Tiga

1069 Words
"Sudahlah, Nona. Anda harus istirahat. Saya rasa anda bisa lebih kuat dengan kenyataan yang baru anda saksikan." Rudolf mulai jenuh dengan sikap keakanak-kanakan Grace. Tisu berserakan memenuhi lantai. "Jangan ikut campur urusanku! Urus saja urusanmu!" Grace berkata sarkas. "Semua sudah berjalan sesuai rencana anda, lalu apa lagi?" "Ini tak seperti yang aku rencanakan, bahkan Raihan sekalipun tak menampakkan perasaan bersedih saat aku bersanding denganmu." Rudolf memijit kepalanya. Dia sangat lelah, bertambah lelah kerena menghadapi sikap Grace yang keras kepala. "Nona, anda harus menerima kenyataan, bahwa hatinya bukan milik anda lagi, bagaimanpun usaha anda untuk membuatnya cemburu, semua itu hanya akan menghabiskan energi dan biaya." "Oh? Kau sudah pintar mengajariku ya? Jangan mentang-mentang aku menjadikanmu suamiku kau bisa mengaturku seenaknya. Simpan mimpimu itu jauh-jauh!" Rudolf terdiam dengan ucapan ketus wanita itu. Dia butuh tidur, dia lelah fisik dan pikiran. Tapi suara tangis wanita egois itu sangat mengganggunya. Rudolf bangkit dari duduknya, masih memakai stelan jas pengantinnya. Saat dia menuju pintu keluar, suara panggilan Grace menghentikannya. "Mau kemana kau?" "Saya mau mencari kamar yang lain. Saya harus tidur." Rudolf menggeret kopernya yang berukuran sedang. Tiba-tiba Grace melompat ke depannya, wajah kacau mirip zombi dengan maskara luntur meleleh ke pipinya. "Kau ingin membuatku malu? Hah? Di luar masih banyak awak media, dan kau ingin menghancurkan reputasiku dengan memamerkan bahwa kita tidak tidur sekamar?" Rudolf menatap Grace lelah. "Saya mengantuk, dan anda tak memberi kesempatan pada saya untuk tidur. Saya tak bisa tidur di atas kasur yang dipenuhi tisu bekas mengusap air mata dan ingus." Mata Grace melebar, mukanya memerah malu. Lalu dia mengumpulkan semua tisu itu dan memasukkannya ke dalam tong sampah. "Aku rasa sofa lebih cocok untukmu, kita menikah bukan berarti akan tidur seranjang , asal kau tau saja." Rudolf ingin tertawa dengan tingkat kepercayaan diri wanita itu. Bahkan dia tak pernah membayangkan bagaimana rasanya tidur bersama Grace. Wanita itu tak ada menariknya baginya, hambar dan datar. Dia menyukai wanita ke ibuan dan beretika. "Tidak masalah, dan saya tidak bisa tidur dengan lampu yang menyala, serta suara berisik." Grace hanya mendecih malas. "Saya harus menggunakan kamar mandi terlebih dahulu. Dan anda juga butuh mandi, Nona. Lihat wajah anda, anda bagaikan artis yang memerankan film zombie." Grace menyipit marah. "Ternyata kau orang yang menyebalkan." Tapi Rudolf tak lagi menanggapi, dia masuk ke dalam kamar mandi tanpa tertarik menanggapi Omelan Grace. Grace menyingkirkan kelopak bunga yang bertaburan di atas ranjang hotel itu. "Apa-apaan ini? Apa mereka pikir aku akan menghabiskan malam dengan pengawal rendahan? Sampai kiamat pun aku takkan melakukannya." Grace berdiri mendekati cermin besar yang dihiasi ukiran emas dan sangat cantik itu. Rudolf tak sepenuhnya berbohong, wajahnya sangat kacau, maskara luntur meleleh menciptakan semacam pulau di pipinya, yang lebih menggelikan lagi, bulu mata palsu hampir terlepas dari kelopak mata kanannya. Ini lucu, tapi Grace salut, laki-laki itu tak tertawa sedikit pun melihat penampakan dirinya. "Andaikan orang tau model internasional sepertiku memiliki penampilan begini, bisa saja kontrak akan diputuskan secara sepihak." Grace mencabut bulu matanya. Lalu mengeluarkan peralatan make up dan membersihkan wajahnya dengan pembersih wajah. Lima menit kemudian, Rudolf muncul dari pintu kamar mandi dengan pakaian lengkap. Rambut basahnya masih meneteskan sisa air mandinya. Dia berjalan cuek di depan Grace. Lalu merebahkan tubuhnya di sofa kamar hotel yang cukup panjang dan lebar. Grace melirik pria yang mulai memejamkan mata itu. "Besok kita akan pergi ke dokter kandungan." Rudolf tersentak. "Dokter...dokter kandungan?" Dia nyaris berbisik tak yakin dengan pemikirannya. "Iya, kita akan cek kesehatan kita sekaligus berkonsultasi untuk program bayi tabung. Andaikan kau tak subur, mungkin kontrak kita akan diperpendek." Begitu enteng ucapan itu dilontarkan Grace padanya. Tak peduli melukai harga dirinya yang dari awal sudah di injak-injak wanita itu. Andaikan hidup tak butuh uang dan andaikan ayahnya tak mewariskan hutang yang sangat banyak, sudah dari dulu dia meninggalkan wanita seperti Grace. ***  Grace meregangkan seluruh ototnya. Tidur yang cukup nyenyak, setidaknya dia bisa menikmati liburan singkat setelah ini tanpa memikirkan pekerjaan. Pagi ini Grace merasa lebih baik, setidaknya dalam semalam saja namanya memenuhi berbagai media masa dan media cetak. Bahkan banyak televisi lokal atau pun internasional yang menghubunginya untuk menjadi bintang tamu karena penasaran dengan kisah cinta Grace yang jatuh ke pelukan bodyguardnya sendiri. Bukankah itu kisah cinta yang unik? Grace mengamati punggung kokoh yang tak peduli dengan krasak krusuknya, laki-laki yang sudah menyandang status sebagai suami itu tengah asik dengan pemikirannya sendiri, tangan besarnya tengah memegang cangkir kopi dengan asap yang masih mengepul. Grace tak peduli, dia berjalan santai melewati punggung itu begitu saja. Dia pergi ke kamar mandi untuk membasuh muka dan menggosok giginya. Demi apa pun, dia tak peduli dengan pengawalnya itu. Grace kembali ke ranjangnya yang kusut. Menyisir rambut panjangnya dengan jarinya. Diam begini ternyata cukup membosankan. "Hei!"sapa Grace sinis. Rudolf menoleh kemudian kembali memandang kopinya tak peduli, ada pemikiran yang berat yang mengganggunya saat ini. "Setelah masa liburku habis, kita akan disibukkan dengan jadwal di beberapa televisi." Rudolf mengerutkan keningnya. "Lalu, apa hubungannya denganku?" "Tentu saja ada hubungannya. Semua orang pasti penasaran, bagaimana model sepertiku bisa berakhir menikahimu." Rudolf mengerti kemana arah pembicaraan Grace. Dia hanya diam menunggu reaksi wanita itu selanjutnya. "Aku harap kau bisa bekerja sama dengan baik, sedikit saja kau salah bicara, maka reputasiku akan hancur dalam sekejap." "Lalu apa yang harus saya lakukan?" "Bersikaplah selayaknya kekasih yang sangat mencintai kekasihnya. Tunjukkan bahwa kita saling mencintai dan jangan sedikit pun beri tahu tentang tujuan pernikahan kita ini." "Nona menyuruh saya untuk berbohong?" Rudolf tidak terima dengan ide wanita itu. "Kau lupa kesepakatannya? Selama aku membayarmu, kau wajib bekerja profesional denganku." Grace berucap dengan enteng. Rudolf terdiam. Wanita itu memang begitu semena-mena kepadanya. "Ada syaratnya." Rudolf berkata tegas sambil mengeratkan rahangnya. "Kau mulai bertingkah rupanya." "Saya bisa saja mengakhiri kontrak ini jika anda terus menekan saya." "Apa?" Grace menyipitkan matanya. Lalu dia bangkit dari ranjang mendekati Rudolf sambil tersenyum meremehkan. "Kau mulai mengancamku?" "Saya hanya mengajukan kesepakatan." Grace mengangkat dagunya tinggi- tinggi. "Apa syaratmu?" Rudolf diam sejenak lalu berkata dengan tenang. "Masalah mendapatkan bayi, saya ingin prosesnya berjalan dengan normal." Grace serasa disambar petir. Wanita itu tersenyum masam dan tak percaya dengan pendengarannya. "Kau ingin mengambil kesempatan dariku?" "Anda terlalu berburuk sangka, Nona. Saya hanya ingin membuat harga diri saya kembali utuh." "Kau sadar dengan apa yang kau ucapkan?" "Sadar. Semuanya tergantung nona, jika tidak sepakat, saya akan buka suara ke publik tentang pernikahan palsu ini." Tanpa menunggu reaksi Grace, laki- laki itu pergi meninggalkan wanita yang masih melongo itu. "Sial...." Grace meninju udara. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD