini Arthur tidak pernah terprovokasi jika tidak menyangkut masalah pribadinya.
"Lo suka 'kan kalau dapat bekas gue? Kalau bukan karena gue hamilin dia dan enggak mau tanggung jawab, Lo pasti enggak dapat-dapat jodoh. Siapa juga yang mau punya pasangan kaya Elo? Udah kasar, sering banget marah-marah, apa-apa diam kaya orang bego', udah gitu cemen banget! Lo terlalu polos atau memang Elo yang enggak bisa ngelakuin hubungan—"
Bugh. Belum selesai Reon bicara, Arthur sudah melayangkan tinjunya ke wajah Reon. Bahkan laki-laki itu sampai terhuyung—jatuh tersungkur di lantai. Semua pelayan kaget dan ada yang berteriak.
Reon mengelus tulang pipinya yang sepertinya bengkak, "b*****t! Gue ada pekerjaan! Elo enggak ada otak mukul di wajah gue?"
Arthur tersenyum sinis, "jangan pernah ngomongin otak kalau nyatanya kamu sendiri enggak punya otak!"
Reon berdiri, menghajar Arthur tetapi selalu bisa ditangkis. Arthur pandai bela diri, mana mungkin dia akan kalah hanya karena pukulan Reon. Selain kalah skill, Reon juga kalah badan—Arthur lebih tinggi darinya dan lebih tegap tentunya.
"Lo enggak tahu 'kan kalau Bi Mirna sama Pak Parjo dipecat karena apa? Semua itu karena Bi Mirna terlalu banyak ikut campur masalah keluarga kita. Dia cuma pelayan—pelayan yang ngurus Elo dari bayi. Enggak pantas dia sok baik dan menganggap Elo anaknya. Atau Elo mau punya ibu seorang pembantu?"
Arthur mendorong Reon dan mereka tetap adu jotos—pelayan yang berada di sana tidak berani melerai. Mereka takut jika sampai terkena amukan dari keduanya. Sehingga salah satu pelayan naik ke lantai atas dan memberi tahu Raja dan Ratna bahwa kedua anaknya sedang adu jotos di ruang makan.
Arthur benar-benar kalap dan sangat kesal karena mendengar tentang apa yang terjadi pada Mirna—orang yang telah merawatnya dari bayi. Bahkan Mirna memperlakukannya dengan baik, seperti anak sendiri. Sehingga Arthur tidak kekurangan kasih sayang sama sekali dari seorang ibu. Mirna selalu melakukan banyak hal yang bisa dilakukan seorang ibu kepada anaknya.
Sekarang Arthur tahu apa yang telah terjadi sebenarnya. Pantas saja Mirna pergi tanpa pamit padanya. Jika tidak karena ucapan Reon tadi, mungkin selamanya Arthur tidak akan pernah tahu kebenarannya.
Raja yang masih mengenakan kemeja kerjanya sontak langsung turun dari lantai dua. Sedangkan Ratna dengan buru-buru melerai kedua anaknya yang sama-sama babak belur. Tetapi lebih parah Reon karena Arthur tidak segan menggunakan pukulannya untuk memukul Reon.
Reon memegang pipinya yang sangat bengkak karena pukulan Arthur tadi. Ratna memegang lengan Reon yang hendak menendang Arthur, tetapi akhirnya Arthur-lah yang berhasil menendang Reon sampai terhuyung bersama dengan Ratna.
"ARTHUR!" Bentak Raja karena tidak tahan dengan perlakuan kasar sang anak bungsu kepada Reon dan Ratna.
"Mau jadi apa kamu? Mau jadi jagoan yang bangga mukulin orang?" Tanya Raja mendekat ke arah Arthur tanpa peduli dengan Reon yang babak belur di belakangnya.
Ratna memegang kedua pipi Reon dan memperhatikan bagaimana lukanya. Arthur sendiri tidak peduli jika Reon terluka walaupun semua itu karena dirinya.
"Kakakmu ini mau ada pemotretan, Arthur. Kenapa sih kamu enggak pernah berubah?" Tandas Ratna dengan nada kesal.
Arthur tersenyum sinis, "Mommy juga enggak pernah berubah. Mommy 'kan yang sengaja pecat Bi Mirna sama Pak Parjo? Mommy juga 'kan yang minta mereka untuk ganti nomor dan enggak mengangkat telepon aku! Kenapa sih Mommy tega banget!"
Ratna terdiam—semua rahasia itu sengaja dia tutupi dari Arthur dan Raja. Apalagi Parjo adalah sopir pribadi Raja yang paling baik. Raja tidak perlu menunjukkan jalan karena Parjo yang paling tahu.
Raja menghela napas panjang, seakan dia tahu apa yang Arthur rasakan saat ini. Laki-laki paruh baya itu langsung meninggalkan rumah—tanpa berkata apapun. Kepalanya pusing jika harus terus-menerus mengurusi masalah kedua anaknya. Ditambah Raja baru tahu jika supir andalannya bukannya keluar sendiri, tetapi dipecat.
"Puas kamu! Puas karena Mommy sama Daddy kaya gini!" Ketus Ratna dengan menunjuk-nunjuk wajah Arthur.
Arthur memegang telunjuk Ratna dan menatap ibunya dengan tatapan tidak suka, "Mommy selalu begitu. Mommy tidak mau mengakui kesalahan, selalu menganggap diri Mommy paling benar. Kenapa Mommy tega banget sih nyuruh Bi Mirna keluar?"
"Karena kamu enggak pernah bisa menganggap Mommy sebagai ibu kamu! Jadi jangan salahkan Mommy jika ini terjadi," bentak Ratna kesal.
Perdebatan mereka pun terdengar begitu keras, mungkin semua pegawai di rumah ini bisa mendengarnya—tetapi pura-pura tidak mendengarkan saja. Daripada terkena amukan atau paling buruknya lagi adalah dipecat.
Arthur mengambil tas sekolahnya lalu menatap Ratna kembali, "sebenarnya Mommy enggak perlu menyingkirkan orang lain hanya karena supaya aku bisa menganggap Mommy sebagai ibu. Mommy cukup merendahkan ego Mommy—mungkin semua akan baik-baik saja. Jangan pernah salahkan orang lain dalam masalah yang Mommy buat sendiri. Banyak kok wanita-wanita karir yang tidak lupa mengurus anaknya. Andai saja Mommy bisa menjadi wanita karir itu—mungkin aku bisa menjadi anak yang dekat dengan Mommy. Aku juga enggak tahu kenapa Mommy terlihat tidak suka padaku. Entahlah apa yang Mommy pikirkan sampai kasih sayang Mommy lebih condong kepada Reon."
Arthur meninggalkan rumah begitu saja. Merasa kesal dengan keadaan yang membuatnya harus bicara banyak hal. Ratna terdiam, tidak berani menghentikan Arthur atau berteriak kepada anak keduanya. Arthur benar—jika dia bisa menjadi wanita karir yang mengurus anaknya, Arthur juga bisa menganggapnya sebagai seorang ibu. Lalu, apa yang harus dia lakukan sekarang?
###