Aku tidak tahu, kenapa harus Papi langsung yang datang menjemput, karena biasanya Papi meminta Pak Jani, supirnya yang menjemputku di bandara, setiap aku berkunjung ke rumahnya. Kupeluk erat lelaki tua yang darahnya mengalir di tubuhku. "Papi sehat?" tanyaku, saat aku melihat ada kesedihan di mata, dan raut wajahnya, juga kegelisahan pada sikapnya. "Papi sehat, Dang, kayapa habar ikam, nini wan kai, sehat jua kah?"tanya papi. "Alhamdulillah sehat semua, Pi " "Yuk kita bapandir di rumah haja, ikam pasti uyuh kalu, Dang." (Ayo kita ngobrol di rumah saja, kamu pasti lelah kan, Sayang). "Inggih, pi," jawabku. Di dalam mobil yang dikemudikan supir, Papi tampak sangat gelisah. "Ada apa, Pi? Ada yang mengganggu pikiran, Papi?" Kutatap wajah papi. Papi menghela nafas berat. "Mila kabur

