"Bagus sekali. Setelah membuat kekacauan di pesta mantanmu, lalu kau tidur dengan pria yang tidak kau kenal?!" Kate menggelengkan kepalanya, takjub. "Apa kau sudah kehilangan akal?"
"Aku mabuk, kau tahu."
"Ya Tuhan, Hazel! Aku tidak tahu lagi harus bicara apa. Kau ini benar-benar bodoh, ya."
"Kurasa iya."
"Oke, baiklah! Soal kekacauan itu kita lupakan saja. Tapi ... bercinta dengan pria yang tidak kau kenal?! Oh, ya Tuhan, Hazel! Bagaimana jika nanti kau hamil?"
Hazel memutar bola matanya. "Aku tidak akan hamil."
"Bagaimana kau bisa seyakin itu? Dia membuangnya di dalam, kan?"
"Ya?"
"Kau bisa saja hamil! Dasar bodoh!"
"Aku tidak akan hamil. Percaya padaku. Dua hari yang lalu aku baru saja selesai mens dan aku dalam keadaan tidak subur."
"Kau yakin?"
"Aku membacanya di internet."
"Oh, ya, tentu saja. Lalu, bagaimana wajahnya? Siapa dia? Apa kau tahu namanya?"
Hazel menggeleng. "Aku tidak tahu siapa dia. Aku juga tidak tahu seperti apa wajahnya."
"Astaga!" Kate lagi-lagi berteriak. Saking kesalnya, ia mengambil sebuah bantal lalu memukulkannya berkali-kali ke punggung sahabatnya itu. "Kau itu bodoh atau apa?"
"Aku takut melihat wajahnya. Sepertinya, dia jauh lebih dewasa dariku."
"Apa kau tidur dengan seorang kakek-kakek?"
"Tentu saja tidak! Dia punya otot yang besar, punggung yang lebar, seperti petinju. Kulitnya masih halus, suaranya terdengar seperti pria seumuran kakakku. Dan dia ..."
Apa-apaan ini ...
Mengingat hembusan napas dan lembutnya bibir pria itu membuat darahnya berdesir tanpa alasan.
"Dan dia?"
"Sudahlah lupakan saja tentang dia. Ayo, bersiap-siap, Shane pasti sudah menunggu."
Kate meraih tasnya lantas berdiri. "Ya baiklah, ayo."
***
DAVIN Hart mengantungi kertas yang ia temukan di atas nakas tadi pagi ketika melihat Shane datang menghampiri mejanya. Ia tidak mau temannya itu mengetahui aib ini. Ya, aib, tentu saja. Dalam sejarahnya, belum pernah ada seorang wanita pun yang memakinya setelah bercinta. Gadis itu, siapa pun dia, benar-benar bodoh. Dia tidak tahu dengan siapa ia tidur malam itu. Seandainya saja ia tahu, mungkin gadis itu akan mencium kakinya dan memohon padanya untuk mengajaknya bercinta sekali lagi. Lalu, seperti biasanya, Davin akan pergi meninggalkannya begitu saja. Seperti yang ia lakukan pada Hailey beberapa minggu yang lalu.
"Apa kau sudah lama?"
Davin tersenyum dan menggeleng. "Tidak. Aku juga baru saja tiba."
"Oh, begitu. Apakah Hazel sudah datang ke sini? Aku pikir, aku sudah terlambat."
Dahi Davin berkerut. "Dia akan ke sini?"
"Ya, aku mengajaknya sarapan pagi bersama. Apa kau keberatan?"
"Begitu, ya. Tentu saja tidak, aku juga ingin bertemu dengannya. Apakah dia masih gadis polos yang suka menggigit atau bukan. Haha."
Shane tertawa. "Kau akan terkejut melihatnya. Nah, itu dia!"
Suara denting bel terdengar, menandakan ada yang masuk melewati pintu restoran. Dan di sanalah Davin melihat dua orang gadis berjalan beriringan. Yang satu berambut pendek sebahu, matanya sipit, persis seperti orang Asia. Dan yang satu, berambut panjang bergelombang, bola matanya berwarna biru, berkulit putih. Davin bisa melihat dadanya yang membusung itu ditutupi ujung rambutnya yang sungguh sangat nakal.
Mata Davin turun, mengikuti lekuk tubuh si gadis bermata biru. Bagaimana bisa ia menjadi sangat cantik?
"Berapa usianya sekarang?"
"Dua puluh satu tahun, kurasa."
Itu artinya, sekitar 8 tahun yang lalu.
Davin mulai berpikir, apa reaksi gadis itu ketika melihatnya nanti.
"Hei, Shane. Apa kami terlam—" Hazel menoleh menatap Davin—"bat?"
"Tidak. Kami juga belum lama. Oh, Hazel, apa kau masih mengingat Davin Hart?" Shane menunjuk Davin yang duduk di sebelahnya.
Hazel terlihat tegang. "Oh? Ya, ya, tentu saja."
Jelas saja ia terkejut melihat Davin. Mereka punya masa lalu yang cukup mengesankan.
"Hai, Hazel, kau terlihat ..." Davin berlagak seperti sedang menilainya. "Berbeda sekarang."
Hazel hampir mendengkus. Tentu saja ia kesal dengan cara pria itu menatapnya.
"Tentu saja. Aku sudah bukan anak kecil lagi sekarang. Hmm."
Sebentar.
Sepertinya Davin mengenali suara itu.
"Kate, ini Davin Hart. Dia temanku semasa kami masih sama-sama bersekolah di Indonesia."
Kate menatap Davin lalu tersenyum. "Hai, aku Kate."
"Hai, Kate. Apa kau temannya?"
Kate mengangguk sambil menatap Hazel sesaat. "Ya, kami bersahabat sejak duduk di bangku sekolah menengah atas."
"Oh, jadi, apa dia pernah menggigitmu?"
"Hei! Apa-apaan itu?" Hazel meliriknya dengan tajam. "Aku tidak seperti itu."
"Maksudnya, menggigit?"
Shane tertawa. "Kau tahu Kate, sejak kecil, Hazel memiliki kebiasaan buruk. Ia suka menggigit jika ia sedang kesal. Davin dulu sering menjadi korbannya. Tapi, sejak masuk SMA sepertinya kebiasaannya itu sudah hilang."
"Tentu saja," Hazel mengedikkan bahu acuh tak acuh.
"Jadi, anak kucing, sudah berubah menjadi anak singa sekarang?" tanya Davin dengan nada rendah.
Hazel merasakan sesuatu berdesir di dalam dirinya. Entah bagaimana bisa. Suara dan hembusan napas Davin mampu mempengaruhinya.
"Iya, maka menjauhlah atau aku akan mencakarmu," balas Hazel sambil menyipitkan sedikit matanya.
"Oh, ya Tuhan, Shane. Dia benar-benar sudah berubah. Dia bukan gadis manja yang kukenal dulu. Dia lebih berani sekarang."
Shane tergelak. "Jangan macam-macam dengannya. Dia tidak lagi menggigit, tapi cakarnya mampu menembus jantungmu."
Davin Hart menatap ke dalam mata biru itu. "Dia hampir melakukannya."
"Hmm, Shane, sepertinya kami harus pergi. Aku lupa membeli beberapa barang untuk keperluanku di New York besok. Jadi, apa kami boleh pergi sekarang?"
Hazel menghindarinya, dan Davin Hart menyadari itu.
"Tapi, aku belum memakan sesuatu. Aku sangat lapar pagi ini, Hazel."
"Kita akan makan nanti!"
"Tapi, aku ingin makan di sini..."
Apa-apaan itu? Lihat bagaimana cara Kate menatap Davin Hart, dia seperti sedang terhipnotis. Dan dengan bodohnya, Kate membusungkan dadanya yang rata itu ke meja. Sepertinya ia sedang mencari perhatian pria itu.
"Tunggulah sebentar lagi, Hazel. Setelah ini aku akan mengantar kalian." Shane berusaha membujuk.
"Tidak perlu. Biar kami berdua saja."
"Paris ini sangat luas. Dan ini adalah pertama kalinya kau datang ke kota ini. Bagaimana kalau nanti kalian tersesat?"
Hazel mengedikkan bahunya sambil berdiri. "Tenanglah, Shane, kami bukan anak kecil. Kami bisa bertanya jika kami tidak tahu."
Davin Hart terkekeh. "Biarkan saja mereka pergi, Shane."
Hazel meliriknya sekilas kemudian menarik Kate dengan gerakan sedikit memaksa. "Ayo, kita pergi!"
Setibanya di luar restoran, Hazel langsung menceramahi Kate karena sikapnya yang menurutnya sedikit menjijikkan.
"Apa-apaan itu tadi? Kau ingin mencari perhatiannya Davin, begitu?"
"Aku hanya berusaha. Dia sangat tampan, Hazel. Astaga, apa rasanya jika dicium olehnya, ya. Bibirnya itu benar-benar menggemaskan."
"Kau tidak tahu siapa dia! Sejak SMA dia sudah tidur dengan beberapa teman perempuannya. Dan mungkin, sudah berpuluh-puluh gadis yang ia tiduri. Bayangkan betapa menjijikkannya dia!"
"Kenapa sepertinya kau sangat membencinya? Apa kau punya masalah dengannya?"
"Dia menyebalkan. Dia selalu mempermainkan wanita. Dia hanya ingin tubuh mereka! Pokoknya, jangan pernah terpancing dengan mulut manisnya itu!"
"Hmmm-mm. Ya, ya, baiklah."
****