Setelah lelah menyusuri bibir pantai, Arthur memilih untuk pergi. Tujuan selanjutnya adalah sebuah cafe biasa yang berada di pinggir kota. Tempat anak-anak muda kalangan menengah ke bawah nongkrong. Mengapa Arthur bilang begitu? Walaupun ini cafe, namun menu minuman ataupun makanannya bisa dikatakan murah. Arthur sebenarnya tidak suka pergi ke cafe, karena terlalu ramai, berisik, dan penuh dengan manusia sok asik.
Belum lagi jika ada yang mengenal dirinya, pasti akan datang melipir—memperkenalkan diri, bersalaman, tersenyum, lalu menitip salam untuk ayah atau ibunya. Orang-orang yang berlaku seperti itu menganggap jika diri mereka dekat, akrab dengan keluarga Dewangga. Padahal, tidak ada sejarahnya Raja menganggap kedekatan diantara orang-orang itu sebuah pertemanan. Di mata Raja, mereka semua adalah pengemis yang mendekat karena butuh suntikan dana.
Suasana cafe di sini pun sangat sepi, berbeda dengan beberapa warteg di pinggir jalan tadi—dipenuhi dengan beberapa orang yang rela berjejal untuk bisa makan. Menurut Arthur sendiri, walaupun harga di cafe ini cenderung murah, mungkin untuk mereka yang tinggal di daerah ini, harganya cukup mahal.
Setidaknya, dirinya bisa menikmati waktu yang menyenangkan untuk membaca buku sastra yang beberapa hari lalu dipinjamnya dari perpustakaan. Tidak lama kemudian, pesanannya pun datang dibawakan oleh seorang pelayan laki-laki.
Arthur meletakkan uang seratus ribu di atas meja, "ambil aja!"
Laki-laki itu mengerutkan keningnya bingung, "maaf Mas, tadi bukannya sudah membayar di kasir sebelum pesanan datang, 'kan?"
Arthur menutup bukunya, beralih menatap laki-laki itu dengan tatapan dingin. Arthur mengambil uangnya dan meletakkannya di tangan kanan pelayan laki-laki itu.
"Anggap saja bonus," ucap Arthur lalu kembali membaca bukunya.
"Tap—"
"Kalau enggak mau uangnya, taruh aja. Jangan ganggu dan lekas pergi." Tandas Arthur tanpa mengalihkan pandangan matanya dari bukunya.
Pelayan itu menatap uang yang bewarna merah di tangannya, "terima kasih banyak, Mas."
Pelayan itu berulang kali menunduk dan berterima kasih kepada Arthur. Setelah itu pelayan itu pergi dengan perasaan yang senang. Mungkin, baru kali ini mendapatkan uang bonus dari pelanggan dengan nominal sebesar ini.
Arthur membolak-balikkan bukunya, lalu memegang badan cangkir yang masih panas. Arthur tidak biasa jika harus minum minuman panas. Mirna selalu membuatkannya minuman hangat saja. Jadi, Arthur memilih untuk menunggu sampai kopinya sedikit hangat.
Lonceng terdengar, ada beberapa siswa SMA masuk ke dalam cafe. Mereka tampak berisik dan suara mereka pun terdengar cukup keras, membuat Arthur terganggu. Wajah Arthur berubah kesal, dia melihat dengan seksama siapakah anak-anak SMA yang datang ke cafe dengan ribut seperti ini—seperti orang kampung. Walaupun pada kenyataannya pun begitu.
Seragam-seragam itu memang tidak terlalu buruk. Setelan abu-abu putih khas anak SMA pada umumnya. Tak ada yang membedakan dari sekolah SMA lainnya. Mungkin hanya SMA Galaksi Bima Sakti yang mempunyai ciri seragam tersendiri, agar tidak sama dengan sekolah lainnya.
Di sana ada dua laki-laki yang tidak tampan sama sekali—menurutnya. Lalu ada tiga perempuan, lumayan cantik. Tetapi satunya seperti bukan bagian dari geng itu. Perempuan dengan wajah menor itu hanya menunduk, tidak seperti temannya yang lainnya.
Arthur tidak mau peduli karena itu bukan urusannya. Dia kembali fokus pada bukunya karena mereka tidak terlalu ribut seperti ketika masuk ke cafe tadi. Mereka tampak berdiri di depan meja pemesanan, meminta ini dan itu. Arthur kembali menoleh dan melihat pesanan mereka yang cukup banyak untuk lima orang.
Pelayan laki-laki tadi mengerutkan keningnya, "kalian pesan dua puluh menu untuk apa? Apa nanti teman kalian akan datang?"
"Enggak, ini untuk kami. Katanya dia mau traktir makan dan minum, nih!" Ucap salah satu laki-laki berambut pirang sedikit rusak warnanya—mungkin dicat tapi tidak jadi atau karena cat rambutnya murahan. Laki-laki berambut pirang itu terus mendorong perempuan dengan dandanan menor ke depan.
"Dia yang mau bayar? Saya buatkan pesanannya kalau sudah bayar. Jadi totalnya tiga ratus ribu." Pelayan itu membacakan total uang yang harus perempuan dengan dadanan menor itu bayarkan padanya.
Arthur menatap gerak-gerik tidak biasa dari perempuan dandanan menor itu. Tangannya gemetaran ketika mengambil dompet dari dalam tasnya. Perempuan itu bahkan terus menunduk dan berulang kali menatap isi dompetnya.
"Punya duit enggak sih?" Tandas seorang perempuan dengan rok paling pendek diantara yang lainnya.
Perempuan dengan dandanan menor itu tampak menunduk, di dompetnya hanya ada uang lima puluh ribu saja. Dia benar-benar tidak punya uang lagi sekarang.
"Eh, kita ketemu lagi. Kemarin kamu pinjamin aku uang tiga ratus ribu waktu ban motorku bocor, ini aku kembalikan. Makasih ya," Arthur memberikan uang tiga ratus ribu kepada perempuan dengan dandanan menor itu.
Perempuan itu menatapnya, hendak berucap namun Arthur menggeleng. Dia segera kembali ke mejanya yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri saat ini. Perempuan itu lalu memberi uang tiga ratus ribu itu kepada sang pelayan dan diminta untuk menunggu sebentar.
Perempuan itu tidak melepaskan pandangan matanya dari Arthur. Bahkan perempuan itu tersenyum ketika Arthur beranjak dari tempat duduknya dengan membawa tas dan bukunya.
"Wih ... Siapa tuh cowok?" Tanya perempuan yang menggunakan rok paling pendek.
"Ngomongin apaan?" Perempuan paling cantik dengan rambut yang bergelombang baru saja masuk dan disambut pelukan hangat oleh kedua perempuan disamping perempuan dengan dandanan menor itu.
"Itu, si Cinderella udik, kenal cowok yang baru aja keluar dari cafe ini. Harusnya Lo papasan tadi."
Perempuan itu menoleh ke belakang, tetapi tidak ada siapa-siapa. Tetapi dia ingat sesuatu, namun memilih untuk diam.
Sedangkan di persimpangan jalan lain, Arthur menatap ban motornya yang kempes. Mungkin seharusnya dia tidak bilang masalah ban bocor tadi, jadi tidak akan menimbulkan masalah untuknya sekarang. Apalagi tidak ada satupun orang yang lewat di daerah ini. Tempat ini sepi dan jarang ada yang lewat.
Arthur memilih duduk di pinggir jalan, menunggu siapa saja orang yang datang. Arthur tidak tahu apa ada tambal ban disekitar sini atau tidak. Daripada harus mendorong motornya entah sampai di mana. Arthur lebih memilih untuk diam saja.
Tidak lama kemudian sebuah motor berhenti di depannya. Arthur hanya mendongak, memastikan jika orang yang turun dari motornya bukanlah orang jahat.
"Lho, Mas yang tadi 'kan?" Tanyanya antusias.
Arthur beranjak dari duduknya lalu mengangguk, "apa ada tambal ban di daerah ini?"
"Jauh banget Mas, kalau misalkan Mas-nya mau, saya bisa kok jemput Paman saya yang biasanya tambal ban keliling." Tawar laki-laki yang merupakan pelayan cafe yang tadi.
"Boleh banget, makasih." Ucap Arthur dengan nada yang kaku.
Laki-laki itu pergi untuk memanggil pamannya yang katanya tukang ban keliling. Setelah lima belas menit berlalu, laki-laki itu datang bersama dengan pamannya.
Sembari menunggu si paman selesai membetulkan bannya yang bocor, Arthur memilih untuk duduk dan menunggu. Pelayan laki-laki itu mengikutinya dan ikut mengambil duduk disamping Arthur.
"Saya tahu kalau Mas tidak punya utang sama Mbak yang tadi. Mas hanya mau membantu, 'kan?" Tanya pelayan laki-laki itu.
Arthur menoleh, "tidak! Itu memang benar."
"Oh, tapi untunglah karena Mas sudah menyelamatkan perempuan tadi dari bully-an teman-temannya. Kata teman saya yang bergantian shift dengan saya tadi bilang, kalau kemarin lusa mereka juga datang. Perempuan itu juga yang disuruh bayar." Ucap pelayan laki-laki itu.
"Arthur," ucap Arthur menyodorkan tangannya. "Panggil nama saja, aku tidak senang dipanggil Mas. Siapa namamu?" Tanya Arthur balik.
"Eh, saya Seta." Jawabnya dengan kikuk lalu menerima uluran tangan Arthur.
"Masih sekolah?" Tanya Arthur untuk kesekian kalinya.
Laki-laki itu menggeleng, "tidak sekolah atau putus sekolah lebih tepatnya. Uang yang kamu berikan tadi, terima kasih banyak."
Arthur hanya mengangguk, setelah motornya jadi dia hendak memberi uang jasa, namun sang paman terus menolak—katanya karena sudah memberikan uang yang besar pada keponakannya sebagai bonus.
Arthur tersenyum walaupun tidak terlalu luwes. Sebelum pergi, Arthur sempat meminta ponsel laki-laki itu dan mengetikkan nomornya.
"Kamu bisa menghubungiku kapan saja." Ucapnya lalu menaiki motornya dan bergegas pergi.
Tidak biasanya Arthur memberikan kontaknya untuk orang lain—apalagi orang yang baru dikenalnya. Tetapi, Arthur merasa percaya kepada laki-laki itu. Entah karena faktor apa.
###