Signal Buruk

1499 Words
Danti hanya menghela nafas saat mendengar sang ibu mertua tengah mengadu pada Kelana. Seharian ini ibu mertuanya bersikap sinis dan selalu berusaha mencari kesalahannya. Akan tetapi sikap sinis ibu mertuanya ini memang sudah ditunjukkan sejak awal dirinya menikah dengan Kelana. Ia yang hanya anak yatim piatu tentu bukanlah menantu idaman keluarga kaya dan seni ningrat seperti suaminya. Hanya saja ayah mertuanya yang menyetujui pernikahan tersebut karena menyukai sikap Danti yang andap asor dan baik hati serta tutur katanya yang lembut , disamping itu, Kelana mencintai dan memilih Danti menjadi pendampingnya. Danti yang tengah menyiapkan makan malam, segera bergegas menyongsong sang suami yang hampir mengiyakan permintaan sang ibu untuk makan di luar. "Mas." "Loh, kamu kok...?" Kelana menggantung kalimatnya saat melihat penampilan sang istri yang masih memakai apron. "Kenapa, Mas?" Danti ikut bingung dengan tatapan dan pertanyaan tak selesai sang suami. "Kok masih pakai apron. Memangnya kamu ndak kerja?" "Ohh... Itu. Saya kerja malam, Mas. Hanya saja jamnya di mundurkan satu jam karena mulai malam ini saya tidak lagi bertugas di UGD tapi di ruang rawat inap VIP, " jawab Danti menjelaskan pertanyaan sang suami mengabaikan tatapan tidak suka ibu mertua. "Mas mau langsung makan, atau mandi dulu?" "Mandi dulu, baru ma-" Ucapan Kelana tak selesai kareja dipotong dengan cepat oleh sang ibu. "Lah piye toh! Tadi sudah setuju ngajak ibu makan di luar, lah sekarang kok malah mau makan di rumah. Piye toh kamu ini, Lana!" "Lah buat apa makan di luar, Bu. Di rumah loh, banyak makanan enak. Ada semur daging, pindang telur dan perkedel jagung, sayur bening gambar daun kelornya juga seger ini, Bu," jawab Kelana seraya memeriksa semua wadah makanan yang tersaji di atas meja makan. "Tuh benerkan enak," ucapnya lagi dengan mulut mengunyah perkedel jagung."Makan dulu deh kalau gitu. Dan!" "Lah katanya tadi mau mandi dulu, Mas. " "Ndak, nanti saja setelah makan baru mandi. Mana piringnya, Dek. " Kelana yang tadinya hendak mandi mengurungkan niatnya setelah merasai masakan sang istri. Pria itu kini sudah duduk menghadap meja makan menunggu Danti mengambilkan nasi untuknya. Karena merasa diabaikan, Bu Arum pun akhirnya ikut duduk di depan putranya. Menerima piring dari Danti dengan ogah-ogahan. Hanya suara Kelana saja yang terdengar menceritakan hal-hal yang ia alami seharian tadi. Sementara bu Arum diam-diam menikmati rasa enak masakan Danti yang cocok di lidahnya, namun entah mengapa ia selalu menampiknya. "Lan, Kamu masih ingat nggak sama Hanifah?" Tanya Bu Arum tiba-tiba. "Hanifah siapa, Bu? Lana nggak ingat," Jawab Kelana tetap menikmati makannya tanpa menoleh ke ibunya. "Mosok ndak ingat! Hanifah itu anaknya pakde Sastro yang kuliah di luar negeri. Dia loh temenmu waktu kecil." "Terus kenapa, Bu?" "Dia sudah pulang dari luar negeri. Sekarang ada di rumah bapaknya di Madiun. Walaahh, kamu kalau ketemu sama Hani pasti pangling, Lan. " "Kenapa? Apa sudah jadi orang Arab dia?" "Bukan, dia tetap gadis Jawa tulen. Hanya saja tambah cuantik. Pokok'e adem kalau liat dia. Lulusan luar negeri pasti lebih unggul dari pada yang lulusan lokal," Puji bu Arum tanpa menghentikan suapannya. Jika dihitung, ia sudah menghabiskan empat potong perkedel jagung dan dua butir telor pindang serta semangkuk sayur bening gambas daun kelor. Tetapi ia tetap tak mau mengakui, jika masakan sang menantu sangat enak. Kelana masih bersikap biasa, ia tidak ingin terlalu aktif menanggapi apa yang diobrolkan sang ibu karena ia ingin menjaga perasaan Danti sang istri yang sejak tadi hanya diam. Dan Bu Arum semakin semangat saat Danti berpamitan pergi ke kamar untuk bersiap pergi bekerja. "Ibu mau kamu ketemuan sama Hanifah, lusa dia akan ke Bogor ke rumah kakaknya. Jakarta ke Bogor kan ndak jauh, Lan, " Ucap Bu Arum pada Kelana yang tengah menikmati kopi seraya menonton siaran televisi. "Buat apa saya ketemu sama Hanifah, Bu? Saya pria beristri, bukan bujangan yang lagi mencari istri." "Ya namanya teman lama, pastinya kalian butuh saling tukar kabar. Ndak baik loh mengabaikan teman masa kecil, apa lagi Hanifah ada nanyain kamu loh." "Ya tetap ndak boleh, Bu. Berduaan dengan perempuan yang bukan mahram atau pasangan halalnya." "Memangnya ada aturan, pria beristri dilarang bertemu dengan perawan? Siapa yang buat aturan itu?" Sela bu Arum membantah perkataan putranya. "Dalam fiqih sudah dijelaskan, Bu. Jangankan pria beristri yang bujangan saja tidak boleh bertemu dengan dan hanya berduaan dengan perempuan yang bukan mahramnya tanpa di temani mahram perempuan itu." "Kalau begitu, halalkan saja si Hanifah itu. Selesai kan, ndak perlu nabrak aturan lain." "Maksud Ibu, Saya disuruh nikah sama Hanifah? Gendeng, Bu. Saya loh punya istri." "Memang apa salahnya punya istri lagi? Toh dalam agama diperbolehkan kok , laki-lali nikah lebih dari sekali." "Memang benar seperti itu, tidak ada larangan untuk seorang pria melakukan poligami, tapi Lana tidak mau melakukan itu. " "Coba aku punya dua anak laki-laki, pasti sudah aku nikahkan dengan Hanifah. Sayangnya aku hanya punya anak laki-laki satu dan sudah nikah, tapi ya itu istrinya mandul." "Bu!" panggil Kelana, namun diabaikan oleh sang ibu yang malah beranjak dari ruang TV menuju ke kamarnya. Kelana tak ambil pusing dengan prilaku sang ibu, pria itu memilih pergi ke kamarnya sendiri untuk mandi. Sementara Bik Asih tampak berbisik pada Danti yang baru selesai meletakkan pakaian kotor ke mesin cuci. "Kok Ibu Ratu ngomongnya gitu ya, Bu. Memuji perempuan lain di depan menantunya." "Mungkin perempuan itu memang sudah dia kenal sejak kecil, Bik. Dan beliau ingin mengisahkan kembali." "Mengisahkan, tapi nadanya itu loh, Bu. Seperti lagi promosi biar anaknya nikah lagi." "Husstt! Jangan bicara begitu, Bik. Kalau beneran gimana? Masa saya punya madu." "Amit-amit jabang bayik, jangan sampai, Bu. Sepurane, bibik keceplosan," Sahut Bik Asih merasa bersalah dan Danti seperti biasa hanya tersenyum dengan begitu hangat. *** "Jadi siapa sebenarnya Hanifah itu, Mas?" Tanya Danti saat mereka berada di dalam mobil menuju rumah sakit. "Dia itu anak dari teman baik ayah. Dulu waktu aku masih SMP rumah kami memang berdekatan, tapi aku ndak pernah jadi teman mainnya, dia lebih sering main dengan adikku Niken." "Terus apa sebelumnya kalian memang sudah di jodohkan?" "Nggak ada. Kalau aku dijodohkan dengan dia tentu aku nggak bisa nikah sama kamu, Danti, " Jawab Kelana lantas menoleh ke arah istrinya. "Ndak usah terlalu kamu pikirkan obrolan ini tadi. Fokus ke dirimu sendiri saja. Usaha kita buat dapat anak juga belum finalkan?" "Tentu saja belum, Mas. Siapa tahu, tahun ini aku benar-benar hamil ya, Mas." "Aamiin Allahumma Aamiin. Semoga tahun ini atau tahun depan atau tahun depannya lagi, istriku pasti hamil." "Mas, apa aku tetap harus berhenti kerja?" "Bagusnya seperti itu, biar ibu ndak nyerocos terus, dan kamu bisa lebih santai biar bisa cepat hamil." Danti tertawa saat tangan Kelana mengelus perutnya seolah-olah tengah menyapa calon anak mereka. *** Untuk meredam omelan sang ibu mertua, Danti akhirnya berhenti bekerja sebagai perawat, profesi yang sangat ia dambakan sejak duduk di bangku SMP. Hari-harinya kini hanya seputar mengurus rumah, suami dan merawat ibu mertua yang selalu mencari kesalahan untuk bisa mencemooh dirinya. Sementara sang suami kini tak lagi selalu membelanya, Kelana hanya lebih banyak meminta Danti untuk bersabar dan memahami watak ibunya walau itu sangatlah menyebalkan. "Jadi istrinya Lana belum hamil juga, Bude?" Ibu Arum mengangguk mendengar pertanyaan dari ponakannya itu. "Ndak tau itu, Ning. Apa karena memang mandul atau si Danti yang ndak mau punya anak karena ndak mau repot ngurusnya, karena Bude yakin, Lana itu sehat. " "Lah terus sekarang Lana di mana, Bude?" "Kelana sekarang dapat dinas luar kota terus. Dia sekarang sudah naik jabatan jadi manager. Ini dia sudah tiga hari yang lalu di Surabaya ngurus proyek." "Ngurus proyek apa kawin lagi, Bude?" Canda sang ponakan dan dibalas senyuman oleh Bu Arum. Disaat Bu Arum tengah menjamu tamunya, Danti memilih untuk berada di kamarnya, wanita berparas cantik itu tengah mencatat sesuatu di buku catatannya. Bukannya tidak mau ikut mengobrol, ia hanya malas karena sang ibu mertua pasti akan menyindir dirinya karena belum juga hamil. Danti lebih memilih menghabiskan waktu sore itu dengan membaca dan membuat catatan terkait medis juga menyusun menu makan untuk ibu mertuanya yang menderita diabetes dan jantung koroner. Ia banyak belajar dari internet juga rekannya yang masih bekerja di rumah sakit. Semua berada di luar prediksinya saat ia mengajukan surat pengunduran diri. Ia pikir, akan menjalani hari-hari santai dan tenang, namun pada kenyataannya tidak semanis yang ia impikan. Mas Lana Aku masih seminggu lagi di sini. Ada material yang baru datang besok. Tidak perlu meneleponku jika tidak begitu penting. Danti membaca pesan yang dikirim suaminya tadi malam, dan ia mematuhi perintah pria itu untuk tidak menghubunginya. "Moga Mas Lana, baik-baik saja. Pekerjaannya lancar tanpa ada kendala. Tapi kenapa hatiku merasa gelisah?" Gumam Danti setelah menatap layar ponselnya. Sejak mendapat tugas luar kota, sang suami sangat jarang menghubunginya, kalau pun ada menelepon, yang pria itu tanyakan adalah sang ibu, Kelana tidak ada menanyakan bagaimana perasaan Danti istrinya, hanya pertanyaan tamplete saja yang pria itu tanyakan pada wanita yang hampir empat tahun menjadi istrinya. "Aduuhh! Kok bisa patah?" Danti meringis saat melihat ujung pena yang tengah ia pegang tiba-tiba patah saat baru akan digunakan. "Kok pulpen bisa patah? Ini loh plastik, bukan kayu," Gumam Danti masih memandangi pena di tangannya. **

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD