Bab 1

3020 Words
Suara bel memekik kencang. Seluruh siswa kelas sebelas berhamburan keluar, jam istirahat sudah tiba. Bukan hanya siswa kekas sebelas, tetapi seluruh siswa di SMA Cakrawala. Mereka yang tadinya mendekam di dalam kelas mengikuti pelajaran sekarang memenuhi kantin dan beberapa tempat lainnya. Tidak ketinggalan Resky Airangga, siswa kelas sebeias IPA. Resky juga pergi ke kantin bersama sahabat-sahabatnya, Ilham dan Arif. Ketiga pemuda itu berjalan berdampingan. Ilham dan Arif selalu melambai pada setiap adik atau kakak kelas, juga teman seangkatan mereka yang menyapa. Meskipun sebenarnya mereka menyapa Resky, tidak ada salahnya bukan kalau mereka yang membalas sapaan itu? Sementara Resky hanya membalas dengan senyum tipis dan anggukan kecil. Resky bukan pemuda datar apalagi dingin, Resky pemuda yang ramah dan murah senyum. Dia tidak segan membalas sapaan yang ditujukan padanya. Tidak peduli siapa pun yang menyapa. Selama orang itu sopan, Resky akan membalas sapaannya dengan sopan juga. Namun sebaliknya, pemuda itu tidak akan menyahut bahkan mengabaikan bila ada yang menyapanya dengan panggilan tidak sopan. Mereka tiba di kantin ketika kantin sudah dipenuhi oleh siswa yang lain. Memang tidak sulit bagi siswa populer seperti Resky untuk duduk ataupun memesan makanan lebih dulu. Para siswa lain yang antri akan dengan suka rela membiarkannya untuk mengantre lebih dulu. Namun Resky tidak seperti itu, dia juga ikut mengantre bersama para siswa yang lain. Untuk tempat duduk juga seperti itu, kalau tidak mendapatkan tempat duduk, Resky akan berdiri bersama siswa lain yang juga berdiri. "Ngantri lagi," gerutu Ilham kesal. "Gara-gara cowok satu ini nih!" tudingnya pada Arif yang sejak tadi terlihat menekuk. "Kok gue?" protes Arif tak terima. "Bukannya lu yang tadi tebar pesona sama adek kelas?" balas Arif dengan memelototkan mata besarnya. Membuat matanya seolah ingin keluar dari rongga matanya. "Enak aja!" sungut Ilham. "Yang dadah-dadah sama mereka siapa?" tanyanya judes. "Kalian berdua!" jawab Resky. Ilham dan Arif menatap sahabat mereka itu bersamaan. Mereka yang ingin protes mengurungkan niat melihat pemuda itu tersenyum. "Astaga, Ky! Nggak usah senyum kayak gitu, bisa?" tanya Arif meraup wajah tampan Resky. "Ntar kalo gue klepek-klepek sama ku gimana?" "Astaga, najis! Jauh-jauh deh lu dari gue!" Ilham mendorong Arif lumayan kuat, membuat sahabatnya itu terhuyung ke arah gerombolan gadis-gadis adik kelas yang juga sedang mengantre. Ilham makin kesal melihatnya. Apalagi Arif berakting seolah sedang kesakitan. "Modus!" sembur Ilham kesal. Arif cekikikan. Pemuda itu menghampiri kedua sahabatnya yang maju beberapa langkah. Siswa di antrean paling depan sudah menjauh, sehingga sekarang siswa berikutnya yang sedang memesan. Arif bingung dengan antrean yang sangat panjang sepanjang jalan kenangan setiap kali ia ke kantin. Untung saja waktu istirahat di sekolah mereka lebih lama dari sekolah lainnya, sehingga semua siswa yang mengantre mendapatkan pesanannya. "Iri aja lu!" balas Arif masih cekikikan. Ilham menggeliat jijik. Ia tidak menyangka kalau perkataan Arif bisa lebih menggelikan dari senyum Resky. "Udah ah!" ucap Resky menengahi. Kedua sahabatnya kalau tidak dilerai akan semakin menjadi. "Nggak malu apa kalian diliatin sama cewek-cewek?" tanyanya. Serempak Ilham dan Arif menggeleng. Mereka mengikuti Resky yang maju satu langkah ke depan. "Nggak tuh!" jawab Arif dengan kepercayaan dirinya yang tinggi. "Kita kan artis. Ya nggak, Ham?" "Yoi!" Ilham mengangguk mengiakan. "Udah terbiasa dong kita sama pelototan pelototin mereka." Resky menatap Ilham dengan sebekah alis terangkat. Tatapan tak mengerti terarah kepada pemuda itu. "Apaan tuh pelototan pelototin?" tanya Arif bingung. Dia tidak mengerti dengan maksud Ilham. "Mubazir banget lu sama kata-kata!" semburnya. "Nggak mubazir juga!" bantah Ilham. "Gue nambahin kosakata baru buat lu." Arif memutar bola mata. Mulutnya kembali terbuka untuk menyahuti Ilham, tapi segera ditutupnya kembali melihat Resky yang menggelengkan kepala pelan. Arif dan Ilham sudah tahu, mereka hafal kebiasaan sahabat mereka itu. Kalau Resky sudah menggelengkan kepalanya itu artinya bercanda mereka sudah keterlaluan atau mereka sudah terlalu banyak bicara. Resky memang tak pernah marah, tetapi pemuda itu akan mendiamkan mereka. Resky melangkahkan kaki maju selangkah lagi mengikuti siswa di depannya yang juga melangkah maju. Masih ada dua orang siswa lagi di depannya sampai dia dan teman-temannya bisa memesan makanan. Resky menghela napas lega, Arif dan Ilham tidak lagi berisik. Bersahabat dengan mereka memang menyenangkan meskipun terkadang mereka sangat berisik dan selalu mengundang perhatian. Bukannya dia tidak suka diperhatikan, hanya saja rasanya diperhatikan orang banyak itu tidak terlalu menyenangkan. Satu orang saja yang memperhatikannya sudah cukup bagi Resky. Seperti perhatian Carora Maharani. Perhatian gadis bertubuh mungil itu lebih berharga bagi Resky daripada perhatian seratus gadis yang lain. Resky tersenyum melihat Rora yang memasuki kantin. Pemuda itu langsung melambaikan tangannya memanggil. Rora yang melihatnya bergegas menghampiri. "Kamu udah pesan?" tanya Resky. Carora Maharani, gadis bertubuh mungil dengan poni rata dan tebal menutupi dahinya, menggeleng. "Belum," jawabnya. "Baru juga datang." Resky mengangguk. "Ya udah, kami duduk dulu deh, aku yang pesenin." "Bener ya?" tanya Rora semangat. Resky mengangguk lagi, tangannya terangkat mengusap pucuk kepala bersurai legam milik gadis itu. Rora gadis yang selalu semangat dan ceria. Di mana pun gadis itu berada selaku menularkan keceriaan kepada siapa pun yang bersamanya. Karena itu Resky merasa nyaman berada di dekat Rora. Gadis itu selalu bisa membuatnya tersenyum di kala dia sedih sekalipun. "Cari tempat duduk buat kamu juga?" tanya Rora lagi. Sekali lagi Resky mengangguk. "Nggak cuman buat Resky aja dong, Ra." Ilham memeluk bahu Resky. "Kita berdua juga dong." Gemas dengan sikap Ilham yang sedari tadi tak pernah serius, Resky meraup wajah sahabatnya yang satu itu, mendorongnya menjauh. Rora terkikik, menutup mulutnya menggunakan tangan kanan. Baginya, Ilham dan Arif sudah seperti kakak. Rora yang anak tunggal sangat menginginkan menginginkan seorang adik. Sayang, ibunya tidak bisa memberikan. Rora adalah anak satu-satunya yang bisa dia lahirkan. Oleh sebab itu, Rora tidak keberatan berteman dengan ilham.dan Arif yang sangat usil dan selalu menjahilinya. Baginya tidak masalah asal mereka tigldak mejanggar batas dan keterlaluan. "Iya, nyari tempat duduk buat kalian juga kok," sahut Rora. "Buat kita semua, kayak biasanya." Gadis itu tersenyum yang membuat lubang di kedua pipinya melekuk dalam. "Duh, adek gue kok manis banget sih!" Arif mengulurkan tangan untuk mencubit pipi tembem Rora. Sebelum tangannya ditarik Resky. "Mau ngapain tu tangan?" tanya pemuda itu. "Astaga, Ky! Ini gue cuman mau ngusap rambut Rora doang," kilah Arif dengan wajah memelas. "Mampus!" ejek Ilham. "Mau pegang-pegang di depan pawangnya, ya nggak bisa lah lu, Oncom." Ilham tertawa, maju selangkah dan langsung menyebutkan pesanan kepada penjaga kantin padahal masih ada satu siswa di depan mereka yang harusnya memesan lebih dulu. "Tunggu giliran dulu, Ham!" tegur Resky. "Kasian Vina udah nunggu dari tadi." Ilham hanya cengengesan. Kemudian mundur perlahan-lahan. "Silakan, Vina," ucapnya dengan senyum lebar menghiasi wajah tampannya. Vina mengangguk. "Makasih, Kak Ilham," sahutnya. "Makasih, Kak Resky." Vina balas tersenyum ke arah Resky. Resky mengangguk. "Ita, Vin, sama-sama." "Perasaan gue yang senyum ke dia kok dia malah senyum ke lu?" tanya Ilham berbisik. Resky mengangkat bahu. Bukannya dia tidak peduli tetapi karena tidak tahu. "Itu artinya Resky lebih ganteng dari lu. Ya nggak, Ky?" Arif balas berbisik. Pemuda itu tertawa kecil. "Kata siapa?" protes Ilham. "Kata gue lah!" Arif kembali tertawa, kaki ini lebih keras dari tadi. Tanpa sadar kalau Resky sudah menyelesaikan pesanannya. Pemuda itu sudah duduk bersama Rora di sana. *** Resky dan Rora bukan teman sekelas, mereka hanya teman satu angkatan. Namun mereka dekat. Sikap Rora yang manja dan perhatian membuat Resky nyaman berada di dekat gadis itu. Rora juga tidak seperti gadis lain yang sangat suka bergosip tentang hal yang sedang trend saat ini, Rora lebih suka berdiam diri di perpustakaan daripada berkumpul bersama teman-teman sekelasnya yang rata-rata selalu membicarakan pemuda-pemuda keren di sekolah mereka. Bukannya dia tidak tertarik, tetapi baginya satu Resky saja sudah cukup. Rora hanya berharap Resky peka dan menyadari perasaannya. "Ra, lu ke perpus nanti?" tanya Hilda, teman sebangku Rora. Hilda juga menyukai Resky, Rora tahu itu. Untungnya Hilda tahu diri, tidak mengatakan dan menunjukkan sikap terang-terangan ingin merebut Resky darinya. Rora mengerang kesal dalam hati. Apanya yang direbut? Dia dan Resky tidak mempunyai hubungan apa-apa, mereka masih berteman. Atau bersahabat, mungkin. Namun tidak lebih dari itu. Resky tidak pernah mengatakan kalau pemuda itu menyukainya. Masa harus dia yang perempuan mengatakan lebih perasaan lebih dulu? Bagaimana kalau Resky menolaknya? Kan malu! Rora mengangguk. "Kamu mau ikut?" tanyanya balik. "Iya." Hilda juga mengangguk. "Mau ngebalikin buku gue." "Yang kemaren pinjam itu udah selesai?" tanya Rora dengan sepasang bola matanya yang melebar. "Udah dong!" jawab Hilda bangga. "Wah hebat!" pekik Rora kagum. Hilda memang dikenal sebagai kutu buku, tetapi bukan kutu buku yang norak seperti di sinetron-sinetron yang tayang di televisi. Hilda justru sangat modis dan cantik. Hilda juga tidak mengenakan kacamata meski matanya minus, gadis itu mengenakan lensa kontak dengan warna-warna yang berbeda setiap harinya. Membuat penampilan Hilda semakin menarik. Kadang Rora merasa iri dengan penampilan sahabatnya itu. Hilda berbanding terbalik dengannya yang bertubuh mungil dan pipi yang tembem. Kulitnya juga putih terkesan pucat, sementara Hilda putih bersinar. Kalau dibandingkan dengannya, Hilda yang lebih cocok bersama Resky. Resky juga tampan, tinggi dan pintar. Kulit putih, hidung mancung. Semua yang ada pada pemuda itu seolah tak bercacat ceka. Jangan lupakan sikapnya yang ramah terhadap siapa saja, dan senyumnya yang sangat manis. Siapa pun orangnya pasti akan meleleh melihat senyum pemuda itu. Tidak heran kalau Resky menjadi salah satu idola di sekolah mereka. "Buku lu gimana?" tanya Hilda. "Udah selesai bacanya?" Rora meringis kemudian menggeleng. "Belum," jawabnya diikuti tawa kecil yang terdengar sumbang di telinga siapa pun yang mendengarnya. Rora tidak terlalu suka membaca selain buku komik. Koleksi buku komiknya ratusan dan semua sudah habis dibacanya. Karena suka membaca komik tidak heran penampilan Rora menjadi seperti gadis-gadis di dalam komik yang terkesan imut-imut. Wajah Rora yang bulat dengan pipi tembem menggemaskan menunjang semua itu. Ditambah dengan poni tebal yang selalu menutupi dahinya yang lumayan lebar. "Kok belum?" tanya Hilda kaget. "Kan lu udah lama pinjamnya." Rora cemberut. "Udah lama tapi malas baca, Hilda. Bukunya tuh tebel banget terus nggak ada gambarnya lagi. Bosan!" keluh Rora sambil meniup-niup poni ratanya. Hilda berdecak. "Novel mana ada gambar, Ra? Astaga!" Gadis itu menggelengkan kepalanya. Maklum dengan kelakuan ajaib sahabatnya. Rora meringis lagi setelahnya tersenyum lebar. Hilda memutar bola mata bosan. Ia sudah terbiasa dengan semua kelakuan Rora yang terbilang ajaib. Rora terkadang manja dan kekanakan, tapi bisa diajak serius. Yang pasti bersahabat dengan Rora itu menyenangkan. Rora yang berwajah seperti boneka mau saja didandaninya persis seperti boneka porselen cantik. Hilda mengheka napas, memeriksa jam tangan di pergelangan tangan kirinya. Keningnya mengerut heran kenapa guru IPA mereka belum memasuki kelas. Padahal bel masuk berbunyi sudah dari beberapa menit yang lalu. "Kok Pak Burhan belum masuk ya, Ra?" tanya Hilda heran. "Kenapa emangnya?" Bukannya menjawab pertanyaan Hilda, Rora justru balik bertanya. Hilda kembali berdecak. Kebiasaan buruk memang seperti itu, selaku menjawab pertanyaan dengan pertanyaan pula. Menyebalkan memang, tapi mau bagaimana lagi. Itu sudah sifat Rora. Sifat buruk. "Lu pasti seneng kan Pak Burhan nggak masuk?" tuduh Hilda. Gadis itu menatap sahabatnya dengan mata menyipit. Hilda tidak sembarangan dalam menuduh. Yang dikatakannya tadi adalah kenyataan. Rora tidak menyukai hampir semua pelajaran kecuali olahraga. Rora menyukai pekajaran olahraga pun ada alasannya, dia bisa menghabiskan waktu di UKS setelah pelajaran itu berlangsung. "Kata siapa aku seneng?" Rora menggeleng dengan tangan menangkup pipi tembemnya. Hilda menatap Rora dengan sebelah alis terangkat. Dia tidak percaya dengan sahabatnya ini. "Aku seneng banget malah!" pekik Rora lirih dan tertahan. Gadis itu menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Kampret!" maki Hilda kesal. Dia tadi sudah deg-degan, mengira Rora benar-benar mengharapkan pelajaran IPA. Ternyata hanya pura-pura. Hilda mendengus kesal menyadari kalau dia kena lagi dikerjai Rora. Rora tertawa cekikikan, memeluk Hilda erat sampai gadis itu meringis dan mengeluh karena sesak napas. Rora mau melepaskan pelukannya karena setelah Pak Burhan, guru IPA mereka, memasuki kelas. Rora yang tadinya gembira sekarang merosot di kursinya. Gantian, sekarang Hilda yang menertawakan gadis itu. . . . . . . . . . . Resky bersiap menyalakan motor matic kesayangannya di halaman depan rumah ketika ponselnya yang berada di saku seragamnya bergetar. Pemuda itu memang tidak pernah membunyikan ponsel ketika akan ataupun sudah berada di sekolah. Resky akan mengaktifkan lagi dering ponselnya setelah bel pulang sekolah berbunyi. Sekali lagi ponselnya bergetar. Kali ini Resky tidak mengabaikannya, lagi pula dia sudah selesai memanaskan kendaraan yang akan mengantarkannya ke sekolah. Resky merogoh saku seragam dan mengambil ponsel yang bergetar beberapa kali sejak tadi. Senyum terkembang di bibir pemuda tujuh belas tahun itu begitu membuka ponselnya yang terkunci. Beberapa pesan dari Rora menghiasi layar ponselnya. Res, udah berangkat belum? Jemput dong, mau nggak? Resky terkekeh tanpa suara membaca pesan itu. Rora memang berbeda dari yang lain. Kalau yang lain memanggilnya 'Ky', Rora justru memanggilnya dengan panggilan 'Res'. Ban motorku kempes, nggak ada waktu buat nambal. Mau ikut papa juga nggak sempat, papa udah keburu berangkat. Resky segera mengambil jaket dan helm miliknya. Ia akan menjemput Rora dahulu dan berangkat ke sekolah bersama. Tapi sebelumnya Resky membalas pesan Rora terkebuh dahulu. Aku mau berangkat, kamu tunggu aja ya. Resky memasukkan ponsel ke dalam kantong seragamnya dan segera melarikan motor menuju ke rumah Rora. *** Gadis itu memekik senang begitu motor yang sudah dikenalnya dengan baik berhenti di depan pagar rumahnya. Rora segera mengenakan helm dan naik ke sadel motor Resky tanpa bersuara lagi. "Kok ban motornya bisa kempes, kenapa?" tanya Resky. "Hah? Kamu ngomong apa?" Seperti biasa Rora akan balik bertanya. "Aku nggak denger, anginnya kencang!" Resky memutar bola mata. Seolah dia tidak tahu saja kebiasaan buruk gadis itu. Menjawab pertanyaan dengan bertanya adalah juga adalah kebiasaan buruk Rora yang tidak disukainya. Resky sudah sering mengingatkan tetapi Rora tetap saja lupa. Buktinya sekarang gadis itu kembali menjawab pertanyaannya dengan bertanya pula. "Resky, kamu ngomong apa?" tanya Rora lagi. Kali ini dengan menarik-narik ujung jaket pemuda itu. Sungguh Rora ingin tahu, dia tidak kuat penasaran dan Resky sukses membuatnya penasaran dengan diamnya pemuda itu. "Jahat!" Rora merajuk. Pipi gembilnya menggembung, membuat volume pipi itu bertambah. Sesungguhnya Resky gemas dengan tingkah gadis itu, apalagi dengan pipinya yang menggembung itu. Seandainya mereka tidak sedang di jalan raya, pasti sudah dicubitnya pipi itu. Namun Resky tetap diam, dia fokus pada jalanan. Bahkan setelah sampai di sekolah mereka, Resky tetap diam. Membuat Rora semakin kesal saja. Gadis itu memberikan helm miliknya kepada Resky kemudian meninggalkan tempat parkir khusus roda dua di sekolah mereka dengan kaki mengentak. Resky membiarkan saja gadis itu bertingkah seperti sekarang. Toh paling-paling nanti saat jam istirahat Rora akan menemuinya lagi. Dia sudah hafal dengan tingkah Rora. Semua yang diperbuat gadis itu sangat ajaib di matanya. Resky melangkah pelan memasuki sekolah. Sapaan-sapaan dari para siswa yang berselisihan dengannya selaku dibalasnya dengan anggukan atau kalau tidak dengan senyum. Senyum yang pasti membuat siapa pun terpesona bila melihatnya. "Pagi, Resky!" Resky menoleh ke belakang mendengar seruan itu. Tampak Raysa Puspita berlari kecil ke arahnya. Raysa adalah teman sekelasnya. Raysa juga dekat dengannya meski tak sedekat Rora. Entah kenapa, tapi seolah ada hal yang membuatnya tak ingin lebih dekat lagi dengan Raysa. Padahal kalau dibandingkan dengan Rora yang ajaib, Raysa lebih lembut dan keibuan. Namun sekali lagi Resky merasa ada dinding yang membatasi mereka. "Hai, Sa," balas Resky begitu gadis itu berdiri di depannya. "Baru datang juga?" tanyanya sambil tersenyum ramah. Raysa tersenyum manis. Sudah dari awal masuk sekolah ini dia tertarik pada pemuda ini, tapi Resky seolah membatasi diri darinya. "Hu-um." Raysa mengangguk manis. "Kamu juga baru tiba?" tanyanya balik. "Iya nih," sahut Resky mulai melangkah. "Tadi jemput Rora dulu." Raysa mendengus kesal mendengar nama Rora. Jujur dia tidak suka dengan Rora yang menurutnya manja dan kekanakan. Satu yang pasti, alasan utamanya tidak menyukai gadis itu karena Rora adalah saingan utamanya dalam mendapatkan hati Resky. "Kenapa harus jemput dia?" tanya Raysa tanpa menyembunyikan kekesalan di wajah cantiknya. "Manja banget jadi cewek!" gerutunya. "Hust, nggak boleh ngomong gitu!" tegur Resky lembut. Tangannya terulur mengusap pucuk kepala Raysa. "Tadi ban motor Rora kempes makanya dia minta jemput aku." "Kenapa juga harus kamu yang jemput dia? Kenapa nggak minta antar papanya dia aja?" Raysa cemberut. Resky tersenyum. Meskipun mereka hanya berteman dekat tetapi Raisa memang sering menunjukkan kecemburuannya kalau melihatnya bersama Rora. Sebaliknya, juga demikian dengan Rora. Gadis itu akan bersikap tak peduli padanya kalau dia bersama Raysa. "Papa Rora udah pergi kerja duluan, Sa, nggak sempat buat nganter," jelas Resky lembut. Dia memang tidak terbiasa bersikap kasar kepada perempuan. Rasanya tidak tega. Bukankah perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki untuk disayangi dan dilindungi, bukan untuk dibentak dan dikasari. "Tapi kan kamu kayak sopirnya dia aja, Ky. Aku nggak suka!" Raysa tetap cemberut. Bahkan gadis itu menghentakkan kaki memasuki kelas dan meletakkan tasnya dengan keras di atas meja. "Kita nggak naik mobil, Sa," ucap Resky sambil meletakkan tasnya di samping tas milik Raysa. Mereka teman sebangku. "Aku bawa motor." Resky terkekeh. Raysa tidak menjawab. Gadis itu masih mempertahankan kecemberutannya. "Astaga, Sa! Kok kamu jadi makin cantik sih kalo cemberut kayak gitu?" Raysa mendelik mendengarnya. Sungguh, Resky sangat tidak lucu baginya. Namun begitu, kata-kata pemuda itu tetap saja membuat pipinya memanas. "Nggak lucu!" sentak Raysa sambil membuang muka. Dia tidak ingin Resky melihat pipinya yang memerah. "Yahhh berarti aku nggak berhasil dong bikin kamu senyum lagi." Resky pura-pura memelas. Sekali lagi Raysa tahu kalau pemuda itu hanya bercanda, tetapi tak ayal membuat pipinya semakin memanas. Raysa mendongak, mengipas-ngipasi pipinya menggunakan tangan kanan. Berharap semoga panas yang dirasakannya segera menghilang. "Pagi-pagi dilarang pacaran wahai duo R yang nyebelin!" Arif meletakkan tasnya dengan keras di atas meja Resky dan Raysa. "Ntar ketahuan diskorsing lho!" ucapnya menakuti. "Ih Arif, nyebelin banget sih?" Raysa kembali cemberut. "Siapa yang pacaran juga?" tanyanya dengan mulut meruncing." "Lah bukannya kalian ya?" tanya Ilham. Dengan santainya pemuda itu duduk di atas meja di samping meja Resky. Ilham bahkan melempar tasnya ke arah Raysa menggoda gadis itu. "Kalian usilnya jangan kelewatan dong!" tegur Resky. "Sama cewek gitu amat." Ilham dan Arif cengengesan. "Lagian siapa yang pacaran?" tanya Resky pada kedua sahabatnya. "Kalian kan?" Arif terkekeh. Resky memutar bola mata. Kedua sahabatnya memang kadang sangat menyebalkan, apalagi saat keusilan mereka kumat seperti sekarang. "Kita nggak pacaran. Iya kan, Sa?" Resky menatap Raysa yang pipinya kembali memerah. Raysa mengangguk cepat, meskipun dalam hati dia ingin mengangguk tetapi tak mungkin kan? Dia tidak ingin membuat persahabatannya dengan Resky berakhir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD