Prolog

422 Words
Dia tersenyum padaku, tapi mengapa aku merasa melihat tangisan di wajahnya. Dia bergerak liar di atas tubuhku, tapi mengapa aku merasa dia begitu kaku dalam ketidakberdayaannya. Dia mendesah kenikmatan, tapi kenapa aku malah mendengar jeritan kesakitan dari dalam dirinya. Tubuhku menikmati setiap gerakan dan desahannya, tapi hatiku justru tersakiti. Lagi-lagi dia tersenyum, yang justru membawaku semakin tenggelam dalam kepedihan. Rasa perih itu, ada rasa sakit yang menggangguku, tapi tak mampu kujelaskan. Seiring dengan gerakan tubuhnya naik dan turun, sebanyak itu pula aku dihantam rasa sakit. Kenapa dia memperlakukanku seperti ini? “Apa kau menginginkan posisi lain?” tanyanya dengan suara manja. Aku menggeleng perlahan. Entah kenapa aku malah menggeleng. “Kau ingin aku tetap di atas?” tanyanya lagi dan aku mengangguk kecil. Entah kenapa aku mengangguk padanya. Tubuhku memang masih menginginkan kepuasan, masih ingin berada di dalam dirinya. Menikmati percintaan yang justru mencekikku ini. Tapi, hatiku memberontak di dalam sana, ada hal yang tak bisa kumengerti. Tapi, aku bahkan tak bisa mengontrol keinginanku. Selayaknya memang sudah diatur dan dikendalikan. Sekali lagi dia menggoyangkan tubuhnya naik dan turun. Sesekali memutar pinggulnya di atasku, sementara benda kembarnya tak terlepas dari pergerakan tanganku. Desahan demi desahannya terdengar semakin menggairahkan sekaligus menebar kepedihan. Dan entah suara kepedihan itu kenapa begitu menggangguku. Senyumnya mengembang, tapi sorot matanya yang menangis melukaiku. Tawanya terdengar nyaring, tapi menusuk relung jiwaku. Aku tak punya jawaban apapun, tapi sangat menyakitkan melihat matanya. Mata itu, Mata yang menatapku dengan tatapan penuh ketakutan, kepedihan, dan ketidakberdayaan. Mata itu, Mata yang memintaku membayar dosa-dosaku. Untuk sesuatu yang tak pernah kumengerti. Mata itu, tersenyum di balik kesakitannya. Dan aku berkali-kali lipat lebih sakit memandangi mata itu. . . . Napasnya terengah-engah, keringat dingin membasahi tubuh kekarnya. Alroy terduduk seketika setelah ia terbangun dari mimpinya. Ia mengusap wajahnya yang banjir keringat. Lagi dan lagi ia mimpi. Sudah bertahun-tahun mimpi anehnya terus menghantuinya. Sebenarnya bukan mimpi buruk, tapi mimpi aneh yang terus berlanjut di setiap malamnya. Setiap kali Alroy tertidur ia akan bermimpi. Mimpinya selalu saja tentang orang yang sama. Orang yang tak pernah ia ketahui siapa sebenarnya. Namun, cerita di mimpi itu membuat hidupnya jadi kacau. Alroy tak bisa fokus dengan pekerjaan dan tanggung jawabnya. Karena ia terus kepikiran mimpi anehnya. Sudah tak terhitung berapa banyak dokter dan psikiater yang ia temui, tetap saja tak ada jawaban yang ia dapatkan. “Siapa kamu sebenarnya?” “Kenapa kamu terus datang di mimpiku?” “Apa aku berhutang sesuatu padamu?” tanya Alroy dengan putus asa. **** Udah tap love kan? Yang belum, tap love dulu dungs
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD