Asumsi Gila

1806 Words
“Sebenarnya apa yang penting dari orang yang bernama Mike dan Tiara itu? Apa hubungannya denganku?” tanya Almeera di sela-sela ia mengendus durian. Meskipun aroma tubuh Alroy tetap tercium olehnya, setidaknya aroma durian itu mampu menyamarkannya sedikit. Dan hal itu membuat Almeera bertahan tanpa muntah-muntah. “Aku juga tak mengenalnya” jawab Alroy melalui sambungan telepon. “Lantas?” balas Almeera dengan bingung. “Tapi…” pria itu menjeda beberapa detik. Ingatan di kepalanya kembali memutar mimpi demi mimpi tentang Mike dan Tiara. “Tapi, mereka terlihat seperti kita.” “KITA??” Almeera memekik. “Terlihat seperti kita bagaimana?” tanyanya dengan heboh. Alroy berdiri dari sofa, terdengar helaan nafasnya melalui sambungan telepon. Jika ia mengatakan bahwa ia memimpikan Mike dan Tiara yang wajahnya terlihat sepertinya dan Almeera, dan lagi mimpi itu telah berlangsung selama bertahun-tahun, entah bagaimana Almeera meresponnya. Kemungkinan besar ia akan ditertawai atau dianggap gila. Dan yah, ia memang sudah hampir gila gara-gara mimpi anehnya itu. “Mereka terlihat seperti kita” ulangnya lagi. “Mike terlihat persis sepertiku dan wanita bernama Tiara itu persis sepertimu.” “Oh ya?” Almeera terdengar bersemangat. “Jangan-jangan kita memiliki kembaran?” suaranya terdengar meninggi dari sambungan telepon. Sepertinya dia memang makhluk aneh. Kupikir dia tidak akan percaya. Tapi… Almeera yang heboh mengetahui bahwa ada seseorang yang mirip dengannya terburu-buru melepaskan durian itu dari tangannya. Ia bahkan membiarkan durian itu jatuh begitu saja di pinggiran kolam lalu berlari mendekat ke arah pintu. Ia hendak menjangkau Alroy untuk memastikan siapa Tiara dan di mana ia bisa melihatnya juga. Tapi sayang sekali, saat ia tiba di depan pintu geser itu, saat tangannya sudah hampir menggesernya, perutnya sudah terlebih dahulu bergejolak. Dan ia belum sempat melakukan apa-apa untuk mencegah mulutnya memuntahkan sisa-sisa sarapannya. Ia hanya bisa terbatuk-batuk usai melihat muntahannya sendiri di pinggiran kolam. Ah, setidaknya ia tidak muntah ke dalam kolam. Yang akan membuat semua pelayan kesusahan untuk membersihkan kolam berukuran besar itu. “Ah, kenapa kau sangat menjijikkan” teriak Almeera setelah memuntahkan isi perutnya, ia mulai kehabisan kesabaran menghadapi pria itu. “Menjijikkan?” tanya Alroy tak terima. “Lihatlah siapa yang lebih menjijikkan sekarang. Aku atau kamu?” “KAMUU!! Aku tidak akan muntah-muntah jika kau tidak lupa untuk mandi, berganti pakaian, atau setidaknya memakai parfum dan deodorant.” Selayaknya lokasi shooting film, saat dua pemeran utamanya selesai berakting, para kru film akan langsung membereskan set. Beberapa pelayan muncul bahkan tanpa diminta untuk membersihkan muntahan Almeera di pinggiran kolam. Sementara Bintang dan Kejora segera membantu Almeera menjauh dari tempat itu. Selayaknya manager artis yang menuntun sang artis menuju ruang istirahat untuk mengisi paru-parunya dengan udara yang tidak terkontaminasi aroma tubuh Alroy. “Apakah ini saatnya untuk break shooting?” tanya Alroy dengan kesal sambil mematikan sambungan teleponnya. Ia sedikit menjambak rambutnya karena frustasi menghadapi Almeera. Sekali lagi pria itu menatap jam tangannya, memastikan bahwa ia masih belum terlalu terlambat untuk bekerja. Tak berselang lama, Kejora muncul di hadapan Alroy dengan tersenyum canggung. Ia sedikit membungkuk sebagai bentuk penghormatannya. “Maaf, Mas Al” ucap Kejora dengan wajah penuh penyesalan. “Nona kami benar-benar sedang sakit” lanjutnya. “Baiklah” Alroy mendesah pasrah. “Kalau begitu aku akan pergi saja. Katakan padanya aku akan kembali menghubunginya.” Alroy menyerah untuk hari ini, semakin lama ia membuang-buang waktu mengejar infomasi dari Almeera artinya ia akan terlambat untuk bekerja. “Sekali lagi kami minta maaf, Mas Al.” Alroy hanya melirik sekilas lalu berjalan dengan langkah lebar meninggalkan ruang keluarga. Sementara Kejora mengikut di belakangnya untuk mengantar pria itu keluar. Setiap kali pria itu bergerak, Kejora mampu mencium aroma parfum pria itu. Yang menurut indra penciumannya justru sangat wangi, sangat berbeda dengan penilaian Almeera. Padahal Mas Al wangi begini. Kenapa Nona sampai muntah-muntah? Ah lupa, Nona kan memang agak… “Oh ya” Alroy tiba-tiba bersuara sehingga membuat Kejora memotong ucapan dalam benaknya. “Iya, Mas Al. Ada yang bisa saya bantu?” “Jangan memanggilku dengan sebutan aneh itu lagi!” tekannya dengan suara tegas. Mulut Kejora terbuka sesaat untuk mengatakan sesuatu, namun entah apapun yang hendak ia katakan pria itu sudah terlanjur melompat ke motornya, memasang helm dengan terburu-buru. Lalu di detik berikutnya motor itu menghilang bagai kilat. Setelah melihat Alroy menjauh, Almeera berlari ke teras. Bibirnya mengerucut pertanda kekesalan, ia tak sempat menemui pria itu untuk melanjutkan percakapan mereka. Jangankan melanjutkan percakapan, berpamitan langsung dengannya pun tidak. “Mas Al ganteng yah” Bi Yati tiba-tiba muncul sambil tersipu-sipu. “Apa gunanya ganteng kalo bau” ketus Almeera. “Bau apanya, orang wangi gitu” Kejora menyela. “Tadi aku sempet nyium bau parfumnya, Mas Al wangi loh.” “Neng Jojo, ngapain pacarnya Nona dicium-cium?” Bi Yati mencubit pinggang Kejora. “Aduh Bi, siapa yang nyium pacarnya Nona sih. Mana berani aku. Maksudnya tuh parfumnya kecium sama aku pas tadi nganterin keluar.” Wajah Almeera makin muram, terlihat jelas bibirnya yang makin cemberut. Cemburukah? Entah apapun namanya itu. “Kamu enak banget bisa cium wanginya, aku udah jauh-jauh aja masih harus muntah-muntah. Padahal tadi dia ngomong soal kembaran gitu. Dan satu lagi, dia bukan pacarku” ketus Almeera. Almeera berbalik masuk, hentakkan kakinya di lantai menjadi penanda bahwa ia kesal, marah, dan segala perasaan tak senang lainnya. “Ih, bikin orang penasaran aja. Mana langsung pergi” ketus Almeera. “Aku tuh kayak cucian aja, udah basah-basahan, udah muter-muter di dalam mesin cuci, eh tiba-tiba listrik mati. Udah terlanjur basah, mau dijemur, nyucinya belum kelar.” HIKSROT… Bi Yati berbalik menatap Kejora yang tersenyum salah tingkah. “Kayak ditinggal pas lagi sayang-sayangnya, Bi” bisik Kejora. Sampai siang, Almeera hanya terus berguling-guling di kamarnya. Ia sibuk menerka-nerka maksud Alroy tentang seseorang bernama Tiara yang mirip dengannya dan seseorang yang bernama Mike yang mirip dengan Alroy. “Apa jangan-jangan aku beneran punya kembaran?” “Terus kembaran aku hilang waktu masih bayi.” “Jadi, kita kepisah gitu.” “Ah, aku harus nanyain ini sama Kak Dennis.” Almeera buru-buru meraih ponselnya lalu menghubungi Dennis untuk mencari kebenaran. Beragam asumsi memenuhi kepalanya, seperti kembarannya diculik saat lahir, ditukar, atau dinyatakan meninggal tapi ternyata hidup lagi. Dan kegilaan Almeera makin menjadi-jadi saat ia terpikir bagaimana jika saudara kembarnya justru dibuang oleh orang tua mereka. “Apa?” suara Dennis terdengar di sambungan telepon yang terpaksa membuat asumsi gila Almeera terhenti. “Kak, apa kita punya saudara lain?” “HAHH??” suara Dennis meninggi karena terkejut. Tapi, di detik berikutnya ia menghela nafas panjang lalu berujar, “Gak usah ngomong sembarangan. Kakak banyak kerjaan, kalau kau terlalu bosan, kau bisa menghubungi Mami.” Lalu sambungan telepon terputus. Mami… Mami… Mami… Almeera mengulang sebutan itu beberapa kali dalam benaknya. Jika Dennis terlalu sibuk untuk memberinya jawaban, setidaknya ia bisa mencoba mencari sumber informasi lain. Dan orang paling tepat untuk ia hubungi adalah ibunya sendiri. Almeera memang tidak tinggal serumah dengan ibunya. Wanita yang ia sebut dengan panggilan Mami itu tinggal di luar negeri, tepatnya di Sydney. Kedua orang tuanya memang sudah lama berpisah, bahkan sejak Almeera masih kecil. Mami Almeera memilih tinggal di luar negeri setelah menikah lagi sementara sang mantan suami lebih banyak menghabiskan waktunya untuk urusan pekerjaan. Ia mengangkat ponselnya hingga sejajar dengan wajahnya, menunggu beberapa saat hingga panggilan video call dengan pemilik kontak Kanjeng Mamihh itu tersambung. Seorang wanita dengan rambut yang tersisir rapi muncul melalui sambungan video call. “MAMIII!!” teriak Almeera dengan heboh memanggil wanita itu. “Hai sayang” balas wanita bernama Namira itu. “Kau terlihat senang, apa ada kabar baik?” “Aku senang melihat Mamiii…” balas Almeera lagi, masih dengan suaranya yang heboh. “Oh ya, apa Mami sendirian?” “Hmm… Jason masih bekerja, adik-adikmu ada kelas sore” jawab Mami Namira. Sydney memang sudah sore, berbeda dengan Indonesia yang masih siang. Perbedaan waktu Indonesia-Australia terpaut sekitar 3 jam. Almeera sedikit menelan ludahnya, basa-basinya sudah cukup. Ini saat yang tepat baginya untuk menanyakan tujuan utamanya. “Mami…” panggil Almeera dengan serius. Tatapan matanya juga berubah menjadi lebih serius. “Apa?” tanya Mami Namira dengan penasaran. Wanita itu sedikit tak menyangka dengan perubahan raut wajah puterinya. “Apa ada sesuatu yang serius?” Almeera mengangguk pelan. “Mami harus jujur sama Almeera” pintanya. Mami Namira mengangguk dengan cepat. Ia bangkit dari kursi ruang santai di balkon rumahnya. Ia memilih masuk ke dalam kamarnya lalu duduk di sofa depan TV. “Apa?” tanya Mami Namira. “Mami, apa Almeera punya kembaran?” Satu detik… Dua detik… Tiga detik… Dan di detik berikutnya, suara tawa terdengar keras dari sambungan video call. Ponsel milik Mami Namira bahkan sampai terjatuh di karpet bulu. Bukan karena terkejut atau shock dengan pertanyaan Almeera, tapi karena ia tertawa terlalu keras sampai tak tahan untuk terus memegangi ponselnya. “Mamiii…” teriak Almeera dengan suara nyaring. Mendengar suara panggilan Almeera, Mami Namira segera memungut ponselnya. Ia kembali mengangkat benda pipih itu hingga sejajar dengan wajahnya. Wajahnya yang putih terlihat sedikit memerah karena terlalu banyak tertawa. Bahkan garis-garis kerutan di wajahnya juga tercetak jelas karena tertawa. “MAMIIII!!!” Almeera mulai emosi melihat Mami Namira yang belum habis menertawakannya. “Satu saja yang sepertimu sudah membuat heboh, bagaimana jika dua.” Jawaban itu bukannya menenangkan Almeera tapi justru membuatnya makin kesal. “MAMIIIII!!!!” Almeera kembali berteriak, terpaksa Mami Namira menjauhkan ponselnya untuk sesaat sambil ia mengusap-usap telinganya. “Tidak ada sayang, anak Mami sama Papi cuma kalian berdua, cuma kamu dan kakakmu.” “Mami serius?” tanya Almeera untuk memastikan. “Apa kembaran Almeera diculik gitu waktu kecil atau meninggal pas lahir?” Mami Namira tertawa dulu, ia memegangi perutnya yang sakit sambil menyelesaikan tawanya. “Sudah Mami bilang tidak ada sayang. Mami tidak pernah melahirkan bayi kembar. Kamu tidak memiliki kembaran, entah itu masih hidup dan diculik atau sudah meninggal seperti yang kamu bilang.” Almeera menggaruk kepalanya. Jika ia benar-benar tak memiliki kembaran, lantas siapa itu sebenarnya Tiara. “Dengarkan Mami baik-baik, kamu tidak memiliki kembaran. Pokoknya tidak ada” tegas Mami Namira. “Hmm… OK” Almeera mengangkat tangan kanannya membentuk tanda ok. Mami Namira tersenyum, ia menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. Ia menelisik raut wajah puterinya itu. Almeera memang selalu membuat kehebohan, sejak masih kecil bahkan sampai dewasa begini, ia selalu membuat kehebohan di mana-mana. Termasuk kebiasaan anehnya mengendus aroma tubuh pria. “Memangnya siapa yang mengatakan hal aneh ini padamu?” tanya Mami Namira. Bibir Almeera mencebik, “Sepertinya seseorang telah menipuku.” Ia berdiri, menghentakkan kakinya ke lantai. Tangannya yang tidak memegangi ponsel mengepal dengan kuat, seolah-olah ia akan meninju wajah Alroy. “Siapa yang berani-beraninya menipu anak Mami?” “Seseorang yang sangat bau. Dia sangat menjijikkan, Mami” ketus Almeera. “Almeera akan menghajarnya jika bertemu lagi dengannya.” ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD