Kuatlah Sebentar Lagi

1878 Words
"Dia setuju," bohong Wina lagi. Wanita itu mengusap kedua bahu kekar putranya. "Rindu adalah istri yang baik dan pengertian. Ibu sangat bersyukur punya menantu seperti dia. Kamu harus menyiapkan diri untuk pernikahanmu nanti, Ren," sambung Wina tersenyum manis. Jawaban yang Rendra dengar menjadikannya termenung. Dia kecewa. Kenapa istrinya harus setuju untuk dimadu? Dia meminta pada Wina untuk menanyakannya pada Rindu karena dia sendiri tidak sanggup. Bahkan Rendra berusaha menghindari istrinya akhir-akhir ini karena merasa bersalah. Rendra sangat berharap jika Rindu akan menolak rencana itu, tapi ternyata semua tidak sesuai dengan keinginannya. Dia sudah berjanji pada Wina jika Rindu setuju dan memberi izin, maka dia juga akan melakukan pernikahan ini. "Aku akan ke kamar, Bu." "Ya. Istirahat saja. Ibu akan minta Mbok Ning mengirim teh." Rendra mengangguk dan segera ke atas. Sepanjang perjalanan dia masih dengan ketermenungannya. Dalam khayalan pun tidak ada keinginan untuk menduakan Rindu. Dia sangat mencintai istrinya itu. Impiannya sederhana, hanya hidup bahagia dengan Rindu dan anak-anak mereka. Begitu membuka kamar, aroma khas pengharum ruangan kesukaan Rindu lantas menerpa indera pembau. Pengharum bunga lavender. Matanya kembali menyapu seluruh ruangan setelah menutup pintu. Keadaan kamar yang selalu bersih dan rapi membuatnya selalu merasa nyaman dan tenang, sama seperti saat bersama wanita yang mengurus kamar ini. Rendra menghempaskan tubuh lelahnya di sofa bed, tempat mereka menghabiskan waktu berdua selain tempat tidur. Keduanya bisa seharian bercanda dan mengobrol di hari libur tanpa gangguan. Sayang, semuanya berubah di 2 tahun terakhir karena keadaan ibu mertuanya yang sakit dan masalah perusahaan yang semakin memburuk. Tidak tahu bagaimana ceritanya, Ibu tiba-tiba memberi tahu jika ada kenalannya yang akan membantu perusahaan dengan memberi suntikan dana untuk menutupi kerugian. Awalnya Rendra setuju karena tidak merasa ada yang aneh dari itu. Kabar perusahaan yang mulai guncang memang sudah terdengar ke beberapa koleganya. Dia hanya berpikir mungkin ibunya meminta bantuan pada temannya. Namun, saat dia sudah setuju, barulah dia tahu jika ada syarat dari pemberian suntikan dana itu. Bahkan dia mengetahui hal itu bukan dari Ibu. "Kenapa Ibu tidak bilang sebelumnya? Ibu ... apa Ibu sadar apa yang Ibu lakukan? Sebenarnya apa yang Ibu pikirkan? Aku harus menikahi putri dari teman Ibu itu? Aku sudah menikah, Bu," protes Rendra malam itu setelah melakukan pertemuan dengan Pak Pranoto. Sepanjang pertemuan itu Rendra menahan diri dari rasa kesal dan marah. Dia benar-benar tak habis pikir dengan rencana ibunya. Sama sekali tidak pernah terbersit keinginan untuk menduakan Rindu dengan wanita manapun karena baginya satu istri saja sudah cukup. "Ibu sudah terlanjur janji pada Pak Pranoto, Ren. Ibu setuju untuk melamar putrinya menjadi istrimu. Ini juga demi kebaikan kita ke depannya, Ren." Tak ada lagi yang bisa Rendra katakan setelahnya. Dengan berpikir cukup lama dan dalam, jalan satu-satunya adalah penolakan Rindu atas pernikahannya. Akhirnya Rendra mengatakan akan menyetujui jika memang istrinya memberi izin dan ternyata semua yang dia takutkan akan terjadi. Mau tidak mau dia harus menikahi wanita lain yang tidak ia kenal apalagi cintai. Meski sulit, dia harus tetap memenuhi janji. *** Rindu menutup pintu ruangan Dokter Doni setelah tadi dia pamit dan berterima kasih. Dia menelusuri lorong menuju ruangan Ibu. Aroma khas rumah sakit sudah biasa dia rasakan semenjak 2 tahun terakhir. Kepergian ayahnya membuat mereka melalui masa sulit berdua dan dia merasa saat ini adalah titik terendah di 25 tahun hidupnya. Kekayaan yang mereka punya sudah habis dan hanya menyisakan rumah peninggalan almarhum sang Ayah. Hidupnya tak lagi tenang semenjak Ibu didiagnosis mengidap kardiomiopati atau lemah jantung. Setiap malam tidurnya tak nyenyak, pun tiap waktu selalu saja dihantui ketakutan. "Ibu fokus pada kesembuhan Ibu saja. Tidak perlu memikirkan hal lain. Aku baik-baik saja dan Rendra juga pasti akan membuat perusahaannya kembali pulih," tenangkan Rindu mencoba memberi ibunya pengertian di malam itu, seminggu yang lalu. "Kalian harus bahagia." Ternyata Ibu menyadari perubahan raut wajah putrinya. Selain pertengkaran dengan dua wanita arogan, Rindu juga merasa bingung dengan sikap Rendra yang seperti menghindarinya. Dibukanya pintu ruang perawatan. Tertera identitas pasien di brankar, Nyonya Ani Dwita, usia 54 tahun. Wajah pucat dengan mata tertutup dan tubuh renta yang terbaring lemah adalah pemandangan pertama yang terlihat saat mendekat ke ranjang pesakitan. Sesak dan takut. Dua hal yang ia rasa ketika harus melihat ibunya berbaring tak berdaya dengan dihiasi alat di sekujur tubuh yang dia sendiri tidak begitu paham fungsi dari satu per satu alat itu. Rindu menarik kursi di samping ranjang, duduk di sana dengan lemah. Melihat Ibu dalam keadaan seperti ini, jujur saja rasa takut kehilangan itu semakin besar dia rasakan. Bayangan kelam saat kehilangan sang Ayah beberapa tahun lalu kembali muncul. Bagaimana jika hal itu terulang lagi? Bagaimana dia bisa hidup tanpa orang tua? Siapa yang akan dia peluk saat rindu pada ayahnya? Siapa tempatnya bermanja ketika dia merasa tertekan dengan masalah di rumah? Dan masih banyak pertanyaan yang terakit dalam benaknya. "Pasien harus melakukan operasi karena kondisinya sangat buruk. Saya takut jika terlambat, maka ibu Anda tidak akan tertolong. Pikirkan baik-baik. Pasien memang tidak akan sembuh total, tapi minimal beliau bisa hidup lebih lama." Itu adalah rangkaian kalimat paling menyakitkan seumur hidupnya. Dokter sendiri sudah memvonis jika ibunya tidak akan sembuh total. Sekarang beban pikiran Rindu bertambah satu lagi. Dari mana dia akan mendapatkan uang untuk biaya operasi ibunya di saat keadaan perusahaan Rendra sedang tidak baik-baik saja? Semua bayangan itu membuat kedua matanya basah. Rindu meraih tangan Ibu yang tergeletak begitu saja. Membawanya untuk ia kecup dengan sejuta rasa yang melebur menjadi satu. Teramat dalam hingga dia memejam dan mengalirlah lelehan bening dari matanya. Dia butuh bahu sekarang. Kelelahan karena banyak hal yang dia pikirkan menyebabkan Rindu tertidur dengan kepala merebah di sisi ranjang pesakitan. "Mbak ... Mbak Rindu," panggil perawat yang bertugas mengguncangkan bahu Rindu pelan. Dia mengenakan seragam putih lengkap dengan name tag yang tersemat di bagian kanan, Ns. Irmayani, S.Kep. Rindu mengerjapkan mata beberapa kali dan mulai bangun dari posisinya. Dia mengusap area mata untuk mendapatkan kesadaran penuh. Dilihatnya keadaan sekitar, sudah ada Dokter Doni dan suster Irma yang biasa bertugas di ruangan ibunya. Kedua matanya membesar menyadari sesuatu. Ini sudah pagi. Wanita itu gelagapan. Segera ia mendorong kursi dengan tubuhnya dan bangun. "Maaf, Dok. Saya ketiduran di sini semalam. Silakan, Dok," ucap Rindu tersenyum malu, menatap bergantian dokter dan suster yang juga tersenyum. Setelahnya dia menunduk menyadari pasti matanya sembab akibat menangis lama semalam. "Tidak masalah. Kami juga baru datang. Maaf jika kami kepagian," sindir Doni pada wanita yang kini semakin menunduk malu. Dia memang senang bergurau dengan keluarga pasien dan terkadang menjahili pasiennya, tapi dalam batas wajar hanya untuk mencairkan suasana. "Saya yang kesiangan," katanya cemberut menyadari sindiran Doni. Mereka sudah cukup akrab di 2 tahun terakhir ini. Dokter Doni merupakan dokter yang merawat Ani hingga mereka sudah seperti teman. Doni hanya tersenyum dan mulai melakukan pekerjaannya dengan lihai, dibantu Irna yang juga cekatan meski baru bekerja di rumah sakit setahun terakhir ini. Kadang Irma dan Rindu mengobrol santai jika mereka punya waktu luang. Selesai dengan pekerjaanya, Doni menatap Rindu, kali ini serius. "Keadaan pasien sudah cukup stabil. Mungkin beberapa jam lagi akan segera bangun. Seperti yang saya bilang semalam, pikirkan baik-baik apa yang akan kamu putuskan. Operasi memang tidak akan menyembuhkan, tapi minimal dapat memperpanjang hidup pasien." Kedua mata Rindu kembali berembun mendengar hal itu. Dia menarik napas dalam, sebisa mungkin mencoba kuat di depan Doni dan Irma. "Saya akan bicarakan dengan suami saya dulu, Dok." Hanya itu yang ada dalam kepalanya sekarang. "Baiklah. Saya tunggu kabar baiknya. Kami permisi. Kalau ada kabar apa pun segera temui saya." "Terima kasih, Dok." Rindu menunduk hormat. "Mbak Rindu kalau butuh apa-apa bisa bilang pada saya." Suster Irma memang orang yang perhatian dan pengertian. Rindu tersenyum dan mengangguk. "Pasti. Nanti saya akan merepotkan Suster lagi, kok. Tunggu saja, hehe." "Saya tunggu. Saya pamit, ya, Mbak." Doni dan Irma meninggalkan ruangan yang kini kembali hening. Hanya terdengar suara mesin yang seirama dengan detak jantung di samping ranjang. Tanpa menunggu lama, wanita berambut panjang itu segera mencari ponselnya untuk menghubungi Rendra. Tidak peduli dia belum membersihkan diri dan belum sarapan. Rindu mencari kontak suaminya dan menekan tombol panggil. Tidak ada jawaban. Hingga sampai panggilan ke empat, barulah telepon tersambung. Dia memilih untuk menelepon di luar. "Ya, Sayang. Kamu tidak pulang?" Suara Rendra terdengar serak khas bangun tidur. Suaminya pasti tidak tidur dengan benar 2 hari terakhir. Dia juga tidak pulang. "Pagi, Ren. Maaf aku telepon pagi-pagi begini. Aku semalam tidur di rumah sakit. Ibu--" "Ibu masuk rumah sakit lagi? Bagaimana keadaannya? Kapan Ibu dirawat? Kenapa kamu tidak bilang? Orang rumah juga tidak ada yang tahu!" cecar Rendra tak sabar. Nada suaranya terdengar sangat khawatir. "Mm ...." Rindu merasa terharu. Rasa sayang dari Rendra padanya dan Ibu lah yang membuatnya kuat selama ini. Matanya kembali basah. Di saat Wina dan Hesti terus melukai hatinya, detik itu juga Rendra datang sebagai obat. "Keadaan di rumah sedang tidak baik. Aku hanya tidak ingin menambah beban--" "Ibu bukan beban! Aku sudah bilang jangan bicara begitu! Aku ke rumah sakit sekarang." "Tidak, Ren. Jangan," cegah Rindu. "Aku menelepon karena ada yang harus aku bicarakan. Penting." Terdiam sejenak. Rindu menarik napas dalam sebelum menceritakan apa yang terjadi. Dia tahu ini pilihan sulit, tapi harapannya lebih besar dari apa pun yang dia takutkan entah itu soal perusahaan atau mertuanya. Bukan dia egois, tapi hal terpenting dalam hidup adalah nyawa seseorang, bukan? "Baiklah. Berapa biaya operasinya?" Rindu melebarkan mata, tidak menyangka jika suaminya akan langsung setuju tanpa memikirkannya lebih dulu. "Se--serius bisa, Ren? Tapi ... perusahaan--" "Ri. Yang paling penting adalah kesembuhan Ibu. Kamu tenang saja. Aku masih ada tabungan pribadi," yakinkan Rendra. Rindu mengangguk pelan dan tersenyum lega. "Biayanya seratus dua puluh juta, Ren." Rindu mengucapkannya dengan ragu. Itu adalah nilai yang cukup besar untuk pengeluaran di saat keadaan seperti sekarang. "Oke. Aku akan ke rumah sakit sekarang untuk membayar biayanya. Kamu tunggu--" "Tidak ada yang akan membayar biaya apa pun!" teriak seseorang di seberang sana yang terdengar jelas di telepon hingga membuat Rindu terlonjak. Sudah dapat diperkirakan siapa yang meneriakkan larangan itu, mertuanya. Setelah itu sambungan telpon dimatikan tanpa aba-aba. Pupus sudah. Harapan yang ia punya kini telah sirna. Bagaimana sekarang? Nominal uang yang Rindu minta hanya untuk biaya operasi saja. Sementara untuk perawatan Ibu, dia yang akan menanggung dengan menggunakan sisa tabungan dan juga berencana menjual mobil pribadi miliknya jika memang uang dalam rekeningnya kurang. Rindu menghempaskan tubuhnya di kursi tunggu dekat pintu. Menyimpan ponselnya di sisi dan menutup wajah dengan kedua tangan yang bertumpu pada lutut. Lagi, dia terisak. Kenapa cobaan seperti tak henti menerpa? Dan sialnya cobaan terbesar di hidupnya adalah ibu mertuanya sendiri. Apa dia salah dengan meminta uang untuk biaya operasi ibunya agar tetap hidup? Rindu menunduk merasa putus asa. "Ini ... pakai sapu tangan saya." Rindu menurunkan kedua tangannya. Hal pertama yang ia lihat adalah sapu tangan yang masih dipegang oleh tangan pria. "Setiap masalah pasti ada jalan keluar. Kuatlah sebentar lagi." Pria itu menyimpan sapu tangan putih miliknya di atas pangkuan Rindu yang tak berkata apapun. Setelahnya dia pergi. "Terima kasih," ucap wanita cantik itu setelah sadar dari ketermenungannya. Tidak ada siapa pun di sana. "Mana orangnya?" Dia mencari, tapi tetap tak menemukan orang itu. Dilihatnya sapu tangan dan menemukan tulisan kecil tepat di ujungnya. Rindu kembali melamun. "Kuatlah sebentar lagi." Kata-kata itu terus terngiang di benaknya. "Tapi siapa pria itu? ZE?" tatapnya penuh tanya pada dua huruf di ujung sapu tangan putih di tangannya. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD