Chapter 4

1100 Words
Sejak pertemuan terakhir kali dengan Erwin Toshiro. Eru selalu menghabiskan lebih banyak waktu bersama Kazuki, bahkan jika dibandingkan dengan waktu yang dihabiskan untuk dirinya sendiri. Tentu saja ini tidak seperti ia tidak menyukainya. Eru justru senang menghabiskan waktu bersama pacarnya yang satu itu. Hanya saja, yang jadi masalah adalah munculnya kesenjangan kecil di antara ia dan teman-temannya. Mereka tak lagi sebebas biasanya tiap Eru sedang bersama Kazuki, pun Eru mengerti perubahan sikap itu dikarenakan mereka takut akan membuat Kazuki meledak lagi. Apalagi di saat mereka sedang bersama Erwin, maka akan lebih baik bagi mereka untuk berpura-pura tidak melihat. Bagaimana pun juga, Eru merasa sedikit tak nyaman dengan kecanggungan ini. Terlebih faktanya, ia masih memiliki beberapa kelas yang sama dengan Erwin. Dan setiap kali ia berpapasan dengan laki-laki itu, Eru akan bersikap seolah tidak menyadari kehadirannya sama sekali. Apalagi saat mengingat bagaimana ia untuk pertama kalinya melihat tatapan Erwin yang dingin itu. Sejujurnya Eru juga merasa takut akan melihat tatapan yang sama jika secara tak sengaja ia sampai memandang Erwin. Pun ia sedikit bersyukur karena Erwin tak lagi mencoba memberi hadiah. Eru menghela napas panjang, nyaris-nyaris seolah lelah. Hal itu sangat menakutkan sekali. Sampai ia terus berharap bisa menjauh dari Erwin, atau Erwin kembali saja ke Jerman dan tak akan pernah kembali ke sini lagi. Eru melanjutkan langkah dengan langkah yang nyaris diseret. Saat ini ia berjalan sendirian melewati aula gedung fakultasnya. Hari ini Kazuki memiliki beberapa tugas yang harus dikerjakan. Meski ia terlihat tak rela melepas Eru sendirian setelah beberapa hari terus menempel, tapi Eru meyakinkan dia dengan cukup baik. Toh, mereka akan segera bertemu lagi malam nanti. Setidaknya Eru cukup senang karena Kazuki tak lagi merajuk atau bersikap berlebihan pada apa pun. Ini terasa melegakan. Tapi di lain sisi, ia jadi memiliki lebih banyak kesempatan untuk memikirkan ketakutannya terhadap Erwin. Meski sekeras apa pun ia berusaha melupakan semua itu, atau tidak untuk memikirkannya lagi. Hal-hal itu terus bermunculan dengan sendirinya. Dan semakin Eru berusaha untuk menolaknya, semua ingatan itu seolah makin menjadi jelas. Eru mengalihkan pandangan dengan tatapan lelah tanpa sadar dan menangkap bayangan Akemi yang tengah berjalan beriringan dengan Shina. Keduanya sama-sama sudah membuka mulut untuk memanggil nama Eru, tapi seperti biasa, mencegah apa pun keluar dari mulut mereka sebelum memeriksa sekitar. Melihat bagaimana secara bersamaan kening kedua temannya mengernyit heran karena tidak melihat kehadiran Kazuki, Eru pun tersenyum nanar. Ia segera melanjutkan langkah panjang-panjang sambil melambaikan sebelah tangan. "Hai, hai," sapanya, berusaha agar terdengar biasa saja. "Kau sendirian?" Tanya Shina tanpa merasa bersalah sama sekali, membuat Akemi mendecak dan memutar mata ke arahnya. Eru meringis. "Ya, Kazuki ada tugas, santai saja," Eru benar-benar berharap kecanggungan di antara mereka segera lenyap. Secara diam-diam, Shina dan Akemi menghela napas lega. Eru bersikap seolah tidak menyadarinya. Shina mendecak menunjukkan keluhan. "Belakangan ini suasananya sangat tidak menyenangkan. Kau baik-baik saja?" Yah, beginilah Shina apa adanya. Selalu blak-blakan dan kadang tidak berperasaan. Tapi Eru mendapati dirinya senang karena Shina langsung bersikap seperti biasanya. Meski tidak menanyakannya secara langsung, Akemi sebenarnya memikirkan hal yang sama. Dan meski ia memiliki sikap yang cenderung dingin, tapi dalam beberapa hal ia lebih bisa menjaga perasaan. Karenanya ia pun dengan kalem memandang Eru untuk menanti jawaban. Senyum Eru mengembang dan kelegaan yang menyejukkan seolah menyelimuti dirinya. "Semuanya baik, tak ada masalah lagi." Shina mendengus. "Mau bagaimana pun aku mengerti sih kenapa Kazuki marah. Mengingat kau pernah dekat dengan Erwin dulu." Akemi langsung memelototinya dengan tatapan yang seolah menunjukkan ingin mencekik temannya yang satu itu sampai tidak bisa bicara lagi. Tahu hal itu terlalu mustahil, lantas ia pun mendengus dengan kasar. "Itu masa lalu, dan itu tidak seperti Eru sudah memiliki hubungan dengannya. Bagaimana pun, aku tetap tidak setuju dengan sikap Kazuki," jelas sekali Akemi sudah menahan hal ini sejak lama. Melihatnya Eru nyengir lagi dan berusaha menenangkan. "Tak apa, tak apa, Kazuki tidak bersikap buruk padaku. Dia hanya marah pada hadiahnya." "Oh, benar. Memang apa yang salah dengan hadiahnya?" Shina mendadak teringat pada hal itu. Eru berpikir sejenak untuk menjelaskan. "Sebenarnya tak ada yang salah dengannya," ia berujar ragu. "Tapi tulisan di bola kaca itu kurasa agak membuat Kazuki tersinggung." Seketika kening Shina dan Akemi berkerut bersamaan. "Benar juga, selain mendapatkan hadiah yang berbeda ternyata ada sesuatu di sana," Akemi melipat kedua tangan di d**a, nampak memikirkan sesuatu dengan raut wajah tak suka. "Apa tulisannya?" Shina berkata lagi tak sabar. "Je t'aime." Butuh beberapa saat bagi Akemi dan Shina untuk mencernanya. "Apa artinya?" Akhirnya Shina bertanya, setengah tak yakin karena mengira ia salah dengar. "Aku mencintaimu," kata Akemi dengan alis bertaut kian dalam. "Terima kasih, aku juga cinta diriku." Mendengar jawaban itu, Akemi segera berhenti berpikir dan memandangnya dengan sebal. Shina terkikik kecil dan mengabaikannya, lalu kembali memandang Eru. "Mari kita berpikir positif sebentar. Bukan kah sejak awal Erwin memang tidak tahu tentang hubunganmu dengan Kazuki." "Ya," sahut Eru, lebih serius dari yang ia harapkan. Pun kedua temannya ini sangat tahu bagaimana ia memutus hubungan dengan Erwin setelah pekergiannya. Dan meminta pada mereka juga untuk tidak menceritakan apa pun tentangnya jika Erwin bertanya. "Tapi apa kau yakin Erwin benar-benar tidak tahu? Ini tidak seperti Erwin hanya memiliki kita sebagai temannya. Kurasa Erwin sangat menjengkelkan jika benar seperti itu." Nah, mendengar dugaan Akemi barusan, membuat Eru ikut memikirkan kemungkinannya. Dan tentu saja, hal ini membuat rasa takutnya meningkat. Perasaan jijik dan ngeri seolah mengaduk-aduk perutnya. Pada akhirnya ia menyerah dan menghela napas. "Sudahlah, yang jelas tak ada yang perlu dipermasalahkan lagi. Aku ingin makan sekarang,kalian ikut?" Yah, tanpa ditanya pun, mereka memang berniat untuk makan siang sejak awal. Jadi tanpa membahas apa pun lagi mereka pun pergi ke sebuah restoran di dekat universitas. Meski berkata telah menyerah pada diri sendiri, nyatanya Eru tidak bisa menghentikan otaknya untuk terus berpikir. Ingatannya melayang kembali pada saat ia membuang hadiah dari Erwin itu. Sengaja atau tidak Erwin melakukan hal semacam ini, Eru tetap sampai pada satu kesimpulan yang sama. Bahwa Erwin Toshiro masih menyukainya. Mungkinkah ia kembali untuk menjadikan dirinya sebagai kekasihnya? Seperti hal yang seharusnya terjadi sejak lama. Eru menghela napas tanpa suara. Benar-benar lelah dan berharap kepalanya bisa diajak bekerja sama untuk berhenti berpikir. Rasa takut bukan sesuatu yang bisa kau nikmati. Dan sejak kembalinya Erwin ke Tokyo, Eru terus merasakan ketakutan yang menghantuinya. Membuatnya selalu bergerak-gerak gelisah tanpa sadar dan terus merasa tak nyaman. Menimbulkan kesalahpahaman aneh pada Kazuki. Dan bahkan sekarang, sepertinya Shina dan Akemi mulai sadar pada gerak-geriknya yang mencurigakan. Tapi memangnya apa yang bisa ia lakukan? Ini tidak seperti orang lain bisa mempercayainya. Eru merasakan sedikit kebencian kembali tumbuh dalam benaknya. Jika setidaknya, sosok Erwin tidak sesempurna itu, apakah setidaknya akan ada yang mempercayai dirinya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD