Sikap Yang Sama ~~

1431 Words
“Dari mana aja sih lo, Dyr? Dicariin Pak Yoga tuh!” ujar Shika, salah satu teman satu divisi Dyra. Dyra yang baru saja tiba segera menaruh tas dan berkas-berkas yang sejak tadi dibawa di atas kubikelnya, lalu bergegas mendatangi kepala tim divisi bagian analis, di ruangannya. Gadis itu mengetuk pintu berkali-kali, lalu memutar kenop saat mendengar Yoga menyuruhkan segera masuk ke dalam. “Bapak cari saya?” tanya Dyra dengan sopan. Yoga mengambil beberapa berkas yang baru saja selesai ia buat lalu memberikannya pada Dyra. “Tolong antar berkas ini ke ruang Direktur Utama. Saya sudah beritahu sekretaris Pak Oris, jika berkas akan diantar olehmu ke ruangannya. Tunggu hingga Pak Oris selesai menandatanganinya, lalu bawa kembali seluruh berkas ini pada saya, tanpa kurang satu berkas pun,” titah Yoga dengan penuh penekanan sebagai pengingat untuk Dyra. Dyra yang sudah biasa melakukan itu segera menganggukkan kepalanya, lalu mengambil berkas tersebut untuk ia bawa ke ruang Direktur Utama yang terletak di lantai lima gedung ShadowTech tersebut. Gadis itu membungkuk untuk berpamitan pada Yoga lalu berjalan keluar dengan membawa setumpuk berkas-berkas tebal di tangannya. “Lagi?” tanya Rayyan saat melihat berkas-berkas tebal di tangan Dyra. Dengan wajah malas, Dyra menganggukkan kepalanya dan mulai berjalan keluar dari ruang divisi analis. “Orang pikir … si Dyra selingkuhannya Pak Yoga karena dianak emaskan. Padahal yang kita lihat selama ini, si Dyra kek asistennya Pak Yoga yang bisa disuruh-suruh kapan aja,” gumam Shika. Para karyawan lain yang mendengar gumaman Shika menganggukkan kepalanya dan menatap iba pada punggung kecil Dyra yang semakin menjauh. “Dia harus lakuin semua itu demi uang tambahan untuk pengobatan ibunya,” sahut Rayyan menimpali. *** Setibanya di depan pintu kaca bertulisan Direktur Utama, gadis bertubuh kecil itu mulai mengetuk pintu. Tak begitu lama, sekretaris Oris yang bernama Jennifer membukakan pintu lalu tersenyum pada Dyra. “Sebanyak ini lo bawa sendiri, Dyr?” tanya Jennifer yang terkejut saat melihat berkas-berkas tebal yang Dyra bawa. Dengan wajah menahan beban berat, Dyra menganggukkan kepalanya dan mulai berjalan masuk. “Thanks, Jeje,” ucapnya. Jennifer pun membantu membukakan pintu menuju ruang utama Direktur Utama untuk Dyra, lalu menepuk pundak temannya itu. “Semangat, Dyra!” bisik Jennifer seraya menutup kembali pintu tersebut. Tepat saat Dyra berbalik menghadap ke depan, matanya seketika membelalak saat melihat orang yang paling ia hindari selama ini, sedang duduk di atas sofa dan kini menatap ke arahnya. Sedangkan Oris yang melihat berkas sebanyak itu di bawakan oleh gadis bertubuh kecil, membuatnya merasa tidak tega dan segera menghampiri Dyra untuk membantu membawakan berkas-berkas tersebut. “Kenapa dibawa sendiri? Saya sudah pesan pada Yoga, jika berkasnya cukup tebal dan banyak, minta Riki yang bantu untuk bawakan,” ujar Oris seraya mengambil semua berkas di tangan Dyra. Dyra yang masih nampak terkejut hanya terdiam tak menanggapi ucapan Oris. Gadis itu terus memandang lurus, menatap Azeil yang juga tengah melihat padanya. Kakinya begitu saja terasa sangat lemas, telapak tangannya pun mulai basah karena keringat. Ia remas kedua sisi rok spannya dengan tangan bergetar. Dyra mencoba mengatur napasnya agar lebih tenang, untuk menutupi perasaannya yang semakin lama semakin tak menentu. Oris yang menyadari Dyra masih berdiri di tempatnya seketika menghentikan kegiatan menandatangani berkas di hadapannya, lalu menatap pada gadis itu. “Apa kamu akan berdiri seperti itu hingga saya selesai menandatangani semua berkas ini?” tanya Oris. Dyra yang baru tersadar dari lamunannya segera membungkukkan tubuhnya, lalu duduk di atas sofa tepat di hadapan Azeil. “Saya tidak bisa terburu-buru menandatangani semua berkas ini!” gumam Oris seraya kembali menandatangani berkas-berkas penting yang dibawa Dyra. Dyra memalingkan wajah ke sisi lain untuk menghindar dari tatapan mata tajam Azeil yang terus menatap padanya. Berkali-kali gadis itu menghela napas dalam seraya meremas rok spannya untuk menahan rasa kecewa dan kesal yang dulu pernah ia rasakan, agar tidak kembali menyeruak. Sedangkan Azeil, masih terus menatap dalam pada mantan kekasihnya itu, dengan rahang terkatup. “Bagaimana keadaan ibumu, Dyra?” tanya Oris tanpa mengalihkan fokusnya dari berkas di atas meja. “S-sudah lebih baik, Pak,” sahutnya dengan gugup. Pertanyaan yang terlontar dari sang ayah membuat Azeil seketika terdiam. Pria tampan itu mengerutkan dahinya. ‘Ibu? Ada apa dengan ibu Dyra?’ gumam Azeil dalam hati. Lima belas menit pun berlalu dan akhirnya Oris selesai menandatangani berkas terakhir lalu menaruhnya pada tumpukan paling atas. Pria paruh baya itu berdiri dari tempatnya dan berjalan menghampiri Dyra. “Saya sudah selesai menandatangani seluruh berkas-berkas itu.” Oris menunjuk berkas yang menumpuk di atas mejanya lalu kembali duduk di atas sofa. Merasa mendapat lampu hijau untuk keluar dari tempat itu, Dyra segera berdiri dari tempatnya lalu berjalan untuk mengambil semua berkas yang tersusun di atas meja. Tanpa terduga, Azeil pun ikut berdiri dari posisinya dan berjalan menghampiri Dyra, lalu mengambil semua berkas yang ada di atas meja tepat sebelum Dyra mengambilnya. “A-Aze!” gumam Dyra dengan mata membulat sempurna. Tanpa berbicara sepatah kata pun, Azeil membawa tumpukan berkas tersebut dan menghentikan langkahnya saat ia tiba di samping Ayahnya. “Besok Aze akan mulai kerja, Yah. Sekarang Aze harus pamit, setelah mengantar berkas-berkas ini, Aze langsung pulang. Ada urusan yang harus Aze selesaikan,” ujar Azeil seraya menoleh menatap Dyra. “Apa kamu gak keberatan membantu Dyra membawa berkas-berkas itu?” tanya Oris. Azeil tersenyum pada Ayahnya lalu menggelengkan kepalanya. “Aze pergi, Yah. Assalamualaikum,” pamit Azeil seraya berjalan lebih dulu menuju pintu ruangan Oris yang masih tertutup. “Pak saya pamit,” ujar Dyra seraya membungkukkan tubuhnya, memberi hormat pada Direktur Utamanya lalu berjalan menyusul Azeil untuk membukakan pintu. Azeil kembali melangkahkan kakinya keluar dari ruang tersebut terlebih dahulu. Dyra yang berjalan di belakang Azeil melirik sesaat pada Jennifer yang menatap ke arahnya dengan tatapan penuh tanya. Dyra yang paham dengan tatapan tersebut hanya bisa mengedikkan bahunya sembari terus melanjutkan langkahnya. Setibanya di depan pintu lift, Dyra menekan tombol panah ke bawah, lalu menunggu beberapa saat. Gadis itu berusaha mengalihkan pikiran dan pandangannya ke sisi lain, agar tatapannya dan iris mata Azeil tidak saling bertemu. Tetapi … berkas yang Azeil pegang tidak tersusun dengan baik, hingga membuat tiga berkas paling atas hampir terjatuh, jika saja Dyra tidak lebih cepat menahan berkas-berkas tersebut. Dan akhirnya … hal yang paling Dyra hindari pun terjadi. Pandangan matanya dan mata Azeil saling bertemu, mengunci satu sama lain tanpa bisa Dyra hindari lagi. Bayangan masalalu yang sangat menyakitkan itu kembali hadir. Kalimat-kalimat hinaan, sarkas dan menyakitkan itu kembali terngiang di telinga gadis itu. Bayangan saat teman-teman satu sekolahnya yang melemparinya sampah, bayangan teman sekelasnya yang membully Dyra, dan … bayangan saat Azeil begitu saja pergi meninggalkan dirinya ketika para siswi yang menyukai Azeil melabrak dan memukulinya, kembali berputar dalam pikirannya. Tanpa terasa, air matanya begitu saja menetes di atas wajahnya, dan membuat Dyra segera membuang muka ke sisi lain agar Azeil tidak melihatnya. Tetapi sayangnya, secepat apapun Dyra menoleh ke sisi kirinya, Azeil sudah lebih dulu melihatnya. Pria itu menaruh berkas yang ia pegang di atas lantai, lalu menarik tangan mantan kekasihnya itu dengan kasar, membuat Dyra seketika menoleh dan meringis kesakitan. “S-sakit,” lirihnya. Gadis itu berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Azeil seraya menatapnya dengan tajam. “Bisakah kamu berhenti melukai aku? Apa kejadian tiga belas tahun yang lalu masih belum cukup?” tanya Dyra yang akhirnya tak dapat menahan perasaannya lagi. Bukannya melepaskan cengkeramannya, Azeil malah semakin mempererat remasannya dengan wajah memerah menahan amarah. “Lo masih merasa gak bersalah setelah lo terang-terangan selingkuh di depan gue, Dyra?” tanya Azeil penuh penekanan. “Aku memang gak bersalah! Dan aku tetap pada pendirianku, karena hanya aku dan Leo juga Tuhan yang tahu kejadian sebenarnya! Silahkan kamu menganggap aku wanita tidak baik, atau bahkan … w************n seperti yang kamu katakan saat itu. Tapi yang jelas, semua yang kamu lihat saat itu, gak seperti yang kamu pikirkan!” jawab Dyra, tanpa sadar meneteskan airmata di atas wajahnya. Azeil semakin meremas pergelangan tangan Dyra dengan keras, dan membuat gadis itu semakin meringis kesakitan. “Gue gak akan pernah percaya omongan lo!” ujar Azeil penuh penekanan. Dyra mendengkus sebal disela rasa sakit yang mendera pada pergelangan tangannya. “Untuk apa kamu punya telinga, jika untuk mendengar penjelasan aja, kamu gak mau!” “Untuk apa punya mata, jika gue harus percaya dengan apa yang gue denger dari lo! Gue lebih percaya apa yang gue lihat sendiri, dari pada penjelasan dari lo yang penuh kebohongan!” timpal Azeil seraya menghempaskan cengkeraman tangannya dari pergelangan tangan Dyra. Gadis itu segera mengambil setumpuk berkas yang Azeil taruh di atas lantai, lalu berjalan masuk ke dalam lift yang pintunya baru saja terbuka. Ia mencoba menahan rasa sakit yang menyerang pergelangan tangannya, hingga akhirnya pintu lift tertutup. Satu helaan napas lega begitu saja terdengar. Gadis itu menyandarkan tubuhnya pada dinding kapsul lift, lalu memejamkan matanya. “Kamu gak berubah sama sekali, Aze. Kamu tetap Aze yang dulu. Pria yang selalu menyakiti perasaan aku,” gumam Dyra dengan suara bergetar, menahan rasa sedih yang kembali menyelimuti dirinya. *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD