2. Permintaan Bulan Madu

1292 Words
Kali ini Marinka yang terdiam. Dia meletakkan kuas dan menatap lukisannya. Bangkit dari duduknya dan mematut diri seolah di depan cermin. Hening di antara keduanya, Tapi entah kenapa, Bujana rela menunggu, seraya menelisik setiap sudut wajah di hadapannya. Wajah itu yang akan menjadi pendampingnya dalam tiga puluh hari ke depan. Demi menyelamatkan nasib dua puluh ribu pegawai ayahnya. Jujur saja, wanita di hadapannya ibarat burung dalam sangkar yang tak boleh lepas. Semenjengkelkan apa pun tingkah atau pun ucapannya, Bujana harus bersabar diri hingga bulan depan. “Aku mau ke sana,” ucap Marinka menunjuk lukisannya dengan dagu lancipnya. Bujana melirik lukisan itu, dan menggeser posisi berdirinya, hingga dia berada tepat di sebelah Marinka. Keduanya menatap lukisan itu. Hanya Marinka yang tersenyum, tapi Bujana yakin senyum itu bukan karena dia akan berbulan madu bersama Bujana di sana. Itu adalah kampung halaman Marinka. “Kau tidak bosan ke sana?” tanya Bujana penuh selidik. “Tidak ada tempat seindah Babilonia.” Bujana mendesah panjang. Tak ada yang menarik di Babilonia. Dia sudah pernah ke sana dan tak hendak mengulangnya lagi. Lebih baik pergi bertanding taekwondo sampai ke Jepang. Lebih memacu adrenalinnya dan tentu saja mendapat eforia dari para gadis. Di Babilonia, tak ada yang bisa dilakukan selain berusaha merangkai imajinasi cerita sejarah masa lalu, yang katanya, Taman Gantung di lukisan Marinka, indahnya melebihi surga. “Oke, kita ke sana lalu ke Jepang atau Korea. Ada pertandingan taekwondo …” “Terserah kamu. Yang pasti aku harus pamit dulu ke Babilonia.” “Hm. Pada leluhurmu? Atau ibumu? Dia masih aktif di teater?” Tidak ada jawaban. Marinka berjalan menuju balkon. Bujana mengikutinya. Sebenarnya dia tidak perlu meluangkan waktu dengan Marinka. Tapi, setidaknya dia harus menimbulkan kesan baik pada calon ayah mertuanya, bahwa dia memang beritikad baik menikahi Marinka. Si burung emas yang tak tahu menahu tentang perushaan ayahnya. Yang dia tahu hanya melukis dan melukis. Maka menggabungkan dua bisnis raksasa dalam ikatan pernikahan adalah salah satu jalan terbaik. Adik Marinka tak begitu becus mengurusi tambang minyak ayahnya. Pekerjaannya hanya berkeliling dunia menghabiskan uang. Padahal, kabarnya Freeport nyaris berada dalam genggaman Tuan Maloko. Bujana merasa masih lebih baik dari calon iparnya itu. Dan dia harus menjadi yang sempurna di mata Tuan Maloko. Toh, walau menjengkelkan, setidaknya paras dan tubuh Marinka tidak mengecewakan sebagai istri. “Hm, begini Marinka. Aku tahu, baik kau dan aku, sama-sama tidak menghendaki acara bulan depan itu terjadi. Kau punya kehidupan, demikian juga aku. Aku hanya ingin membuat kesepakatan saja.” “Tidak ada yang perlu disepakati saat ini selain kita menikah. Setelah itu, kau bisa mengurus perusahaan ayahku. Semoga tidak ada PHK tahun ini.” Bujana menatap sepasang mata bulat Marinka. Gadis itu berkata jujur. Bujana heran, masih ada gadis seperti Marinka di dunia ini. Dia tidak menginginkan harta ayahnya. Bahkan Bujana pun tidak diinginkannya, meski tampangnya membuat gadis-gadis cantik tergila-gila dan posturnya kerap menjadi incaran model iklan. Bujana hanya menjaga imagenya sebagai anak pengusaha kaya raya di negerinya, jadi membuat media penasaran dengan kehidupannya akan semakin membuat dia banyak dicari. Oleh wanita, terutama .Dan kehidupan itu sepertinya akan berakhir dalam hitungan mundur yang semakin cepat. Hanya karena gadis sederhana seperti Marinka. Yang isi kepalanya hanya Babilonia. Mungkin Bujana akan mengirimnya untuk tinggal saja di sana. Seperti apa yang dilakukan Tuan Maloko pada istrinya. “Aku hanya meminta satu hal, ijinkan aku tetap melukis.” Bujana mengangguk dan tersenyum. Hal itu akan semakin mempermudah segalanya. OoO What am I? Marinka merebahkan dirinya di ranjang. Dia merasa begitu lelah hari ini. Lelah mengelabui hatinya. Lukisan Taman Gantung-nya tak berhasil dituntaskannya karena kedatangan Bujana tadi siang. Lelaki itu tak bisa membuatnya berpikir jernih. Dia punya banyak wanita. Dia menghabiskan uang dengan pacar-pacarnya. Kau tidak akan bahagia hidup dengannya. Kembali saja ke Babilonia. Ucapan ibunya kembali terngiang-ngiang. Kalau saja wanita itu tidak sibuk dengan teaternya dan kerap meninggalkan ayahnya, pasti mudah bagi Marinka.. Ibunya hanya datang sesekali dan pergi lagi, hidup dari panggung ke panggung. Hidup Marinka sejak kecil adalah milik ayahnya. Dan mimpinya adalah milik ibunya. Marinka selalu saja ingin kembali ke Babilonia. Dia merasa hidup di sana. Di Jakarta, dia merasa seperti burung emas dalam sangkar. Sebuah mascot milik sang ayah yang menjadi peruntungan bisnisnya. Menjadi pajangan para tamu dan kolega yang bertandang di rumahnya, meski tak menampik bahwa Tuan Maloko, ayahnya, selalu bangga memamerkan lukisan-lukisan Marinka. Pintu diketuk dan terbuka. Seorang wanita muda sebayanya, berjas hitam dengan kaca mata hitam masuk ke dalam kamarnya. Bagi Marinka, Dadda adalah pengganti ibunya. Mengurus segala keperluannya sejak dia bangun tidur hingga tidur lagi. “Saya tidak berhasi menemukan fotografer itu, Nona.” “Dia tidak mungkin lenyap begitu saja. Dia punya hutang memfoto lukisan-lukisanku.” “Tidak bisakah kita memakai fotografer lain?” “Dia punya koneksi mendunia.” “Sejak kapan Nona berambisi untuk mendunia?” Marinka menatap Dadda. Dadda terlalu banyak ingin tahu, itu perlu bagi tugasnya. Tapi dia cukup perlu tahu sedikit saja bagian isi hatinya. Betapa dia gelisah menjelang pernikahannya dan fotografer itu tak kunjung memberikan jawaban email dan sms-nya. “Lima nomor ponselnya sudah kuhubungi dan semuanya tidak aktif. Sudah satu minggu. Aku hanya khawatir, dia sedang terjebak di medan perang atau …” “Dia fotografer spesialis natural, Dadda. Dia hanya fotografer pemandangan alam saja. Lukisan termasuk di dalamnya. Dia tidak akan pergi ke peperangan.” Dadda terdiam. Majikannya lebih mengendal fotografer itu. Katanya mereka pernah bertemu di Babilonia bulan kemarin dan lelaki itu berjanji mengunjungi dan mangambil gambar lukisan-lukisannya. “Di mana tepatnya dia tinggal?” tanya Marinka, “Saya bisa mencari data di kedutaan.” “Dia tinggal di negara mana saja. Tapi dia punya rumah di Babilonia. Aku … lupa di mana.” “Hm, baiklah. Mungkin itu bisa sedikit membantu. Apa namanya hanya Karran?” Marinka mengangguk. Dan dia menyumpahi kebodohannya. Bagaimana dia bisa jatuh cinta pada seorang fotografer tanpa nama belakang? Bisa jadi itu hanya nama samaran. Dadda keluar dari kamar, membiarkan Marinka kembali merebahkan diri. Dia merasa begitu lelah dengan semua ini. Karran menelponnya dua minggu kemarin. Dari kalimat-kalimatnya, Marinka yakin hati meraka tak bisa berbohong. Marinka yakin, di hati mereka tumbuh bibit yang sama. Marinka gelisah. Sementara wajah menawan Bujana tak jua lepas dari matanya. Dia bimbang, ke mana hatinya harus berlabuh. Pada Karran yang telah membuat dia merasa begitu hidup, atau pada Bujana yang akan menjadi pendampingnya. “Karran, I love you …. Please answer me.” Tangan Marinka sedikit gemeter ketika memencet tombol send. Sebuah email telah terkirim melalui ponselnya. Tak pernah terpikir dia akan menyatakan isi hatinya pada orang yang telah membuat malam-malamnya gelisah karena jarak memisahkan. Dia berharap hati dan pikirannya tidak salah. Bila lelaki keturunan India itu memberikan jawaban, semenit saja sebelum dia dan Bujana mengikat janji, Marinka tak akan lagi berpikir panjang untuk tinggal dalam sangkar emasnya. Dia akan berlari meninggalkan Bujana demi Karran. Sebagaimana Bujana akan melakukan hal demikian padanya, bila semua wanita-wanitanya bergelayut di lehernya. Pernikahan ini sepertinya tidak akan berhasil. Baik dia dan Bujana sama-sama mengetahui hal ini. Tapi semua ini harus dilakukan. Semua media sudah mengabarkan, dan Marinka berharap, setidaknya Karran tidak terlalu sibuk dengan kameranya, hingga sempat menoleh sebentar ke televisi. Marinka tak peduli bila tambang ayahnya tak lagi menambang minyak di negerinya bila dia berlari pada Karran. Bukankah ada yang harus dikorbankan demi sebuah cinta? Seluruh negeri? Marinka mendesah panjang. Dia tidak yakin bahwa dia peduli pada nasib karyawan yang bergantung hidup dan keluarganya pada perusahaan ayahnya dan ayah Bujana. Dia hanya tak bisa menolak keinginan ayahnya. Ibunya adalah contoh pernikahan tanpa cinta. Hanya kepentingan bisnis. Dan Marinka tak ingin dia menjadi duplikat ibunya yang berkeluarga tapi jiwanya melayang dari panggung ke panggung. Marinka juga tak ingin, menjadi pendamping Bujana, tapi hatinya ada dalam kuas dan kanvas. Bersama Karran, hatinya bisa berada di keduanya. Karran dan kanvas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD