Bab 3

2065 Words
Raysa benar-benar memintanya untuk menjemput pagi ini. Tadi pagi-pagi sekali, ketika ia baru saja membuka mata setelah tidur selama kurang lebih enam jam, suara pesan masuk terdengar dari ponselnya yang baru saja diaktifkan datanya. Berhubung ia ingin langsung ke kamar mandi maka dibiarkannya saja dulu meskipun bunyi yang menandakan pesan masuk terus terdengar, dan tak berhenti sampai ia selesai membersihkan tubuhnya. Baru setelah berpakaian rapi dan siap untuk pergi ke sekolah, ia memeriksa ponselnya, dan terkejut melihat banyak sekali pesan yang dikirimkan Raysa padanya. Resky hanya tinggal bersama mamanya, sedangkan Papa bertugas di luar kota. Baru pulang ke rumah dua minggu sekali, kadang juga bisa sebulan sekali baru mereka bisa bertemu. Tak masalah baginya, ia bisa menjaga Mama,.dan sudah lumayan terbiasa tanpa kehadiran Papa di tengah-tengah mereka. "Udah, Ma, segitu aja!" Resky menghentikan gerakan tangan Mama yang akan menambhakan satu sendok besar lagi nasi goreng ke piringnya. "Beneran segini cukup?" tanya Mama dengan alis berkerut. Resky mengangguk. Ia sedikit terlambat pagi ini. Jika biasanya jam sekarang ia sudah akan berangkat, hari ini ia masih berada di meja makan untuk sarapan. Belum lagi nanti ia harus mampir ke rumah Raysa dulu untuk menjemput. Ingin langsung terus ke sekolah saja, tapi ia sudah berjanji kemarin. Pesan-pesan Raysa yang masuk ke ponselnya sejak tadi berisi pengingat agar ia menjemputnya. Jujur saja, ia terpaksa melakukannya, rumah mereka berlainan arah. Jika harus menjemput Raysa maka sama saja ia dengan bolak balik dari rumahnya ke sekolah. Resky makan dengan cepat, ia tidak ingin terlambat tiba di sekolah. Ia memang bukan anggota pengurus kelas apalagi pengurus sekolah, ia hanya ingin tepat waktu saja karena sekali terlambat kau pasti ingin mengulanginya lagi. Lima menit, seluruh nasi goreng di atas piringnya sudah berpindah ke dalam perut. "Aku berangkat sekarang, Ma!" Ia pamit pada Mama, mencium tangannya, kemudian langsung mengambil motornya yang terparkir di garasi. Motor yang belum dipanaskan mesinnya langsung dinyalakan. Sangat bukan Resky sekali, ia selalu memanaskan motornya sebelum digunakan. Namun, hari ini perkecualian. Seandainya saja ia tidak harus membalas pesan Raysa, mungkin ia tidak akan merasa terlambat seperti ini. Raysa memang selalu bersikap seperti Tuan Putri, suka memerintah pada semua orang, kecuali dirinya. Bukan sifat yang baik memang, tapi mungkin karena dia sudah terbiasa meskipun berulangkali ia menegur dan mengingatkan, Raysa hanya sebentar saja mengubah sikapnya itu. Sehari atau dua hari kemudian dia akan kembali seperti semula. Seperti yang dikatakannya sebelumnya, jarak rumah mereka berlawanan. Ia harus melewati jalan menuju sekolahnya untuk sampai di rumah Raysa. Beruntung gadis itu sudah siap mengenakan helmnya ketika ia tiba di depan rumahnya yang megah seperti istana. "Aku kirain kamu nggak jadi jemput aku, Ky." Raysa tersenyum lebar menyambut kedatangan pemuda yang dikaguminya. Dia tidak berbohong, dipikirnya Resky urung datang, dan sudah pergi ke sekolah duluan. Tidak tahunya pemuda itu benar-benar menjemputnya. Untung dia sudah siap dengan helm yang kemarin dibelinya, jadi mereka tinggal pergi saja. "Udah mau minta anterin sopir tadi." "Maaf, ya, Sa. 'Kan, jarak rumah kita lumayan jauh, jadinya aku baru nyampe sekarang." Sungguh, Resky merasa tidak enak, tapi ia memaksakan diri untuk tersenyum seperti biasanya. Raysa menggeleng manis, semanis senyumnya yang selalu merekah dengan sempurna saking bahagianya. "Nggak apa-apa, aku yang salah minta kamu jemput aku," katanya malu-malu. Dia menundukkan kepala, menyembunyikan rona merah yang menjalari pipinya. Resky hanya meresponsnya dengan anggukan kepalanya saja. "Ya, udah, Sa. Mending kita berangkat sekarang, daripada ntar kita telat!" Raysa juga mengangguk mendengar kata terlambat meluncur manis dari bibir sexy Resky. Tanpa bersuara dia memberanikan diri untuk menaiki sadel motor Resky. Jika harus jujur, dia sangat takut. Jantungnya berdetak kencang. telapak tangan dan tengkuknya berkeringat dingin, tubuhnya juga bergetar halus. Namun, getar ketakutan itu tak berlangsung lama, semuanya berubah menjadi lebih baik kala kulit mereka bersentuhan. "Udah, Sa?" Resky menyempatkan diri bertanya sebelum menjalankan motornya, ia takut jika Raysa belum siap. "Udah!" jawab Raysa berseru, khawatir jika suaranya tidak terdengar pemuda itu. Resky mengenakan helm. "Aku jalan sekarang, ya?" Raysa mengangguk tanpa bersuara, tapi dia yakin Resky pasti mengerti. Buktinya motor melaju dalam kecepatan sedang. Suaranya terdengar halus, tak berisik seperti motor lain yang aduhai kencangnya. Dia mendengarnya saat berpapasan dengan para pengendara motor itu. Dari dalam mobil yang seluruh kacanya tertutup saja suaranya terdengar sekeras itu apalagi jika kaca dibuka, bisa-bisa telinganya sakit karena pekak. Motor melaju semakin kencang. Mereka tak lagi berada di jalan di komplek perumahannya, melainkan sudah di jalan raya, bersama ribuan kendaraan lainnya. Jantung Raysa kembali berpacu lebih kencang, keringat dingin kembali membasahi pelipis telapak tangannya. Bayangan-bayangan ketakutan akan terjatuh dan sebagainya, berlarian di kepalanya yang tertutup helm. Raysa dilanda panik beberapa saat, cepat dia memejamkan mata, berusaha mengusir kepanikan yang disebabkan traumanya. Resky yang menyadari apa yang dialami Raysa, memperlambat laju motornya. Meskipun mereka akan benar-benar terlambat nantinya, keselamatan Raysa yang utama. Ia tidak ingin disalahkan jika terjadi sesuatu pada sahabatnya. "Kamu nggak apa-apa, Sa?" tanyanya dengan sedikit mengeraskan suara. Keadaan sangat berisik, motornya berada di antara ribuan kendaraan lain yang berlomba untuk sampai ke tempat tujuan pengendaranya masing-masing. Mata bulat Raysa terbuka dengan cepat mendengar pertanyaan itu. Dia mengenali suaranya, dan baru menyadari dengan siapa dia berkendara. Yang memboncengnya adalah Resky Airangga, sahabat sekaligus pemuda yang dicintainya. Dia tidak akan kenapa-kenapa, dia pasti aman bersama Resky. "Kalo kamu takut, kamu peluk aku aja!" seru Resky. Ia tidak berniat apa-apa, hanya ingin mengurangi ketakutan Raysa. Ia juga tidak ingin sahabatnya terjatuh karena tidak berpegangan seandainya ia mengebut nanti. Jalan di depan sekolah sedikit lebih lengang dibandingkan jalan ini karena memang bukan jalan raya. SMA Cakrawala terletak di sebuah komplek perkantoran sehingga ramai hanya saat pagi dan sore saja, saat para pekerja kantoran tiba dan pulang bekerja. Sebab tak terlalu ramai, para siswa yang bersekolah di SMA Cakrawala bisa melajukan motor atau mobil mereka di atas kecepatan rata-rata jika dirasa akan terlambat. "E ... emang boleh peluk kamu?" tanya Raysa terbata. Debaran jantungnya semakin kencang, pipinya terasa memanas. Perkataan Resky membuatnya merasa gugup dan malu secara bersamaan. Meskipun ini yang diinginkannya –dapat memeluk Resky, tapi tetap saja dia gugup. Resky tak menjawab, ia hanya mengangguk. Tatapannya lurus ke depan, menatap jalanan yang dipenuhi kendaraan. Beberapa meter lagi mereka akan berbelok dan memasuki jalanan komplek perkantoran. Ia akan menambah kecepatan motornya bila sudah berada di jalan itu. Tubuh Raysa bergetar, lengannya gemetar melingkari perut Resky yang tak berlemak. Aroma padang rumput dan kayu manis langsung menyeruak begitu sepasang lengannya menempel di perut Resky yang dilapisi seragam. Raysa kembali memejamkan mata, menikmati aroma parfum yang terhidu indra penciumannya. Dia sangat menyukai aroma parfum Resky, wanginya yang lembut selalu membuatnya merasa nyaman bila berdekatan. Ini adalah pertama kalinya mereka sedekat ini, tubuh mereka seakan menempel. Ingin rasanya meletakkan dagu di bahu kekar itu, atau menyembunyikan kepala di lehernya agar dapat menghirup lebih banyak lagi aroma menenangkan yang menguar lebih pekat di bagian leher. Namun, Raysa masih sadar diri. Dia tak ingin dicap sebagai gadis tidak sopan, atau lebih buruk lagi Resky akan menyamakannya dengan gadis-gadis genit –cabe-cabean– di sekolah mereka. Dia tak ingin Resky menjauhinya karena hal itu. Meskipun Resky ramah kepada semua siswa, termasuk gadis-gadis genit yang memperebutkannya, Resky pernah berkata jika dia tidak menyukai mereka. Jangan sampai dia melakukan itu, jangan sampai Resky menilainya tak berbeda dengan gadis-gadis itu. Raysa bergidik tanpa sadar. Dia memekik tertahan dan memejamkan mata lagi begitu Resky menambah kecepatan. Padahal dia baru saja membuka matanya, berniat untuk menikmati pemandangan, terpaksa dia kembali memejamkannya lagi karena takut. Resky mengebut, tanpa memberi tahunya lebih dulu. "Udah, Sa!" Resky tertawa kecil melihat Raysa yang masih belum mau membuka mata dan melepaskan tangan dari perutnya walaupun motor sudah berhenti. Mereka sudah sampai, sudah berada di tempat parkir khusus Rida dua di sekolah mereka. Seperti biasa, ia memarkirkan motornya bersebelahan dengan motor Rora yang berwarna merah muda pucat, warna kesukaan gadis itu. "Kita udah sampai," katanya setelah tawa kecilnya berhenti. Cepat Raysa membuka mata, mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Dia takut jika Resky hanya membohonginya, meskipun itu tidak mungkin. Setahunya, Resky seorang pemuda yang jujur. Raysa segera melepaskan pelukannya di perut Resky, turun dari sadel motor tergesa. Dia menundukkan kepala, menghindari tatapan dari beberapa pasang mata siswa yang juga tengah berada di tempat parkir ini. Pipinya terasa memanas, dia malu. Di samping rasa bangga karena sudah bisa berboncengan dengan seorang Resky Airangga. Dia yakin, apa yang terjadi pagi ini pasti akan menjadi perbincangan, dan akan sampai ke telinga Rora, juga gadis-gadis lainnya. Raysa tersenyum culas dalam hati, dia sudah memenangkan persaingan tak kasat mata yang terjadi antara dirinya dan Rora. Jika pun belum, setidaknya dia sudah berada satu langkah lebih maju di depan gadis sok manja itu. Raysa menyerahkan helm pada Resky masih dengan kepala yang tertunduk. Mereka akan kembali pulang bersama, jadi dia menitipkan helmnya pada Resky saja. Tangan Raysa melingkari lengan Resky yang tertutup jaket tebal, memeluknya sepanjang perjalanan menuju jelas mereka. Sebenarnya, Resky sangat risi dengan perlakuan Raysa, tapi ia mendiamkannya karena tak ingin membuat gadis itu tersinggung. Satu lagi, ia juga merasakan Raysa gemetar. Meskipun lengannya ditutupi kain tebal hoodie, ia masih dapat merasakan getarannya. Tak ingin terjadi sesuatu yang tidak-tidak pada Raysa, juga menjadi alasan ia membiarkan Raysa memeluk lengannya. Beberapa siswa, baik yang berpapasan maupun yang mereka lewati kelasnya, menatap mereka sambil berbisik-bisik. Tatapan para siswa perempuan terfokus pada lengannya yang dipeluk Raysa. Resky mengembuskan napas pelan melewati rongga hidungnya, menyadari apa yang akan terjadi setelah ini. Ia bukan seseorang yang suka bergosip, juga tidak peduli dengan setiap gosip yang beredar di sekolah mereka. Namun, jika gosip itu mengenai dirinya, dan kedekatannya dengan siapa pun siswa perempuan di sekolah ini, ia tidak akan mendiamkannya. Selama ini ia sudah menjadi siswa teladan, tak ada gosip miring mengenai dirinya, jangan sampai ia mendengar gosip kedekatannya dengan Raysa hanya karena apa yang mereka lihat karena sungguh semua itu tidak seperti yang mereka pikirkan. Ia dan Raysa masih bersahabat, tidak lebih dari itu. "Ekhm! Ada yang harus traktir kita-kita, nih, nanti pas istirahat." Ilham menatap Resky dan Raisa yang baru memasuki kelas mereka, dengan menaik-turunkan alisnya menggoda. Cepat ia turun dari atas mejanya, menghampiri Resky yang baru saja meletakkan tas di atas mejanya. Ia memeluk bahu sahabatnya itu, setelah meninjunya sekali. "Mau gue ucapin selamat, nggak, kalian berdua?" tanyanya sambil menatap Resky dan Raysa bergantian. Resky mengerutkan alis. "Selamat buat apaan?" tanyanya tanpa kebingungan dalam nada suaranya. Sungguh, ia tidak mengerti apa maksud perkataan Ilham. Untuk apa sahabatnya itu memberinya ucapan selamat? Ia tidak merasa telah memenangkan sebuah pertandingan. "Apanya yang buat apaan?" Arif balas bertanya. Matanya memicing menatap Resky. "Jangan lari dari tanggung jawab buat nraktir, dong, lu!" semburnya. Ia duduk di bangku Resky, menatap Raysa dengan tatapan menggoda. "Kalo Resky nggak mau nraktir kita-kita, Non Cantik pasti mau, dong!* Ia menaik-turunkan alisnya menatap Raysa, menggoda gadis teman sekelasnya itu. "Apaan, sih, Rif?" tanya Resky lagi. "Aku beneran nggak ngerti, deh. Ngapain juga aku traktir kalian? Aku nggak lagi ulang tahun." Ia tertawa geli, lua pada kebingungannya atas perkataan aneh kedua sahabatnya. "Dasar bego!" maki Ilham gemas. Ditoyornya kepala ganteng Resky dengan kekuatan seorang Ibu yang sedang kesal terhadap anaknya. "Lu berdua, 'kan, baru aja jadian, jadi harus ngasih PJ sama kita-kita, sohib lu yang masih jomlo ini!" Obsidian Resky langsung melebar. Belum jam istirahat ia sudah mendengar gosip tak mengenakkan tentang dirinya dan Raysa. Yang lebih menjengkelkan gosip itu didengarnya dari sahabat-sahabatnya sendiri. "Apaan kalian berdua?" tanyanya jengkel. Cepat disingkirkannya lengan Ilham dari bahunya. "Dapat kabar dari mana aku sama Raysa jadian? Jangan fitnah, ya!" Resky mendengkus kasar, tanpa memedulikan bagaimana raut wajah Raysa, ia terus melayangkan sangkalan. Ia menjelaskan apa yang sudah terjadi, mulai dari pesan-pesan Raysa tadi pagi yang memintanya menjemput gadis itu karena janji yang tak sengaja diucapkannya kemarin, sampai saat mereka tiba di tempat parkir khusus, dan Raysa yang menekuk lengannya. Semuanya dijelaskan secara terperinci, tak ada satu pun yang ditutup-tutupi apalagi dilebih-lebihkan karena ia memang orangnya apa adanya. Satu lagi, ia juga tidak suka dengan berita tidak benar yang tersebar. Jika itu mengenai dirinya, maka ia akan mengklarifikasi secepatnya agar tak ada yang salah paham. "Berarti nggak jadian, dong?" tanya Ilham dengan bibir mengerucut. Resky mengangguk. "Yaahh, nggak jadi dapat traktiran, dong, kita!" Arif tak kalah lemasnya. Resky tertawa geli, menggelengkan kepala sekali lagi untuk memperkuat pernyataannya. Tak sadar bagaimana pucatnya wajah Raysa, apalagi dia melihat bayangan Rora bersembunyi di balik dinding bagian luar kelas mereka. Gadis itu telah mendengar semuanya. Raysa mengepalkan kedua tangannya yang berada di pangkuannya dengan kuat. Gagal sudah rencananya untuk menjauhkan gadis sialan itu dari Resky-nya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD