Chapter 5 : Kekuatan Terpendam

1173 Words
Sebulan telah berlalu, Karel masih belum memutuskan menjadi seorang pendekar seperti Selly atau Vilas. Anak laki-laki itu selalu menghabiskan waktu di dalam kamar sambil membaca banyak buku. Namun, hari ini, pada siang yang cerah, ia bersama Selly dan Vilas masuk ke dalam hutan.  Kata Vilas, sekarang adalah hari bagi mereka untuk berburu. Walaupun tidak terlalu tertarik, Karel terpaksa ikut karena bujukan tanpa henti dari Vilas. Selain itu, ini juga merupakan kesempatan bagus bagi Karel memahami Daratan Api lebih dalam. Di tengah terik matahari ini, mereka terus melangkahkan kaki. Sesekali Karel memandang sekitar, memerhatikan apakah akan ada perbedaan antara hutan di Daratan Api dengan dunianya dulu. Namun, sejauh ini, tak tampak ada perbedaan, selain makhluk-makhluk aneh yang tinggal di hutan tentunya. Selama perjalanan, muncul Makhluk Gaib tingkat rendah, dan tentu saja Selly dan Vilas dapat menanganinya dengan sangat mudah. Bahkan, Karel diam saja di tempat takkan bisa disentuh oleh kawanan Makhluk Gaib itu. Ini membuat Karel merasa aman dan juga bosan. Perjalanan terus berlanjut, sampai akhirnya sore tiba. Matahari sudah condong ke ufuk barat, hendak mengakhiri cerahnya hari. Akan tetapi, belum terlihat tanda-tanda kalau Vilas akan segera mengajak Karel juga Selly pulang. “Vilas, apakah kita akan berkemah di hutan malam ini?” tanya Karel untuk memastikan. “Tidak, perjalanan kita cukup sampai di sini saja. Mari kita kembali.” Akhirnya Vilas berbalik, menuntun kedua muridnya untuk pulang. Dilihat dari waktu, mungkin ketika mereka tiba hari sudah sangat gelap. Meskipun Karel tidak terlalu peduli, sebab perutnya telah kenyang selama melakukan perburuan ini. Karel kemudian menatap gelang di tangan kiri Vilas, ia masih tak habis pikir kalau hanya bermodalkan gelang tersebut, Vilas dapat membawa semua hasil buruan. Walau sebenarnya tujuan berburu ini adalah untuk melatih Selly supaya lebih terbiasa bertarung, tetapi Vilas juga tak ingin menyia-nyiakan tubuh hewan-hewan yang mati. Karel menebak, pasti ketika pulang nanti Klan Taira akan mengadakan pesta menggunakan daging buruan Vilas. Setelah beberapa saat, tibalah mereka di dekat air terjun. Suara gemuruh air terdengar begitu jelas di telinga. Lalu, tak hanya diam melihat, Karel segera masuk ke dalam air agar dapat menyegarkan tubuh. Rasanya sangat nikmat mengakhiri perjalanan panjang dengan berendam di dalam sungai. “Karel, hari sudah hampir gelap, kita harus segera kembali,” ucap Vilas. “Iya, tunggu sebentar.” Belum sempat Karel keluar dari sungai, mendadak saja Selly masuk ke dalam air. “Ada apa ini? Apakah gadis ini juga ingin mandi?” “Jangan hiraukan aku. Kalian boleh pergi terlebih dahulu, aku tahu jalan pulang,” kata Selly, tak acuh. “Baiklah, jangan berendam terlalu lama ....” Vilas menghela napas, lalu mulai berjalan pergi. Kenapa dia meninggalkan Selly sendirian? Apakah gadis ini tidak memerlukan perlindungannya lagi? Kalau dipikir-pikir, memang benar kalau dia kuat. Tapi sudahlah, aku juga masih ingin berendam, sebaiknya aku tetap tinggal. Karel pun memutuskan untuk berendam lebih lama lagi, bukan mengikuti Vilas. “Kenapa kau masih di sini?” tanya Selly, datar. “Aku masih ingin berendam. Lagipula, kau ada di sini, jadi kupikir semua akan baik-baik saja.” “Terserah, kalau terjadi apa-apa, aku takkan memedulikanmu. Ingat itu ....” “Baiklah, Nona. Aku akan menjaga diri sebaik mungkin. Kau boleh mengabaikanku.” “Hmph!” Selly mengabaikan begitu saja ucapan Karel. Bulan mulai bersinar, Karel dan Selly pun keluar dari dalam sungai. Keduanya basah kuyup, tetapi mereka tak mempermasalahkannya. Selly mulai berjalan pergi, lalu Karel mengikuti gadis tersebut tanpa berbicara. Keduanya terus diam, tanpa memulai sebuah obrolan kecil. Namun, ini bukan masalah selagi mereka memang ingin melakukannya. Tiba-tiba terdengar suara dari semak-semak, Selly dan Karel serentak berhenti berjalan sambil menatap ke arah semak-semak di sebelah kanan. Selly pun dengan sigap mengeluarkan pedang, bersiap bertarung kapan saja. Suasana menjadi hening selama beberapa waktu, tetapi ini membuat Karel merasa tegang. Lalu, ia sontak berpaling saat mendengar suara lain di belakang. Karel melompat ke samping saat mengetahui seekor monyet menyerangnya. Suara benturan pedang menggema, Karel berpaling ke sumber suara. Terlihat di sana Selly dipojokkan oleh monyet yang menyerangnya tadi. Monyet tersebut menyeimbangi kecepatan tebasan pedang Selly menggunakan cakar di kedua tangannya. “Hia!” Karel mengambil potongan kayu, kemudian menyerang monyet itu dari belakang. Akan tetapi, kayu itu segera putus terkena cakar si monyet. “Apa?” Segera Karel melompat ke belakang. Kekuatan ini membuat Karel tahu apa nama monyet yang meyerangnya. Dia adalah makhluk yang pernah dibaca oleh Karel, namanya Monyet Pedang. Dikatakan bahwa cakarnya sangat tajam layaknya pedang sungguhan. Selain itu, tenaganya juga tidak main-main. “Selly! Serang kaki kirinya!” seru Karel, lantang. Dengan begitu sigap Selly mengayunkan pedang, beberapa kali berbenturan langsung dengan cakar Monyet Pedang. Tapi, kecepatan gadis tersebut bertambah, bahkan pedangnya hampir mengenai kaki kiri lawannya. Monyet Pedang mundur, kemudian masuk ke semak-semak. Karel pun segera mendekati Selly yang sudah kelelahan. “Hei, bertahanlah!” Karel sungguh tak tahu harus bagaimana sekarang. “Kau jangan khawatir, aku baik-bak saja. Berlindung di belakangku jika kau tak ingin terluka! Biar aku yang mengatasinya.” “Kau terlalu gegabah, Monyet Pedang merupakan Makhluk Gaib tingkat 5, untukmu yang sekarang, kurasa masih belum cukup. Kita harus menyusun rencana untuk ka—” Kalimat Karel terpotong kala melihat tiga ekor Monyet Pedang muncul di hadapannya. “Diamlah di sana! Aku akan melawan mereka!” Selly lantas menghunuskan pedangnya ke depan. “Harusnya makhluk seperti ini tidak ada di sini. Kenapa sekarang malah muncul?” Gadis ini sangat berani .... Hanya dapat terdiam, Karel menuruti perintah Selly. Namun, kenapa ia harus menyerahkan masalah ini padanya seorang diri? Tidakkah ia bisa melakukan sesuatu? Keadaan sekarang membuat Karel menyesal tidak mau menjadi pendekar. “Selly, aku akan menyusun rencana, tahan mereka untuk sementara.” Perlahan Karel menutup mata, mencoba memikirkan sesuatu. Ia sudah sadar, bahwasannya Selly tak membencinya, hanya saja gadis ini tidak dapat menunjukkan secara langsung bahwa dirinya selalu memerhatikan Karel selama ini. “Argh!” Belum sampai beberapa detik, Selly berteriak kesakitan. Langsung saja Karel membuka mata, lalu merangkul Selly yang terbaring lemah di tanah. “Selly, bertahanlah!” Bergegas Karel menyobek pakaiannya untuk memperban luka di lengan Selly. Akan tetapi, tiga ekor Monyet Pedang yang menyerang sudah mendekat. “Pergi! Jangan mendekat!” Karel dengan putus asa mengucapkan kalimat itu. Tidak mendengarkan, Monyet Pedang lantas mencakar Karel hingga terbaring di tanah. Tidak sampai di sana, bahkan para monyet itu menyerang Karel menggunakan cakar mereka hingga benar-benar melukai sekujur tubuh Karel. “Karel!” Selly mencoba bangkit dan mengambil pedangnya lagi, tetapi salah satu Monyet Pedang langsung menebasnya hingga tersungkur ke tanah. “Argh!” Tangan kanan gadis itu terpotong, hingga membuat darah mengalir deras membasuh habis pakaiannya. “Selly!” Sekuat tenaga Karel mencoba bangkit kembali, tetapi apa daya, salah satu Monyet Pedang lantas memotong kedua tangan Karel. “Argh!” Rasa sakit menyebar begitu cepat ke sekujur tubuh Karel kala terkena serangan. Namun, rasa sakitnya tidak hanya berasal dari luka di tangannya, melainkan dari kepalanya juga. Jerit kesakitan Karel terdengar nyaring sampai membuat burung-burung panik dan berterbangan tanpa arah. Mendadak saja, api muncul dari kepala Karel. Api tersebut membentuk sebuah tato berwarna merah, dan seketika itu pula Karel berhenti menjerit. Anak laki-laki tersebut bangun, kemudian secara tak disangka, kedua tangannya yang terputus telah tersambung kembali. Api pun berkobar, menyelimuti setiap inci tubuhnya. Ia pun berjalan mendekati Selly, lalu menyambung kembali lengan gadis itu yang terputus. Monyet pedang yang tadi menyerang pun langsung bergegas pergi, tetapi tak semudah itu. Hanya dengan satu jentikan jari, panah api menembus tengkorak mereka hingga berlubang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD