BAB 2 [PART 3]

1202 Words
Matahari mulai tenggelam, senja di depan mata—menyambut malamnya yang indah. Sayang, suasana hatinya masih sama saja. Tidak ada sesuatu yang selayaknya membuat seorang Arthur begitu bahagia hari ini. Seina beberapa kali mencoba untuk dekat dan mengajaknya bicara, namun tak pernah mendapatkan jawaban yang mengenakkan dari Arthur. Bahasanya selalu kasar, suaranya pun juga keras, matanya menajam, tanpa senyuman pula. Arthur setiap hari memang menyeramkan. Maka tidak ada satupun orang yang berani untuk mendekatinya. Jikalau kepepet pun, mereka tetap menjaga jarak, karena Arthur selalu tidak suka berdekatan dengan orang-orang yang menurut dirinya asing. Motornya baru saja masuk ke garasi. Ada sebuah mobil yang terparkir di sana dan itu adalah mobil kerja yang selalu dipakai Reon ketika pekerjaan luar kota. Entah itu syuting iklan yang hanya sebentar atau syuting film yang membutuhkan banyak waktu. Arthur turun dari motornya, berjalan masuk ke dalam rumahnya dengan santai. Di ruang tamu ada dua orang laki-laki yang sedikit melambai atau bahasa kasarnya banci. Salah satunya adalah manajer Reon dan satunya lagi adalah asisten yang mengurus semua barang-barang yang akan dipakai Reon. Keduanya yang sedang menikmati es kelapa muda langsung berdiri ketika melihat Arthur yang baru saja masuk ke dalam rumah. Sebenarnya, mereka juga lebih takut pada Arthur daripada Reon selaku bos mereka. Karena Reon tidak pernah menatap mereka seperti ketika Arthur menatap mereka. "Eh, Tuan muda," sapa manajer Reon dengan kikuk. Padahal baru saja dia ingin mengambil nastar di dalam toples, tapi keburu bertemu dengan Arthur yang baru saja pulang dari sekolah. Sekedar informasi, siapapun orang yang mengenal keluarga Arthur, maka mereka langsung otomatis memanggil Arthur dengan sebutan Tuan muda. Mengapa? Karena Arthur tidak pernah menoleh ketika namanya dipanggil oleh orang yang tidak dikenalnya. Seperti biasanya, tidak ada tanggapan apapun yang diberikan oleh Arthur. Laki-laki itu hanya menatap manajer Reon dengan sekilas lalu berjalan ke arah tangga. Namun, sebelum naik ke tangga, suara Reon menghentikan langkahnya. "Wah, udah pulang adik kesayangan gue." Ucapnya dengan nada yang sangat ceria. "Jangan galak-galak gitu deh, Arthur. Ah, mungkin Lo bingung karena sebentar lagi bakalan nikah, ya?" Sambungnya. Arthur menoleh ke arah Reon dan menatapnya tajam. Tatapan yang selalu mengunci lawannya untuk tidak bermain-main dengannya. Tatapan itu masih menjadi sebuah ketakutan tersendiri untuk orang yang melihatnya. Itulah mengapa beberapa orang tidak ingin kontak mata dengan Arthur. Terlalu tajam, mengerikan, terlihat dominan, dan tatapan yang membuat lawannya ingin segera menundukkan kepala. Dengan keberanian yang setengah, Reon menatap adiknya yang tidak mengucapkan sepatah kata pun tentang ledekannya baru saja. Reon hanya sedang berjaga jika sampai tangan Arthur melayang lagi ke perutnya seperti beberapa minggu yang lalu. Jika sudah marah dan kesal, Arthur tidak segan main tangan jika memang diperlukan. "Santai lah, Bro. Lo sebentar lagi 'kan jadi calon Ayah. Kenapa masih sensi aja sih? Marah-marah terus enggak baik. Iya enggak?" Ucap Reon yang meminta persetujuan manajernya yang berada disampingnya. Namun, manajernya hanya tersenyum tipis, tidak berani menatap Arthur. "Sorry ya, karena Elo bakalan dapat bekas gue. Tapi Seina itu memang pantas sam—" Arthur memegang tangan Reon yang hendak merangkulnya. Memelintir tangan kakaknya itu dan mendorong Reon sampai hampir terjengkal. "Arthur, sialan Lo!" Bentak Reon yang tidak terima dengan perlakuan Arthur padanya. "Kalau kamu laki-laki, seharusnya kamu bisa konsekuensi dengan perbuatan yang sudah kamu lakukan. Aku menikah atau enggak menikah, sama sekali bukan urusan kamu. Bukannya hidup yang kamu mau adalah seperti ini? Ada uang, ada perempuan. Tapi kamu bisa pegang omonganku, seumur hidup, kamu enggak akan bahagia karena kamu selalu merasa kurang. Jadi, nikmati saja kesengsaraan dunia yang dibalut harta dan wanita." Tandas Arthur yang menatap sekilas Reon lalu meninggalkannya begitu saja. Pertengkaran dengan Reon adalah hal yang biasa. Bahkan banyak kata-kata kasar yang keluar, kadangkala. Tetapi Arthur masih bisa mengendalikan mulutnya jika memang tidak terlalu keterlaluan. Arthur membuka pintu kamarnya dan mengabaikan semua panggilan Reon. Jika semakin diladeni, Reon akan semakin liar—melakukan cara licik agar menang darinya. Reon selalu berusaha untuk terlihat bisa mengalahkan argumen Arthur, tapi sayangnya hal itu belum pernah terjadi. Bukannya menang, Reon malah semakin terpojok dengan argumen yang Arthur katakan. Setelah masuk ke dalam kamarnya, Arthur melepaskan seragamnya dan berjalan ke balkon kamarnya untuk menikmati sensasi senja yang mulai menghilang digantikan gelap malam. Arthur bertelanjang d**a, membuat angin membelai tubuhnya yang begitu tegap—karena sering olahraga. Sayangnya, Arthur tidak pernah memperlihatkan tubuh atletisnya kepada siapapun. Jadi, siapapun tidak pernah tahu bagaimana bentuk tubuh seorang Arthur. Tetapi mereka pun bisa mendeskripsikan sendiri bagaimana bentuk tubuh Arthur. Arthur kepikiran tentang Seina yang sempat mengatakan akan membuat dirinya jatuh cinta. Katanya, cinta datang karena terbiasa. Setidaknya kemungkinan itu sangatlah besar karena mereka akan hidup dalam atap yang sama. Tetapi, Arthur tidak yakin jika dirinya bisa jatuh cinta. Tadi, ketika pulang sekolah, Seina sempat berlari mendekat ke arah parkiran dan meminta Arthur untuk mengantarkannya pulang karena tidak dijemput sopir. Namun, yang Arthur lakukan adalah memesankan taksi dan menyuruh Seina untuk pulang dengan taksi. Dia tahu betul jika Seina kesal padanya. Arthur menatap ke arah pintu ketika suara ketukan terdengar. Tidak ada niatan untuk membuka pintu karena malas berdebat dengan siapapun yang berada dibalik pintu kamarnya. "Arthur, buka pintunya! Mommy mau masuk," teriak Ratna dari luar. Dengan malas, Arthur membukakan pintu kamarnya dan masuklah Ratna dengan membawakan jas baru yang masih dibungkus plastik. Ratna tidak menyangka jika kamar Arthur rapi dan sebagus ini. Mungkin terakhir kalinya Ratna masuk adalah ketika Arthur masih duduk di bangku SD. Setelah itu, Arthur melarang Ratna, Raja, dan Reon untuk masuk ke dalam kamarnya apapun alasannya. Ratna meletakkan jas hitam itu pada gantungan yang dekat dengan lemari sepatu Arthur. "Besok, kita akan bertemu dengan keluarga Seina untuk menentukan tanggal pernikahannya. Kamu harus pakai jas ini, karena akan ada sesi foto bersama. Mommy sudah melakukan reservasi di salah satu hotel dan ada beberapa wartawan di sana. Kamu harus bilang jika pernikahan kalian atas dasar perjodohan. Jangan bilang macam-macam dan jangan bilang yang sebenarnya." Ancam Ratna pada Arthur yang bersandar pada dinding kamarnya. Arthur kesal, mengapa semua hal harus diliput dan diketahui oleh khalayak. Padahal, ini bukahlah pernikahan yang dia inginkan. Toh, mereka juga akan tahu jika dirinya dan Seina menikah karena ada insiden—hamil duluan. "Kamu dengar Mommy 'kan, Arthur? Jangan membuat kekacauan, sekali saja!" Tandas Ratna gemas karena tidak ada jawaban apapun dari Arthur. "Kekacauan? Siapa yang membuat kekacauan sampai seperti ini? Siapa yang salah dan siapa yang menjadi korbannya sekarang? Mommy bisa mengancam, tapi aku juga bisa melakukan apa yang tidak Mommy mau." Ucap Arthur yang tidak takut sama sekali. Ratna menghela napasnya panjang lalu menatap Arthur dalam-dalam. Rasanya tidak sanggup jika harus berhadapan dengan manusia es yang menjadi anaknya ini. "Apa yang kamu inginkan? Tapi tidak dengan membatalkan pernikahan ini atau bicara pada semua orang yang sebenarnya!" Tanya Ratna melipat tangannya di d**a. Ide bagus terlintas di kepala Arthur, "aku mau, setelah menikah, tidak ada acara satu rumah. Mommy bisa 'kan memberikan dia rumah dan semua fasilitasnya. Sedangkan aku? Biarkan aku tinggal di sini. Aku tidak mau satu rumah dengannya. Pernikahan ini hanya karena buku nikah. Jadi, tidak ada kewajiban untuk menjaganya layaknya istri dan bertindak sebagai suami. Mommy paham?" Dengan berat hati Ratna mengangguk walaupun itu seperti hal baik karena tidak ada keturunan lagi dari Seina. Jujur saja, Ratna tidak suka Seina sejak awal. Maka dari itu, Ratna sudah melarang Reon untuk bermain dengan Seina yang dianggapnya udik sejak awal. "Silakan keluar!" Ratna menghela napas panjang lalu keluar dari kamar anaknya setelah diusir dengan tidak terhormat. ###
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD