Macam-Macam Durian

1972 Words
Hari ketiga pelatihan berlalu dengan cepat, yang untungnya tak ada kejadian aneh atau kekacauan apapun yang dilakukan Alroy. Tentunya selepas berkutat dengan alat-alat pertahanan udara, jet tempur, dan senjata, Alroy selalu menemukan penghiburan baginya. Siapa lagi kalau bukan Almeera yang selalu ia hubungi melalui sambungan video call. Bahkan ketika Tama mengajaknya untuk bersenang-senang di bar sebelum mereka kembali ke Indonesia esok hari, pria itu lebih memilih mengurung diri di kamar yang ia tempati di barak tentara. Ia lebih memilih berbaring di tempat tidur, memakai headset penerbangan miliknya, lalu mendengar celotehan Almeera. Atau di malam-malam berikutnya yang ia habiskan dengan hal yang sama, memandangi wajah yang sama, dan mendengar suara yang sama. Dan yah, itu Almeera. Bahkan jika ia mendengar hal yang sama seperti di malam-malam sebelumnya, Alroy tetap tak kebosanan. Terlalu sibuk mendengar cerita Almeera, Alroy tidak menyadari seseorang yang menyelinap masuk ke dalam kamar yang ia tempati. Ruangan yang ukurannya tak terlalu luas itu, justru terhitung sempit, hanya sekitar 2,5 x 3,5 meter dengan sebuah ranjang sempit, lemari, kursi, dan meja. Pria itu, mengendap-endap di belakang Alroy yang berbaring menyamping. Alroy tak mendengar kedatangannya sama sekali, selain karena pria itu mengendap-endap, Alroy memang memasang headset sehingga pendengarannya hanya terfokus pada suara Almeera. “Jadi, ini alasannya dia tak mau meninggalkan kamar. CK…” Tama mendecak pelan, yang belum juga disadari oleh Alroy. Tama mengintip layar ponsel Alroy, sedikit melihat wajah cantik yang betah dipandangi oleh Alroy selama beberapa malam sejak mereka tiba di Las Vegas. “AL!!!” jerit Almeera saat ia melihat keberadaan pria asing itu di belakang Alroy. “AWAASS!!! Ada seseorang di belakangmu!” teriak Almeera dengan suara panik. “Hah” Alroy langsung berbalik dan Tama sudah terkapar di lantai sambil mengaduh kesakitan. Tepat saat Alroy berbalik, karena panik dengan teriakan Almeera juga karena gerakan reflek saat Almeera meneriakkan kata awas, Alroy menghujam kepalan tangannya tepat di wajah Tama. “Ah…” Tama meringis sambil memegangi pipinya. “Sepertinya kau ingin melihat Zeline menjanda huh” ketusnya lalu mengangkat tubuhnya sendiri ke kursi kayu. “Aku mana tau kau ada di belakangku, siapa suruh kau tiba-tiba muncul seperti s*tan” balas Alroy tak terima. Alroy kembali melirik layar ponselnya, ia menggaruk kepalanya sebelum memasang kembali headset itu di kedua telinganya, tak ingin membiarkan Tama mendengar suara Almeera. “Aku akan menghubungimu lagi” ucap Alroy, tak rela sebenarnya tapi keberadaan Tama di tempat itu tak memungkinkan bagi Alroy untuk tetap melanjutkan pacaran berkedok terapi online. “Semuanya baik-baik saja kan?” tanya Almeera di sambungan video call dengan khawatir. “Iya, kau tak perlu khawatir. Oh ya, mari kita bertemu setelah aku tiba di Indonesia” ujar Alroy sebelum mematikan sambungan video call tersebut. Meski sambil meringis sakit, Tama tak lupa untuk mengejek Alroy. “Iya, kau tak perlu khawatir. Oh ya, mari kita bertemu setelah aku tiba di Indonesia” ejek Tama dengan suara yang ia buat selembut dan semanis mungkin. “Cih, kalo sama cewe suaranya dilembut-lembutin kayak bubur bayi, bikin eneg. Sampe merinding bulu ketekku denger suaramu itu.” “Pergi kau, mengganggu saja” usir Alroy. “Oh jangan harap kau bisa mengusirku. Aku akan memastikan sendiri perempuan mana yang berhasil membuatmu betah mengurung diri di kamar seperti anak perawan” sindir Tama. “Jadi, kapan kau akan memperkenalkan calon istrimu itu padaku dan Kak Ros huh?” “Sialan! Siapa yang ingin menikah huh?” bantah Alroy. “Jadi, kau ingin melajang seumur hidup? Bisa lumutan itu barangmu, mending dipake buat anak. Lebih menghasilkan dari pada kau bersolo karir sambil membayangkan artis-artis di pelem panas. Cih…” ejek Tama. “Atau penyakit anehmu itu makin parah sekarang? Berefek pada kinerja, kemampuan, dan kualitas barangmu? Haruskah kucek dulu kestabilan barangmu itu?” Tama beranjak dari kursi, mendekati Alroy yang dalam posisi mengamankan barang pentingnya. Kedua tangan Alroy menutupi s*langkangannya, mencegah Tama untuk melakukan apa yang baru saja pria itu katakan. Namun, ternyata Alroy tertipu. Jangankan menyentuh Alroy seujung kuku pun, Tama sama sekali tak tertarik. Pria itu justru menyambar ponsel milik Alroy lalu berlari secepat yang ia bisa meninggalkan barak tentara. “Ah sial!” Alroy mengumpat lalu ikut berlari mengejar Tama untuk menyelamatkan kelangsungan hidupnya, eh maksudnya menyelamatkan diri dari rasa malu. Tama berlari melewati bangunan demi bangunan sambil mencari tempat persembunyian yang aman guna melancarkan misi terpentingnya. Misi yang lebih penting dari tugas kenegaraan, yaitu memastikan siapa perempuan yang ditelepon Alroy selama beberapa malam terakhir ini. “Ah… aku tidak kuat” Tama berhenti sejenak. Ia mengurut kaki kirinya yang keram. “Sial, aku kurang pemanasan. Baru segini saja sudah mau pingsan.” “CK…” seseorang mengejek Tama dari belakang. “Cuma segitu saja kemampuanmu? Sepertinya aku yang harus mengecek kinerja, kemampuan, dan kualitasmu? Jangan-jangan kau sudah expired?” Tama berbalik dengan wajah geram. Tangannya mengepal hendak melayangkan pukulan, tapi ia mengurungkan niatnya. Saat ini ia harus menyelesaikan misi pentingnya dulu. Dan karena itu, ia melemaskan otot-ototnya sebelum mengerahkan seluruh tenaganya untuk berlari. Alroy membiarkan Tama menjauh beberapa meter lebih dulu darinya. Bukan persoalan stamina Tama yang kalah, tapi pria itu mengalami cidera parah di kakinya saat bertugas setahun yang lalu. Dan karena itulah, Tama masih harus berkompromi dengan kakinya sendiri setiap kali ia berlari. “Sial!” Tama mengumpat saat kaki kirinya tak bisa ia ajak berdamai lagi. Ia menghempaskan tubuhnya di pinggiran lapangan yang berumput sambil mengurut kakinya sendiri. “Sepertinya kau benar-benar expired. Oh, aku turut berduka untuk Zeline. Sepertinya dia harus puas dengan 3 anak atau mencari suami lain” ejek Alroy. “Sialan!!” umpat Tama. “Yang sakit kakiku, bukan barangku yang expired” ketusnya. Alroy hanya manggut-manggut plus tersenyum culas. Kedua tangannya terlipat di depan d*da sebelum ia ikut duduk. Beberapa kali Tama mengumpati kakinya yang tak sembuh-sembuh. “Kakimu itu benar-benar expired” ejek Alroy. “Bagimana kalau expired-nya kakimu merambat naik ke barang kebanggaanmu? Wah, Zeline benar-benar kasihan.” “Sialan!” gertak Tama dengan tangan mengepal di depan wajah Alroy. Sayangnya Alroy sudah terlalu paham jika Tama hanya menggertak. Jika pria itu benar-benar akan memukul, tak akan sampai hitungan detik hingga kepalan tangannya menghujam objek yang diinginkannya. “Sepertinya aku harus memperkenalkan Zeline calon suami baru” lanjut Alroy. “Benar-benar bosan hidup kau?” kali ini Tama tak membuang-buang waktu, meski kakinya masih kesakitan tapi tangannya masih cukup kuat untuk memiting leher Alroy. Alroy hanya bisa memukul-mukul lengan Tama karena ia tak sempat menghindar. “Sayang sekali aku tak bisa membunuhmu di sini, seandainya ini medan pertempuran akan dengan senang hati kubawa mayatmu pulang” ujar Tama lalu melepaskan Alroy yang sudah memerah wajahnya karena hampir kehabisan nafas. Alroy menarik nafas panjang sebelum menghembuskannya dengan keras. “Wah… Setidaknya tanganmu tidak semenyedihkan kaki atau bahkan barangmu” ujarnya. Tama melirik pria di sampingnya itu dengan geram sebelum ia berujar, “Bahkan jika barangku benar-benar expired tapi aku sudah memproduksi 3 anak. Bagaimana denganmu, satu saja tak mampu kau buat. Cih, menyedihkan sekali.” Kalau sudah membahas tentang anak, Alroy akan selalu kalah. Tak ada pembantahan yang keluar dari mulutnya. Karena apapun yang ia katakan, ucapan Tama memang benar. Karena sampai detik ini, ia benar-benar tertinggal jauh di belakang Tama untuk urusan anak. Hanya helaan nafas berat yang terdengar dari mulut Alroy karena ia memilih untuk mendiamkan Tama. Ia memilih bungkam pertanda kekalahannya. Terlalu lama terdiam membuat Alroy mendongak ke atas menatap langit Las Vegas yang berbintang. Sementara itu, setelah kaki Tama terasa lebih baik, pria itu mengeluarkan ponsel milik Alroy, sibuk menjadi makhluk paling kepo sebelum Alroy menyita kembali ponsel miliknya. Ingin sekali Tama tertawa terbahak-bahak melihat nama yang tersimpan di daftar panggilan terakhir di ponsel Alroy tapi ia tahan-tahan demi melanjutkan kekepoannya. Durian Cantik, begitulah nama kontak yang Alroy simpan untuk nama Almeera. Ia telah mengganti Si Tukang Muntah menjadi Durian Cantik setelah rutin saling berbicara melalui sambungan video call dengan Almeera. Astaga tak kusangka dia selebay ini. Cih, durian cantik. Gak sekalian Kampung Durian Runtuh. Setengah mati Tama menahan tawa saat jari-jari keponya itu menggulir galeri Alroy yang isinya dipenuhi screenshoot wajah Almeera saat melakukan video call dengan Alroy. Cih, dia benar-benar seperti anak remaja yang menelepon pacarnya. Tama melirik ke sampingnya, memastikan jika Alroy masih terlalu sibuk menatap langit seolah-olah sedang menatap durian cantiknya. Cih, apa dia melihat durian cantiknya di langit? Keisengan Tama menjadi-jadi, karena melalui ponsel Alroy, ia justru mengirimkan foto Almeera ke kontak Marsekal Muda Priyoga yang tersimpan dengan nama Kak Ros. Via WhatsApp (Alroy: Lapor, ini calon ibu PIA pilihanku. Siap pengajuan sepulang dari Las Vegas) Tama terkikik geli dalam hati. Dan sepertinya dewi fortuna benar-benar sedang berbaik hati pada makhluk paling kepo itu, karena dalam hitungan detik ponsel di genggaman Tama bergetar tanda pesan masuk. (Kak Ros: Kenalkan dulu padaku sebelum kau pengajuan.) (Alroy: SIAP) Merasa cukup dengan keusilannya, Tama segera menghapus chat tersebut dari ponsel Alroy. Ia harus menghilangkan barang bukti sebelum sang pemilik ponsel membuatnya babak belur. Apakah makhluk paling kepo itu selesai sampai di situ? Tidak, karena setelah menghapus jejak chat dengan Marsekal Muda Priyoga, Tama justru membaca riwayat chat antara Alroy dan pemilik kontak Durian Cantik itu. Yang setiap Tama membaca, ia harus menahan diri dari bersuara. “Cih, durian cantik” ejek Tama sambil memegangi perutnya. Alroy yang sadar dengan kelakukan Tama segera mendorong tubuh pria itu, ia tarik ponsel miliknya dari genggaman Tama. Buru-buru ia masukkan benda pipih itu ke dalam saku celananya. “Durian cantik” ejek Tama lagi. “Aku penasaran dengan nama apa dia menyimpan nomormu di HP-nya. Jangan-jangan durian ganteng HAHAHHAHAHAHAH…” Alroy yang malas mendengar ejekan Tama memilih meninggalkan pria itu, tapi Tama belum benar-benar puas mengejek Alroy. Diikutinya pria yang tengah malu-malu itu, langsung Tama meraih lengan Alroy, menyelipkan tangannya dan merangkul Alroy. “Durian cantik” bisik Tama di depan telinga Alroy. “OH s**t!!” Alroy mendorong pria itu, tapi rangkulan Tama justru makin menguat. “Durian cantik…” bisiknya lagi dengan suara yang ia buat selembut mungkin. “Kenapa tidak sekalian menambahkan kata ku di belakangnya, jadi durian cantikku” sembur Tama sambil tertawa. Alroy berbalik dengan wajah geram, tangan kanannya yang besar dan berotot itu ia gunakan untuk mendorong tangan Tama. Untuk beberapa detik terjadi adu otot antara dua makhluk yang dijuluki Upin dan Ipin. Upin yang ingin tetap merangkul Ipin yang sedang jatuh cinta, sementara Ipin yang benar-benar ingin melarikan diri. “Lepas atau kutendang kaki cacatmu itu!” ancam Alroy. “Cih, segitu tak mampunya kau melawan sampai harus mengancam dengan kelemahanku” ejek Tama. Saat Tama mengejek Alroy, tanpa ia sadari cengkeraman tangannya sedikit melemah. Yang dijadikan kesempatan oleh Alroy untuk segera lepas dari pria itu. Alroy melangkah dengan cepat meninggalkan Tama yang bahkan belum benar-benar selesai mengejeknya. “Tenagamu mungkin kuat, tapi sayangnya otakmu tidak sekuat tenaga yang kau punya” teriak Alroy dari jauh. “Sialan!” umpat Tama. Hanya butuh beberapa detik bagi Alroy untuk menghilang dari pandangan Tama. Mau mengejar, Tama juga memikirkan kelangsungan kaki kirinya. Sebelum kakinya makin parah, ia terpaksa menyerah. “Astaga aku baru tau kalau durian sekarang bahkan ada yang cantik juga. Sepertinya aku harus mengganti nama Zeline di ponselku” ujar Tama sambil ia mengeluarkan ponsel miliknya dari saku celana. Tama memilih berbaring di pinggir lapangan, mengistirahatkan kakinya bahkan untuk berjalan kembali ke barak. Satu tangannya ia jadikan penyanggah kepala, sementara tangan yang satunya mengetik nama kontak baru untuk Zeline. Durian HOT, begitulah nama yang Tama gunakan untuk menyimpan kontrak Zeline. “Apa durian hotku bisa ditelpon jam segini?” tanyanya ragu-ragu sebelum ia mendesah pelan. “Ah… lebih baik tidak menelponnya atau dia akan menggodaku lagi. Aku mungkin akan berakhir bersolo karir di lapangan ini.” . . . Note: Ibu PIA adalah julukan untuk istri TNI AU, kalau di TNI AD dijuluki dengan Ibu Persit, sementara untuk istri TNI AL dijuluki Jelasenastri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD