Angkot Karatan

1197 Words
TOK … TOK … Pintu diketuk tapi bukannya dibuka, pintu itu justru ditembus oleh seorang wanita berusia sekitar 40 tahunan. “Nama Jeanne, umur 25 tahun, meninggal karena sakit tipes,” ucapnya sambil membaca catatan di tabletnya lalu melirik gadis yang ia sebut namanya sebagai Jeanne. Dalam hati Jeanne berujar, Canggih juga malaikat mautnya. Punya tablet dengan logo apel. “Benar,” balas Jeanne sambil menyengir. “Status, jomblo selama 3 tahun. Terakhir kali diputusin pas KKN karena mantan laknatku kepincut sama temen KKN-nya.” “Oh miris, turut berduka meski terlambat,” balas wanita itu tanpa ekspresi. “Saatnya kita pergi,” lalu ia menunjuk pintu. Dan tanpa perlawanan atau keraguan apapun, Jeanne menatap pintu itu. Terlalu lucu jika ia harus bertingkah atau membuat drama tak ingin pergi. Karena kehidupannya tidaklah se-wow itu untuk ia merengek atau memohon untuk dihidupkan lagi. Dalam hati ia berbisik pelan. Semoga ada sesuatu yang menyenangkan di balik pintu itu. Sejak ia meninggalkan kamarnya, mengikuti wanita yang bahkan tak ia ketahui namanya itu, mulut Jeanne tak berhenti berceloteh, meminta penjelasan. Namun, satu-satunya penjelasan yang ia dengar dari wanita itu adalah setelah kematian para hantu akan tinggal di dunia persinggahan sambil menunggu hari reinkarnasinya. “Berarti gak ada hari pembalasan gitu yah?” “Gak ada siksa kubur macem di pelem-pelem itu?” “Gak ada pocong, kunti, atau tuyul gitu?” Kesal dengan segala pertanyaan Jeanne, wanita itu berhenti sesaat. Ia membalik tubuhnya yang berjalan lebih dulu dari gadis banyak tanya itu. Seketika tatapan matanya menajam ketika bertemu dengan kedua bola mata berwarna coklat milik Jeanne. “Ini sudah 2021, kita para hantu tidak menjalani hari-hari seperti hasil ciptaan manusia di film, apalagi dengan tampilan primitif seperti pocong, kuntilanak, dan sebagainya,” wanita itu menggeleng. “Ini sudah 2021, tolong jangan mendiskriminasi hantu,” tegasnya lagi. “Ya mana tau, aku kan baru pertama kalinya mati dan jadi hantu,” gerutu Jeanne dengan suara pelan yang ia harap tak terdengar oleh wanita itu. Perjalanan mereka terhenti di terminal. Mereka menunggu angkutan menuju tempat selanjutnya. “Apa dunia persinggahan tidak memiliki aplikasi untuk memesan ojek atau taksi online? Katanya sudah 2-0-2-1,” ejek Jeanne dengan sengaja menekankan kata 2021. Dibanding menjawab, wanita itu memilih diam sambil memejamkan matanya. Yang artinya, ia menolak untuk menjawab segala kekepoan Jeanne. Tak berselang lama, seorang pria tua bergabung bersama mereka dan diantar oleh seorang pria juga. Sepertinya jika yang mati perempuan yang menjemput perempuan juga. Kalau yang mati laki-laki maka yang menjemput laki-laki juga. Gak ada gitu cowo-cowo muda, ganteng, badan kotak-kotak yang bisa jemput? Nasib-nasib… Mati aja masih jomblo gini. Sementara Jeanne sibuk memikirkan nasibnya, sebuah mobil mewah berhenti di depan mereka. “WOW!!” seru Jeanne dengan girang menatap mobil berwarna hitam mengkilap itu. “Silakan, Pak,” ucap malaikat maut pria itu, lalu si bapak tua dipersilahkan masuk. Jeanne ikut mendekat. Ia hendak ikut masuk tapi tangannya diraih oleh wanita yang tadi menjemputnya. “Itu bukan jemputanmu,” ucapnya dengan malas. “Loh, bukannya aku lebih dulu sampai di sini?” “Yang pasti itu bukan mobil jemputanmu,” ucap wanita itu dengan tegas. Jeanne menghela napas panjang lalu ikut duduk. Ia sibuk membayangkan dengan mobil jenis apa ia akan dijemput. Apakah dengan mobil mewah yang atapnya bisa dibuka dan ditutup hanya dengan memencet tombol? Atau dengan limousine? Atau bahkan dengan jet pribadi menyaingi artis kenamaan itu? “WOW!” ia berseru kegirangan. Namun, di detik selanjutnya suaranya yang nyaring berubah tercekat. “Wew,” ucapnya dengan lemas melihat mobil yang berhenti di depannya. Berbeda dari apa yang ia bayangkan. Bukan mobil dengan atap yang bisa dibuka dan ditutup itu, atau dengan limousine, apalagi sampe jet. Karena mobil yang berhenti di depannya itu malah angkot, dengan warna pudar yang artinya sudah renta usia angkot tersebut. Ditambah besi-besinya yang karatan sehingga membuat suara mesinnya terdengar mengerikan. “Silakan,” terdengar suara wanita itu sambil menyuruh Jeanne naik. “Kenapa mobil jemputanku seperti ini?” tanyanya dengan lemas. “Mobil jemputan tergantung dari kebaikanmu selama hidup,” balas wanita itu. “Katanya jangan ada diksriminasi kepada hantu,” ketus Jeanne. “Nyatanya kalian yang mendiskriminasi hantu dengan mobil jemputan yang berbeda-beda. Pak tua tadi dijemput mobil mewah karena dia memiliki umur yang lama untuk melakukan kebaikan, sementara aku baru 25 tahun sudah meninggal.” “Jika kau setua itu baru meninggal, jangankan angkot karatan ini. Kau tak akan mendapatkan penjemputan melainkan disuruh berjalan kaki sambil dicambuk dari belakang,” ketus wanita itu lalu ia kembali menolehkan kepalanya sebagai tanda agar Jeanne segera masuk ke dalam angkot. Dan akhirnya Jeanne masuk ke angkot itu meski dalam hati ia mengumpat. Dan sesuai perkiraannya, angkot tersebut berjalan bak kura-kura saking lambatnya. Mesinnya yang sudah tua tak bisa lagi diajak balapan. Atau besi-besinya yang karatan membuat telinga Jeanne panas sendiri mendengarnya. Perjalanan terasa begitu lama. Entah di mana ia akan diturunkan. Atau entah diskriminasi macam apalagi yang akan ia temukan di depan. Ia sedikit merenung, mengenang kehidupan yang telah ia tinggalkan. Hidup sebagai anak bungsu nyatanya tak seindah di sinetron ataupun di novel-novel yang sering ia baca. Anak bungsu yang dimanja dan selalu diutamakan. HAHAHAHAHA … Suara tawanya terdengar sumbang. Ia lahir sebagai anak bungsu di keluarganya, yang ia terima hanyalah uang dan uang. Ia hanya akan berbicara dengan ayahnya saat ia meminta uang. Lalu ayahnya akan sibuk dengan dunianya sendiri. Atau kakak-kakaknya yang akan memberinya uang jajan tiap habis gajian, setelah itu mereka sibuk dengan dunia masing-masing. “Yah sudahlah, setidaknya mereka masih memberiku uang,” ucapnya sambil tertawa mengejek. “Ah setelah hari ini, uang mereka akan dialihkan pada siapa yah?” tanyanya lagi sambil ia melihat jalanan yang telah ia lalui. Sibuk berbicara sendiri mengenang kehidupannya, tanpa ia sadari angkot tua itu akhirnya berhenti. Ia turun dan mulai menemukan keramaian. Dan semakin ia bingung. “Apa mereka hantu atau manusia?” tanyanya sambil melihat satu persatu entah itu hantu atau manusia. Mereka berjalan secara berkelompok, ada juga yang berjalan sendiri, ada juga yang sibuk menatap benda pipih di tangan mereka. “Ah, sepertinya mereka manusia,” ucapnya sambil melirik para wanita-wanita muda yang berjalan tak jauh darinya. “Lantas apa yang harus kulakukan di sini?” Ia memutar tubuhnya, menatap lebih jauh. Mencari hantu untuk ia tanyai ke mana ia harus pergi selanjutnya. Namun, yang ia lihat hanyalah manusia-manusia yang sibuk dengan dunia mereka masing-masing. “Ah sial,” ia menjambak rambutnya. “Masa aku hilang di tengah-tengah manusia ini.” Kukunya yang memanjang itu ia pakai untuk menggaruk kepalanya yang tak gatal. Rambutnya yang memang tak tersisir sebelumnya makin berantakan. “Hey!” terdengar seseorang berseru. Jeanne mendongakkan kepalanya. Menatap seseorang yang tersenyum padanya, ia ikut tersenyum. Jika makhluk itu mampu melihatnya artinya dia hantu juga. “Kau pasti hantu pendatang baru,” tebak gadis itu. “Benar,” jawab Jeanne sambil mengangguk berkali-kali. “Aku Audy,” ucapnya sambil mengulurkan tangan. Jeanne ikut mengulurkan tangannya, menjabat tangan itu sambil ia menyebutkan namanya. Ia memperhatikannya dengan seksama. Tangannya tak lagi menembus tangan itu, berbeda saat ia menyentuh tubuhnya yang tadi terbaring. “Jadi, apa yang harus kulakukan?” tanya Jeanne sambil melepaskan jabatan tangannya. “Kemarilah,” Audy menarik Jeanne menjauh dari jalanan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD